Ekspor Feronikel Sultra Capai Nilai Tertinggi, Dampak Ekonomi Masih Timpang
Selama dua tahun terakhir, ekspor feronikel Sultra capai nilai tertinggi pada April lalu, yaitu 429 juta dollar AS atau Rp 6,2 triliun. Pemerintah didorong memanfaatkan potensi ini untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ekspor feronikel Sulawesi Tenggara mencapai nilai tertinggi dalam lebih dari dua tahun terakhir. Ekspor olahan nikel, yang sebagian besar dikirim ke China itu, mencapai 429 juta dollar AS atau naik hingga 260 persen dari periode sama tahun sebelumnya. Meski begitu, dampak ekonomi ke masyarakat masih sangat minim.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra, ekspor feronikel Sultra pada April 2021 sebanyak 247.000 ton dengan nilai 429 juta dollar AS (Rp 6,2 triliun). Ini merupakan nilai tertinggi sejak 2019. Pada November 2020, nilainya mencapai 406 juta dollar AS atau Rp 5,7 triliun.
Koordinator Fungsi Statistik Distribusi BPS Sultra Surianti Toar menuturkan, kenaikan ekspor feronikel ini juga mendorong kenaikan nilai ekspor total pada April yang meningkat 26 persen dibanding bulan sebelumnya. Malah, jika dibandingkan periode April 2020, meningkat hingga 260 persen.
”Nilai fantastis karena terjadi kenaikan yang sangat signifikan. Secara volume juga meningkat, di mana nilai dan volume ekspor ini didominasi oleh industri pengolahan besi dan baja yang menjadi primadona Sultra,” kata Surianti, melalui rilis virtual, di Kendari, Rabu (2/6/2021).
Menurut Surianti, indusri pengolahan, khususnya feronikel, mendominasi ekspor hingga 99 persen, baik secara nilai maupun jumlah. Feronikel dikirim lebih dari 98 persen ke China, lalu ke India, dan beberapa negara lainnya. Industri pengolahan besi dan baja di Sultra menghasilkan bahan baku baja nirkarat tersebut.
Meski begitu, ia melanjutkan, ekspor pertanian Sultra hanya 280.000 dollar AS. Nilai ini turun 61 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. ”Semoga kinerja sektor lainnya bisa semakin bagus ke depannya,” ujarnya.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo Syamsir Nur menyampaikan, tingginya ekspor nikel Sultra didorong pulihnya ekonomi China yang menjadi mitra dagang utama sekaligus negara utama tujuan ekspor tersebut. Setelah dihantam pandemi dan ekonomi yang terkoreksi, geliat ekonomi negara adidaya tersebut pulih dan mendorong masuknya komoditas dari negara lain.
Selain itu, ia melanjutkan, produk nikel masih menjadi incaran banyak negara sehingga mengerek harga secara global. ”Sesuai hukum ekonomi, saat permintaan tinggi, harga akan ikut naik. Kita sebagai negara dengan cadangan nikel tinggi menjadi salah satu pemain besar pengolahan mineral ini,” tuturnya.
Salah satu yang mendorong tingginya nilai ekspor feronikel Sultra ditopang kenaikan harga nikel dunia. Data Bloomberg, harga nikel mencapai 16.000 dollar AS per ton atau sekitar Rp 225 juta per ton pada April 2021.
Meski melonjak tinggi, Syamsir menyampaikan, angka tersebut merupakan nilai yang semu karena tidak banyak dinikmati daerah. Hal itu bisa terlihat dari penerimaan daerah yang rendah, angka pengangguran yang tinggi, angka kemiskinan yang naik 15.500 orang pada Februari 2021, hingga ketimpangan antardaerah.
Hal itu disebabkan industri pengolahan merupakan sektor padat modal yang terbatas bagi banyak orang. Para pekerja yang masuk juga sebagian merupakan tenaga terampil, baik yang didatangkan dari wilayah Sultra maupun daerah lain.
”Salah satu kuncinya adalah hilirisasi industri agar industri di daerah berkembang dan menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, daerah harus kreatif menciptakan peluang baru, misalnya, dengan menjadi mitra perusahaan,” kata Syamsir, yang banyak melakukan riset industri pengolahan nikel di Sultra.
Salah satu peluang yang seharusnya bisa dijajaki, Syamsir mencontohkan, adalah kebutuhan logistik dari industri smelter (peleburan bijih) yang ada. Di wilayah industri Konawe, misalnya, kebutuhan beras mencapai 1,25 ton per hari, belum termasuk telur, daging, air minum, dan lainnya. Peluang-peluang baru diharapkan bisa menjadi jembatan daerah untuk menambah pendapatan dan tidak bergantung pada bagi hasil negara.
Di Sultra, terdapat sejumlah perusahaan pengolahan nikel skala besar. Selain PT Antam yang merupakan badan usaha milik negara di Kabupaten Kolaka, terdapat dua perusahaan lain, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kabupaten Konawe.
PT VDNI berdiri sejak 2014 dan merupakan anak usaha De Long Nickel Co Ltd yang berasal dari Jiangsu, China. Perusahaan ini berinvestasi puluhan triliun rupiah untuk membangun fasilitas smelter berteknologi modern. Kapasitas produksinya 600.000-800.000 ton nickel pig iron per tahun. Hingga akhir 2018, PT VDNI telah berkontribusi 142,2 juta dollar AS terhadap ekspor RI. Perusahaan ini telah membangun 16 tungku smelter dan semuanya telah beroperasi.
Sementara itu, induk PT OSS adalah Hongkong Xiangyu Hansheng Co Ltd dan Singapore Xiangyu Hansheng Pte Ltd. Perusahaan ini berdiri sejak 2016 di area seluas 398 hektar dengan nilai investasi 2 miliar dolar AS. Sejak 2018, perusahaan ini telah mengajukan izin prinsip untuk membangun fasilitas produksi baja nirkarat 400.000 ton, steel lab 800.000 ton, dan feronikel 800.000 ton. Hingga saat ini, PT OSS telah membangun 17 tungku smelter, dari 30 tungku yang direncanakan.