Banyak jalinan kesepahaman antarlembaga semestinya mendorong percepatan perekonomian rakyat. Dalam membangun kesepahaman pemerintah dan ikatan alumni Universitas Brawijaya harus menjawab kendala modal UMKM.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak jalinan kesepahaman antarlembaga semestinya mendorong percepatan perekonomian rakyat. Dalam membangun kesepahaman dengan pemerintah sebagai regulator, institusi pendidikan seharusnya benar-benar mewujudkan kebutuhan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang selama ini kerap menghadapi kendala permodalan.
Direktur Usaha Koperasi Benih Kita Indonesia (Kobeta) Dewi Hutabarat mengungkapkan hal itu dalam webinar ”Pancasila dan Momentum Kebangkitan Koperasi/UMKM”, di Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Dalam kesempatan itu, Kementerian Koperasi dan UKM serta Ikatan Alumni Universitas Brawijaya mengukuhkan nota kesepahaman untuk menjalin kerja sama dalam berbagai hal, di antaranya mengkaji berbagai kebutuhan UMKM agar dapat meningkatkan daya saing. Nota kesepahaman itu ditandatangani oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki serta Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika.
Dewi mengatakan, dalam menjalin kerja sama ini, Ikatan Alumni Universitas Brawijaya perlu menyadari beberapa hal agar kerja sama tersebut tidak menjadi sia-sia. Peran pemerintah yang utama adalah menjadi penjamin berjalannya usaha, seperti penjamin dalam menjangkau akses permodalan, penjamin dalam memastikan kerja sama usaha yang didorong pemerintah dapat berjalan baik, dan penjamin dengan mendanai konsultan bisnis independen yang menjadi pendamping usaha.
”Pemerintah harus mendorong agar UMKM dapat menguasai basis modal, keterjaminan bahan baku, dan penciptaan pasar. Inilah wujud ekonomi Pancasila yang selama ini perlu diupayakan secara serius,” kata Dewi.
Sementara itu, Direktur Utama sekaligus pendiri UKM Jagoan Indonesia, Dias Satria, mengatakan, banyak keresahan dalam melihat nasib UMKM Indonesia. Pengembangan UMKM ke depan membutuhkan berbagai terobosan, terutama dalam hal pelatihan kewirausahaan.
”Untuk dapat meningkatkan kelas UMKM, saya kira membutuhkan proses inkubasi. Tidak cukup hanya satu kali pertemuan dalam pelatihan UMKM,” kata Dias.
Sebagai usaha rintisan (start-up), kata Dias, Jagoan Indonesia akan mendorong sejumlah pemerintah daerah untuk membangun kolaborasi dalam meningkatkan kelas UMKM agar melek digital.
”Pekerjaan rumahnya sangat besar. Jumlah UMKM sangat banyak. Kita perlu melakukan pemeringkatan UMKM supaya pelatihan yang sama tidak diterapkan pada semua UMKM. Kita perlu mengidentifikasi level UMKM terlebih dahulu,” ujar Dias.
Hal itu tak lepas dari jumlah UMKM. Berdasarkan data Kemenkop dan UKM tahun 2018, jumlah UMKM mencapai 64,19 juta unit dengan menyerap tenaga kerja 116,9 juta orang. Dari total jumlah tersebut, jumlah usaha mikro mencapai 63,3 juta unit (98,6 persen) dan usaha kecil mencapai 783.130 (1,22 persen).
Selama ini, secara kasatmata, Jagoan Indonesia merealisasikan jejaring kreatif regional sebagai salah satu bentuk ekonomi kreatif. Jika dilihat, Jagoan Indonesia bukan sekadar membuat kedai kopi yang enak, tetapi sesungguhnya di balik itu adalah membangun ekosistem.
Dias menjelaskan, dari kedai kopi, Jagoan Indonesia sesungguhnya ingin melakukan penjenamaan kembali (rebranding) produk lokal UMKM, menciptakan ruang kerja bersama (co-working space), dan diharapkan terjadi inkubator bisnis. Di kampus, paling tidak yang bisa diwujudkan, antara lain, mendorong terciptanya basis data UMKM yang dibutuhkan para wirausaha.
Pendekatan profesional
Sementara itu, Teten mengatakan, ”Saat ini bukan lagi era pendekatan birokrasi. Kami akan meninggalkan pendekatan birokrasi dan menggeser pada pendekatan profesional serta praktis untuk mengembangkan produk ataupun terpenuhinya modal usaha. Tidak bisa hanya bergantung pada aparatur sipil negara yang belum tentu mengerti bisnis.”
Selama ini, setiap mengidentifikasi kebutuhan UMKM, Kemenkop dan UKM setidaknya melihat problem yang dihadapi UMKM terlihat kasatmata. Produksinya kecil-kecil karena tidak didukung pembiayaan dan bahan baku memadai. Produknya pun kalah bersaing.
Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop dan UKM Ahmad Zabadi mengatakan, ”Kita tidak ingin terus-menerus mendorong pada ketergantungan bagi UMKM. Untuk meningkatkan daya saing, harapannya terletak pada koperasi yang ada di tengah masyarakat.”
Dilihat dari potret koperasi di Indonesia, jumlah koperasi konsumen mencapai 73.209 unit, sementara koperasi jasa 25.228 unit, koperasi simpan-pinjam 17.737 unit, koperasi produsen 7.325 unit, dan koperasi pemasaran 3.625 unit.
Menurut Zabadi, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja sebetulnya menjawab masalah utama koperasi dan UMKM untuk tumbuh besar. Ke depannya, koperasi dan UMKM diharapkan dapat menjadi akselerator perekonomian bangsa. Peran UU Cipta Kerja untuk UMKM di antaranya memberikan kemudahan dan efisiensi biaya dalam pendirian koperasi, mendorong koperasi melakukan modernisasi dan digitalisasi, menciptakan dan menumbuhkan wirausaha baru, bahkan mengintergrasikan UMKM dalam posisinya sebagai rantai pasok global.