Pengurangan Pasokan Premium di Jawa-Bali Perlu Disosialisasikan ke Publik
Edukasi dan sosialisasi masyarakat perlu untuk menunjukkan produk energi yang sumbernya tidak terbarukan punya nilai keekonomian sendiri. Tidak perlu ada kompensasi harga pada BBM yang bukan penugasan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan pasokan bahan bakar minyak atau BBM jenis premium di Jawa dan Bali mulai 2022 diperkirakan tidak membutuhkan skema kompensasi. Daya beli masyarakat di Jawa dan Bali diperkirakan mampu untuk membeli BBM dengan kualitas lebih baik. Hanya saja, pemerintah perlu menyosialisasikan rencana tersebut.
Menurut pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, pemerintah perlu menegaskan pada masyarakat untuk mengurangi volume premium secara bertahap dan dialihkan pada bahan bakar lain. ”Edukasi dan sosialisasi masyarakat perlu untuk menunjukkan produk energi yang sumbernya tidak terbarukan punya nilai keekonomian sendiri,” katanya saat dihubungi, Jumat (4/6/2021).
Pri Agung menambahkan, kompensasi harga pada BBM non-premium agar harganya terjangkau oleh masyarakat tidak dibutuhkan. Dia optimistis bahwa daya beli masyarakat dapat mengikuti perkembangan harga BBM sesuai laju pertumbuhan ekonomi. Selain itu, masyarakat lebih memerlukan jaminan ketersediaan pasokan BBM.
Daya beli masyarakat dapat mengikuti perkembangan harga BBM sesuai laju pertumbuhan ekonomi.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno berpendapat, pengurangan volume premium (RON 88) ke BBM yang oktannya lebih tinggi, seperti pertalite (RON 90), sudah berjalan selama setahun terakhir. ”Ada sejumlah kota di Pulau Jawa yang tidak menyediakan premium. Namun, tidak ada gejolak di tengah masyarakat,” katanya saat dihubungi.
Menurut Eddy, hal itu terjadi lantaran strategi promosi PT Pertamina (Persero) yang memberikan insentif pada pembelian pertalite. Pertamina menetapkan harga pertalite dengan selisih yang kecil dengan premium. Di Jawa dan Bali, pertalite dijual seharga Rp 7.650 per liter, sedangkan premium dijual Rp 6.450 per liter.
Selain itu, lanjut Eddy, produksi kendaraan bermotor saat ini telah berorientasi pada penggunaan pertalite sehingga sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi pemakaian premium. Meskipun demikian, ia berpendapat, daerah terdepan, terluar, dan tertinggal mesti dikecualikan dalam pengurangan pasokan premium dengan pertimbangan daya beli masyarakat.
Daerah terdepan, terluar, dan tertinggal mesti dikecualikan dalam pengurangan pasokan premium dengan pertimbangan daya beli masyarakat.
Sementara itu, Direktur Bahan Bakar Minyak pada Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Patuan Alfon Simanjuntak memaparkan, kuota premium se-Indonesia pada 2021 sebanyak 10 juta kiloliter. Wilayah Jawa dan Bali mendapat kuota 3,45 juta kiloliter. Sepanjang Januari-Mei 2021, realisasi penyaluran premium di kawasan Jawa dan Bali mencapai 4,7 persen dari kuota, sedangkan di skala nasional mencapai 20,51 persen dari kuota.
Kurang bayar
Laporan keuangan Pertamina pada 2019 menyatakan, berdasar hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan pada 27 April 2020, kekurangan penerimaan perusahaan atas penyaluran premium untuk kawasan Jawa-Bali dan di luar Jawa-Bali masing-masing sebesar Rp 6,02 triliun dan Rp 8,99 triliun. Surat Menteri Keuangan pada 6 Mei 2020 menyatakan, pemerintah akan mengganti kekurangan pendapatan perusahaan tersebut.
Sebelumnya, rencana pengurangan pasokan BBM jenis premium di Jawa dan Bali disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (2/6/2021), di Jakarta. Rencana tersebut diusulkan untuk diterapkan mulai 2022. Sebagai pengganti, pemerintah mengandalkan BBM jenis pertalite yang dinilai lebih ramah lingkungan.
Kekurangan penerimaan perusahaan atas penyaluran premium untuk kawasan Jawa-Bali dan di luar Jawa-Bali masing-masing sebesar Rp 6,02 triliun dan Rp 8,99 triliun.
Sejumlah pihak mengusulkan agar pemerintah memberikan kompensasi atas pengurangan pasokan premium tersebut. Menurut anggota Komisi VII DPR, Kardaya Warnika, kompensasi dibutuhkan untuk menjaga aspek keterjangkauan harga. Pasalnya, harga menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat dalam memilih jenis BBM. Sementara kualitas BBM kurang dipertimbangkan.
”Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengompensasi harga (pertalite atau pertamax) agar lebih murah dan dapat dijangkau masyarakat,” ucap Kardaya.