Masih Terkendala, Tak Semua Operator Ajukan Uji Laik Operasi 5G
Penggelaran komersial layanan berteknologi akses 5G butuh kesiapan matang, baik dari sisi operator telekomunikasi, pemerintah daerah, maupun pengguna, bukan sebatas mengatasi ketertinggalan dari negara lain.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua operator telekomunikasi di Indonesia mengajukan uji laik operasi atau ULO layanan komersial berteknologi 5G. Selain masalah spektrum frekuensi, kendala lain adalah jaringan pita lebar kabel optik masih terbatas di kota-kota besar. Kedua masalah tersebut masih menjadi isu utama bagi operator untuk mengajukan ULO.
Pada 24 Mei 2021, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) menjadi operator telekomunikasi pertama yang mengantongi Surat Keterangan Laik Operasi (SKLO) 5G dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Hingga sekarang, Telkomsel sudah menggelar secara komersial layanan berteknologi 5G di sembilan kota, antara lain Jakarta, Surabaya, dan Surakarta. Kemenkominfo saat ini masih memproses ULO yang diajukan oleh PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo) dan finalisasi SKLO.
Koordinator Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat pada Kemenkominfo Adis Alifiawan, di sela-sela diskusi Forum Merdeka Barat 9, Senin (7/6/2021), di Jakarta, mengatakan, pihaknya menunggu tiga operator telekomunikasi lainnya untuk mengajukan ULO, yakni PT XL Axiata Tbk (XL Axiata), Hutchison Tri Indonesia, dan PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren).
Adis mengatakan, Kemenkominfo mempunyai peta jalan Indonesia Digital 2021-2024 yang di dalamnya menyangkut penggelaran layanan 5G. Peta jalan ini mendukung peta jalan Making Indonesia 4.0 yang sudah dibuat oleh Kementerian Perindustrian.
Kemenkominfo mempunyai peta jalan Indonesia Digital 2021-2024 yang di dalamnya menyangkut penggelaran layanan 5G.
”Kedua peta jalan ini bertujuan sama, yaitu mendukung visi Presiden Joko Widodo agar Indonesia bisa bertransformasi ke era industri digital. Kami memasukkan arahan membangun konten dan produk lokal, termasuk penguatan pekerja Indonesia di bidang teknologi informasi,” ujar Adis.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) Marwan O Baasir mengatakan, operator telekomunikasi yang belum mengajukan ULO 5G ke pemerintah karena masih mengkaji lalu lintas konsumsi layanan seluler 2G, 3G, dan 4G sesuai dengan kepemilikan spektrum frekuensi yang ada. Kajian itu diperlukan disebabkan mereka punya keterbatasan alokasi pita frekuensi yang ideal untuk layanan 5G.
Operator juga menunggu adanya tambahan pita frekuensi baru dari pemerintah. Misalnya, 700 megahertz (MHz) yang masih dipakai oleh penyiaran, 3,5 gigahertz (GHz) yang kini dipakai oleh satelit telekomunikasi, dan 26 GHz.
”Dari hasil kajian lalu lintas konsumsi itu, operator telekomunikasi bisa memindahkan layanan teknologi akses seluler tertentu ke spektrum frekuensi tertentu. Lalu, spektrum frekuensi lainnya bisa diisi dengan layanan 5G. Perhitungan ini mesti cermat agar penggelaran layanan 5G tidak ’rasa’ 4G dan bisa membuat bisnis 5G menjadi berantakan,” ucap Marwan.
Operator telekomunikasi yang belum mengajukan ULO 5G ke pemerintah karena masih mengkaji lalu lintas konsumsi layanan seluler 2G, 3G, dan 4G sesuai dengan kepemilikan spektrum frekuensi yang ada.
Selain persoalan spektrum frekuensi, Marwan menyebut tantangan lainnya adalah kondisi penggelaran jaringan pita lebar kabel optik yang sampai sekarang masih terpusat di kota-kota besar. Jika dibiarkan, situasi ini akan membuat penggelaran layanan 5G hanya terpusat di kota-kota besar.
Apabila pemerintah ingin penggelaran komersial layanan berteknologi akses 5G lancar, pemerintah pusat dan daerah harus mendukung kesetaraan perlakuan ke setiap operator telekomunikasi. Pemerintah daerah sebaiknya memudahkan operator membangun jaringan pita lebar kabel optik, seperti harga sewa tanah yang masuk akal. Menurut dia, amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dimaksimalkan.
”Hal tak kalah penting adalah kesiapan pasar. Teknologi akses seluler 5G berbeda dengan 4G. Kalau sudah masuk era 5G, saya rasa sudah bukan saatnya melulu membicarakan kecepatan akses internet, melainkan peruntukan lebih masif di segala pelayanan publik, seperti medical surgery,” kata Marwan.
Persiapan matang
Berdasarkan data Global System for Mobile Communications Associations (GSMA), hingga April 2021, sedikitnya 163 operator telekomunikasi di 68 negara sudah mengomersialkan layanan 5G. Indonesia kemungkinan menjadi negara ke-69 atau ke-70.
Pemerintah daerah sebaiknya memudahkan operator membangun jaringan pita lebar kabel optik, seperti harga sewa tanah yang masuk akal.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, mengadopsi 5G adalah keniscayaan. Jika tidak, Indonesia akan ketinggalan dari negara lain. Meski demikian, dia menyadari bahwa adopsi 5G butuh persiapan matang. Industri manufaktur sampai instansi pemerintah penyedia layanan publik juga harus siap.
”Sejak layanan berteknologi akses seluler 3G meluncur di Indonesia tahun 2006, dorongan agar konten lokal (TKDN) dikuatkan itu sudah ada. Kebijakan ini perlu ditinjau lagi sejauh mana implementasinya,” kata Heru.