Pengumpulan data Sustainable Development Goals atau SDGs Desa masih jauh dari target. Baru mencapai 49 persen yang diunduh ke Sistem Informasi Desa, sementara tengat akhir pada Juli 2021 semakin dekat.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengumpulan data Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals Desa masih jauh dari target. Walaupun telah dibantu lebih dari 1 juta kelompok kerja relawan, jumlah desa yang dihimpun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi baru mencapai 49 persen yang diunduh ke Sistem Informasi Desa. Meski demikian, berbagai gambaran kondisi warga desa mulai terlihat.
Sistem Informasi Desa (SID) Kemendesa PDTT per 3 Juni 2021 menunjukkan jumlah desa yang terdata mencapai 36.424 desa yang terdiri 376.177 rukun tetangga (RT). Kemudian, terdata pula di dalamnya sebanyak 23,85 juta keluarga dengan total warga sekitar 70,24 juta jiwa.
Proses pendataan SDGs Desa hingga kini masih berlangsung secara dinamis. Pendataan telah dimulai sejak 1 Maret 2021. Secara bertahap, Kemendesa PDTT melakukan pengecekan awal pada akhir Mei. Diharapkan, pendataan ini selesai pada 31 Juli 2021.
Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar dalam telekonferensi pers di Jakarta, Kamis (3/6/2021), mengatakan, dari 49 persen data desa, sebanyak 1,70 juta keluarga masih menghuni rumah kumuh. Sementara kriteria desa tanpa kelaparan sesuai kategorisasi yang dilakukan dalam SDGs Desa menunjukkan jumlah ibu yang melahirkan di desa dalam setahun terakhir mencapai 548.668 orang.
Berbagai strategi dilakukan untuk mempercepat pengumpulan data tersebut, di antaranya memberikan penghargaan bagi desa yang mampu menyelesaikan pendataan dalam tenggat yang telah ditentukan.
Namun, bayi yang mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif setahun terakhir di desa mencapai 439.470 jiwa (prevelensi bayi di desa mendapat ASI eksklusif sebesar 80,1 persen). Gizi buruk masih dialami oleh 61.093 orang.
Menurut Halim, belum mencapai 100 persen data saja, jumlah warga yang sadar akan pentingnya mengikuti asuransi di desa mencapai 29,7 juta atau 42,6 persen. Pendataan yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu ini pun menghasilkan beberapa gambaran kondisi warga desa, antara lain penyakit diabetes 658.201 orang, penderita malaria mencapai 614.646 orang, penyakit jantung 331.182 orang, paru-paru 299.607 orang, campak 109.276 orang, kanker 53.520 orang, kolera 53.518 orang, dan hepatitis B mencapai 32.730 orang.
Halim menegaskan, ”Berbagai strategi dilakukan untuk mempercepat pengumpulan data tersebut, di antaranya memberikan penghargaan bagi desa yang mampu menyelesaikan pendataan dalam tenggat yang telah ditentukan.”
Sesungguhnya, lanjut Halim, bukan apresiasi semata yang perlu dilihat dalam proses pengumpulan data ini, melainkan kepentingan desa sendiri yang akhirnya bisa menggunakan data tersebut untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Dari sisi pemerintah, kucuran dana desa sangat bergantung pula dari RKPDes yang disusun oleh warga desa itu sendiri.
Menurut Halim, wujud kehadiran negara ke depan bisa diwakilkan oleh kehadiran desa. Karena itulah, melalui data inilah akan teridentifikasi desa yang bisa berdaya dan memiliki potensi. Dana desa pada akhirnya bisa menjadi salah satu solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan desa sehingga dana desa menjadi tepat sasaran.
Dana desa pada akhirnya bisa menjadi salah satu solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan desa sehingga dana desa menjadi tepat sasaran.
Bahkan, lanjut Halim, pendataan itu perlu sampai pada identifikasi fundamental yang selama ini menjadikan desa tak bisa lepas dari kemiskinan. Sebutan fundamental itu menyangkut warga desa yang hidupnya betul-betul tidak berdaya lagi. Misalnya, warga yang sudah tua renta. Di sinilah alokasi khusus dana desa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan warga tak berdaya ini. Minimal, tercukupi kebutuhan makan, sandang dan rumahnya tetap layak dihuni.
Pemanfaatan dana desa
Peneliti SMERU, Asep Kurniawan, secara terpisah, memandang selama ini pemanfaatan dana desa sebenarnya cukup kompleks. Di satu sisi, dana desa sebenarnya adalah fasilitas yang wajib disediakan negara untuk desa agar bisa mengembangkan dirinya sesuai dengan asas rekognisi dalam Undang-Undang tentang Desa. Jadi, dana desa sejatinya merupakan wewenang penuh desa memutuskan penggunaannya untuk apa saja. Forum tertinggi untuk memutuskannya adalah musyawarah desa.
Namun, di sisi lain, ada banyak instrumen peraturan yang dibuat oleh pemerintahan di atas pemerintah desa yang sudah mengarahkan penggunaan dana desa tersebut. Dalam beberapa hal, peraturan yang sudah mengarahkan ini membuat desa tidak leluasa mengalokasikan dana desa dalam anggaran pembangunannya.
”Pendataan desa dengan skema pencapaian SDGs boleh saja dilakukan, bahkan bisa dibilang merupakan hal yang baik. Namun, pertanyaannya, apakah data itu bisa kembali ke desa, dalam artian bisa bermanfaat atau dimanfaatkan oleh desa untuk menjadi acuan dalam merencanakan pembangunannya sendiri,” ucap Asep.
Menurut Asep, hal yang sangat tidak diharapkan adalah data dikumpulkan, tetapi desa tidak bisa mengakses atau tidak mampu menggunakan data desanya sendiri. Di sini pentingnya peran pendamping desa dalam proses perencanaan pembangunan desa agar benar-benar sesuai kebutuhan yang berbasis bukti.
Halim menambahkan, seluruh data tersebut pada akhirnya bisa diakses oleh seluruh warga desa. Data ini bersifat terbuka, bahkan jurnalis pun dapat melihat data tersebut. Tentunya, data ini akan selalu dimutakhirkan sesuai perkembangannya karena sejumlah kriteria yang masuk dalam dalam SDGs bersifat fluktuatif dan dinamis.