Pelanggan Berubah, Peritel Berbenah
Peritel modern dengan bentuk minimarket lebih bertahan di masa pandemi. Sebaliknya, peritel dengan format supermarket dan hipermarket menghadapi tantangan. Mereka dituntut mempertimbangkan ulang strategi bisnisnya.
Bisnis ritel pada sektor penyedia kebutuhan sehari-hari atau fast-moving consumer goods (FMCG) modern terbagi setidaknya menjadi tiga segmen. Setiap segmen dibedakan menurut format dan ukuran gerai yang disediakan oleh peritel.
Hipermarket merupakan gerai yang berukuran lebih dari 5.000 meter persegi, menyediakan berbagai macam kebutuhan dalam satu atap. Supermarket menempati luasan lahan sekitar 1.000 meter persegi dan segmen terakhir adalah minimarket yang cukup dengan luasan lahan dimulai dari 100 meter persegi.
Pada tahun 2000-an awal, para pelanggan senang berbelanja barang kebutuhan di toko-toko superbesar dan superluas. Segala sesuatu bisa didapatkan dalam satu kali belanja. Lambat laun, kebiasaan para pelanggan rupanya sudah berubah. Dari belanja kebutuhan sehari-hari ke hipermarket dengan segala macam barang menjadi belanja di toko ritel lebih kecil yang hanya beberapa langkah saja dari pintu rumah.
Dari tahun ke tahun, kecenderungan ini semakin terasa. Setidaknya, hal itu dilihat dari kinerja peritel barang kebutuhan sehari-hari pada dua format toko berbeda, yaitu toko besar dan toko kecil. Peritel barang kebutuhan sehari-hari dengan toko besar, misalnya, adalah Hypermart milik PT Matahari Putra Prima Tbk dan Giant milik PT Hero Supermarket Tbk.
Sementara peritel dengan minimarket, misalnya, adalah PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk dan PT Indomarco Prismatama yang memiliki toko Alfa dan Indomaret. Indomarco Prismatama bukan perusahaan terbuka, laporan keuangannya terkonsolidasi dengan PT Indoritel Makmur Internasional Tbk bersama dengan PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, produsen Sari Roti, dan PT Fast Food Indonesia Tbk, pengelola resto cepat saji Kentucky Fried Chicken.
Dari laporan keuangan Matahari, terlihat terjadi kontraksi sejak 2016. Pendapatannya cenderung menurun, dari Rp 8,64 triliun (2019) menjadi Rp 6,75 triliun (2020). Matahari merugi sebesar Rp 898 miliar (2018), Rp 552 miliar (2019), dan Rp 405 miliar (2020).
Setali tiga uang situasinya dengan Hero. Pendapatan Hero juga melorot. Pada tahun 2018, Hero membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 12,97 triliun, lalu turun menjadi Rp 12,18 triliun (2019). Keadaan lebih berat pada 2020 sehingga pendapatan bersih tergerus 26,99 persen menjadi Rp 8,89 triliun. Kerugian membesar menjadi Rp 1,21 triliun (2020) dari Rp 28,22 miliar (2019).
Baca juga : Lima Gerai Giant Diubah Jadi IKEA, Lainnya Akan Ditutup
Baca juga : Terdampak Pandemi, Bisnis Ritel di Titik Nadir
Sebaliknya, pendapatan Alfa dan Indomaret tetap bertumbuh. Pendapatan Alfa naik 9,16 persen menjadi Rp 72,94 triliun (2019) dari Rp 66,82 triliun (2018). Ketika pandemi merebak, pendapatan Alfa masih naik tipis 3,95 persen menjadi 75,82 triliun (2020).
Laba bersihnya pada 2018 tercatat sebesar Rp 650,14 miliar dan melesat 71,12 persen menjadi Rp 1,11 triliun (2019). Walaupun pendapatan naik tipis sepanjang 2020, laba bersih Alfa menurun 4,28 persen menjadi Rp 1,06 triliun.
Perjalanan Indomaret pun serupa. Penjualan Indomaret tercatat sebesar Rp 73,37 triliun (2018), lalu meningkat menjadi Rp 81 triliun (2019). Hingga September 2020, penjualan menurun menjadi Rp 64 triliun. Labanya sempat naik dari Rp 446 miliar (2017) menjadi Rp 775 miliar (2018), melonjak menjadi Rp 1,2 triliun (2019), dan hingga September 2020 melorot menjadi Rp 498 miliar.
Tutup toko, buka toko
Perubahan kebiasaan pelanggan ini tentu dicermati oleh pengelola toko besar, seperti Matahari dan Hero. Pada 2016 dan 2017, Matahari menutup sekitar 80 gerai, baik gerai Hypermart, Foodmart, SmartClub, maupun Boston Health & Beauty. Ketika pembatasan kegiatan dilakukan selama pandemi, ada delapan gerai Hypermart yang ditutup sementara dan diharapkan akan dibuka lagi pada akhir tahun.
Kolaborasi untuk penjualan secara daring juga dilakukan oleh Matahari. Selain memiliki toko daring, Matahari juga bekerja sama dengan lokapasar Tokopedia, Shopee, Blibli, dan GrabMart menghadirkan toko virtual sehingga pembeli dapat membeli secara daring. Pada tahap awal, 23 gerai Matahari yang berlokasi di Jabodetabek mendukung kerjasama ini.
Perubahan kebiasaan pelanggan ini tentu dicermati oleh pengelola toko besar, seperti Matahari dan Hero.
Perjalanan Hero tidak terlepas dari konteks bisnis ritel grocery pada saat itu. Tahun 1998, peritel Perancis, Carrefour, membuka gerai pertamanya, hampir bersamaan dengan dibukanya gerai Continent. Keduanya menawarkan konsep hipermarket yang menyediakan segala macam kebutuhan dalam satu tempat. Satu tahun kemudian, kedua peritel itu bergabung dengan mempertahankan merek Carrefour.
Peritel Makro Belanda masuk ke segmen serupa pada 1992 hingga pada tahun 2008 diambil alih oleh peritel Korea, Lotte. Hero baru membuka toko Giant pertama tahun 2002 setelah menggandeng Diary Farm. Pada masa itu memang pelanggan senang berbelanja sekaligus dalam jumlah besar. Kerap terlihat pemandangan pelanggan yang keluar toko dengan mendorong setidaknya dua troli belanja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam satu bulan.
Di sisi lain, Alfamart toko grocery dalam format minimarket mulai dibuka di Karawaci, Tangerang, Banten, tahun 1999. Adapun toko Indomaret pertama dibuka 1988 di Ancol, Jakarta . Dalam perjalanannya, kedua jenis toko yang lebih kecil ini sangat ekspansif. Skema waralaba membuat jumlah toko berkembang sangat pesat.
Hingga kuartal ketiga 2020, jumlah gerai Alfamart di seluruh Indonesia sudah berjumlah 15.102 unit. Pada tahun ini, ditargetkan Alfa menambah lagi 500-700 gerai yang dimiliki sendiri ataupun waralaba. Sementara Indomaret memiliki 18.708 gerai hingga April 2021 di seantero negeri ini.
Minimarket semakin banyak dibuka seiring dengan permintaan dari pelanggan. Tidak heran jika di tepi jalan raya yang ramai, dalam jarak 1 kilometer bisa ditemukan lebih dari satu minimarket yang sama-sama ramai pembeli.
Peritel modern dengan bentuk minimarket lebih bertahan di masa pandemi.
Riset Fitch Ratings mengemukakan, peritel modern dengan bentuk minimarket lebih bertahan di masa pandemi. Menurut data dari Nielsen, total belanja grocery di Indonesia turun 5,9 persen pada 2020, sementara pada 2019 masih bertumbuh 4,8 persen. Penurunan ini disebabkan penurunan sebesar 12,4 persen pada pasar tradisional dan penurunan 10,1 persen pada belanja di supermarket atau hipermarket. Sebaliknya, belanja di minimarket naik 4,8 persen tahun lalu.
Peritel yang mengelola toko dengan format hipermarket dan supermarket kembali berhitung ulang, mengikuti perkembangan yang ada, termasuk mempertimbangkan preferensi pelanggan. Walaupun, terkadang langkah tersebut sangat berat, seperti keputusan Hero yang akan menutup Giant.