Penguatan Perdagangan Global Hadapi Sejumlah Tantangan
WTO merilis, barometer atau indeks perdagangan global per Maret 2021 sebesar 109,7. Angka ini hampir 10 poin di atas ambang batas tren indeks perdagangan global yang sebesar 100 dan naik 21,6 poin secara tahunan.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren perdagangan global menguat seiring dengan pemulihan sejumlah negara dari imbas Covid-19. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk mempertahankan kinerja neraca perdagangan sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 28 Mei 2021 merilis, barometer atau indeks perdagangan global per Maret 2021 sebesar 109,7. Angka ini hampir 10 poin di atas ambang batas tren indeks perdagangan global yang sebesar 100 dan naik 21,6 poin secara tahunan. Hal tersebut mencerminkan kekuatan pemulihan pada tahun ini sekaligus kedalaman guncangan imbas Covid-19 tahun lalu.
Sejumlah komponen pembentuk barometer perdagangan global tersebut melonjak sangat signifikan, seperti indeks permintaan ekspor sebesar 114,9, angkutan udara 111,1, dan komponen elektronik 115,2. Sementara peningkatan indeks produk otomotif yang berada di level 105,5 dan bahan baku yang didominasi oleh kayu untuk konstruksi rumah 105,4 mencerminkan sentimen konsumen yang membaik terkait dengan penjualan barang tahan lama.
Adapun indeks pengiriman peti kemas sebesar 106,7. Hal ini mengindikasikan sektor ini mulai pulih dan bertahan baik kendati masih perlu diperbaiki kinerjanya.
Barometer perdagangan global ini sejalan dengan perkiraan WTO yang dirilis pada 31 Maret 2021. Volume perdagangan global pada 2021 diperkirakan tumbuh 8 persen. Namun, WTO menegaskan, perlunya mencermati dan mengantisipasi tantangan perdagangan global saat ini. Tantangan tersebut mencakup munculnya gelombang kedua Covid-19, disparitas regional, berlanjutnya pelemahan perdagangan jasa, dan lambatnya proses vaksinasi di banyak negara, terutama negara-negara miskin.
Tantangan tersebut mencakup munculnya gelombang kedua Covid-19, disparitas regional, berlanjutnya pelemahan perdagangan jasa, dan lambatnya proses vaksinasi di banyak negara, terutama negara-negara miskin.
Dalam rapat dengar pendapat Kementerian Perdagangan dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (31/5/2021), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku optimistis kinerja ekspor nasional akan turut menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Per April 2021, total ekspor Indonesia senilai 18,48 miliar dollar AS atau tumbuh 51,94 persen dibandingkan April 2020.
Khusus total ekspor nonmigas, nilainya sebesar 17,52 miliar dollar AS atau tumbuh 51,08 persen secara tahunan. Memang perbaikan kinerja ekspor ini lebih ditentukan oleh kenaikan harga sejumlah komoditas ekspor, seperti minyak kelapa sawit mentah dan batubara.
Namun, pada saat bersamaan, lanjut Lutfi, ada produk-produk industri manufaktur Indonesia yang ekspornya tumbuh signifikan. Misalnya, baja yang ekspornya senilai 10,86 miliar dollar AS pada 2020 tumbuh hampir sebesar 61 persen pada triwulan I-2021.
”Ini sebenarnya menunjukkan Indonesia terus berevolusi dari negara penjual barang-barang mentah menjadi negara penjual barang setengah jadi yang diolah dengan teknologi tinggi. Jika hal ini terus dikembangkan, termasuk di sektor-sektor lain, Indonesia akan mampu memperbaiki struktur ekspornya,” katanya.
Indonesia terus berevolusi dari negara penjual barang-barang mentah menjadi negara penjual barang setengah jadi yang diolah dengan teknologi tinggi.
Untuk menangkap peluang permintaan ekspor, berbagai upaya dilakukan Pemerintah Indonesia. Dua di antaranya adalah menjalin kerja sama dengan diaspora Indonesia di luar negeri dan melibatkan badan usaha milik negara dalam skema kerja sama perdagangan.
Pada 25 Mei 2021, misalnya, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan perusahaan milik diaspora Indonesia di Australia, N Brothers Ltd dan Import Station Trading Pty Ltd. Kerja sama ini dalam rangka memanfaatkan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA).
Atase Perdagangan Indonesia di Canberra Agung Wicaksono mengatakan, melalui kerja sama ini, PT PPI dapat memanfaatkan peluang pasar Australia melalui jaringan bisnis Import Station Trading Pty Ltd dan N Brothers Ltd.
”Kolaborasi ini juga diharapkan dapat mendukung upaya peningkatan ekspor produk Indonesia ke Australia, termasuk produk usaha kecil menengah Indonesia melalui berbagai mekanisme perdagangan yang tersedia, salah satunya imbal dagang,” ujarnya dalam siaran pers.
Pekan lalu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Sekolah Ekspor, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri juga menjembatani penguatan jaringan ekspor Indonesia di AS dengan melibatkan diaspora Indonesia di AS. Para diaspora tersebut bergerak di sektor ritel, logistik, pergudangan terintegrasi (warehouse), dan distribusi (Kompas, 28/5/2021).
Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur berpendapat, kendati tren permintaan ekspor terus meningkat, Indonesia tetap perlu mewaspadai gelombang kedua Covid-19 dan belum meratanya vaksinasi di banyak negara. Selain itu, jasa pengiriman logistik melalui jalur laut belum pulih benar.
Banyak perusahaan pelayaran global yang semula drop bisnisnya akibat imbas Covid-19 pada tahun lalu, tidak siap menghadapi permintaan ekspor-impor yang meningkat. Mereka yang telah mengurangi armadanya kewalahan karena secara tiba-tiba harus kembali menambah armada.
”Hingga kini, hal itu masih terjadi. Banyak pelaku usaha yang berebut ruang peti kemas dan terpaksa menunda pengiriman lantaran menunggu giliran pemuatan. Selain itu, biaya angkutan kapal tersebut juga naik. Ini tentu saja menambah beban biaya pengusaha,” kata Sobur.
Sugi Suherman, diaspora Indonesia pendiri Agiloc International Inc di California, AS, juga berpendapat serupa. Biaya angkutan peti kemas dari Indonesia ke AS atau sebaliknya meningkat dua hingga tiga kali lipat dari biaya normal.
Freightos Baltic Index (FBX) mencatat, Indeks Kargo Kontainer Global (Global Container Freight Index) dalam kurun waktu setahun ini melonjak drastis. Indeks yang menggambarkan biaya pengiriman kargo peti kemas global per 30 April 2021 sebesar 4.375 dollar AS per kontainer setara 40 kaki (forty-foot equivalent unit/FEU). Angka ini meningkat tiga kali lipat dari posisi 1 Mei 2020 yang sebesar 1.451 dollar AS per FEU.
Merujuk pada Shanghai Containerized Freight Index (SCFI) periode 18 Desember 2009-9 April 2021, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) juga menunjukkan, tarif ke Amerika Selatan dan Afrika Barat lebih tinggi daripada wilayah perdagangan utama lainnya. Pada awal 2021, misalnya, tarif angkutan dari China ke Amerika Selatan melonjak 443 persen dibandingkan dengan 63 persen pada rute antara Asia dan pantai timur Amerika Utara.