Manfaatkan Energi Bersih untuk Isi Daya Kendaraan Listrik
Transisi ke energi bersih membutuhkan totalitas, bukan setengah-setengah, seperti dengan tetap mengandalkan pembangkit listrik dari bahan bakar fosil. Indonesia perlu segera mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Indonesia menggadang-gadang pemanfaatan kendaraan listrik sebagai salah satu sarana beralih ke energi bersih. Namun, langkah itu masih menimbulkan tanda tanya apabila sumber daya kendaraan listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil yang emisi karbonnya tinggi.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, apabila ingin benar-benar menjalankan prinsip ekonomi hijau, pengisian daya kendaraan listrik memanfaatkan pembangkit yang bersumber dari energi baru terbarukan, seperti tenaga surya (PLTS). Menurut rencana, PLTS akan diintegrasikan dengan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Pemerintah memperkirakan kapasitas stasiun pengisian kendaraan listrik di tingkat lambat, menengah, cepat, dan ultracepat masing-masing sebesar 3,5 kilowatt (kW), 22 kW, 60 kW, dan 150 kW. Dengan kapasitas itu, luas area untuk integrasi SPKLU dengan PLTS berturut-turut mencapai 48,6 meter persegi, 305,6 meter persegi, 833,3 meter persegi, dan 2.083,3 meter persegi.
Indonesia tengah beralih ke energi bersih demi mencapai komitmen menurunkan gas rumah kaca sebanyak 314 juta-398 juta ton karbon dioksida dari sektor energi pada tahun 2030. ”Penurunan emisi membutuhkan kombinasi percepatan energi baru-terbarukan (EBT), penggunaan kendaraan listrik, dan pemanfaatan teknologi yang mendorong efisiensi,” katanya dalam webinar berjudul ”Peluang dan Tantangan Pengembangan Ekosistem Battery, Electric Vehicle, dan Solar PV Rooftop”.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, integrasi antara PLTS dan SPKLU memungkinkan di Indonesia. ”Namun, perlu ada kajian terhadap tarif listrik yang dihasilkan agar dapat berdaya tarik bagi investor. Investasi dibutuhkan untuk pengadaan teknologi pendukungnya,” katanya saat dihubungi, Sabtu (29/5/2021).
Selain itu, Fabby menambahkan, pemerintah pusat ataupun daerah dapat memberikan insentif bagi pembangunan SPKLU berbasis energi baru dan terbarukan. Pemerintah daerah, misalnya, memberikan diskon Pajak Bumi dan Bangunan bagi pengembang atau operator SPKLU yang memanfaatkan energi baru terbarukan.
Ekosistem dan besaran tarif SPKLU telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Namun, regulasi ini belum menyebutkan pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai sumber daya stasiun pengisian kendaraan listrik secara khusus dan terperinci.
Sementara itu, Executive Vice President of Engineering and Technology PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Zainal Arifin mengatakan, saat ini terdapat 32 stasiun pengisian kendaraan listrik yang tersebar di 14 kota. Rata-rata konsumsi listriknya diperkirakan 12 kW jam per hari per kendaraan listrik. Dia menargetkan terdapat 168 stasiun pada akhir tahun 2021.
Dokumen berjudul ”Electric Vehicles for Smarter Cities: The Future of Energy and Mobility” dari Forum Ekonomi Dunia yang berkolaborasi dengan Bain&Company menyebutkan, stasiun pengisian kendaraan listrik dapat diintegrasikan dengan gedung cerdas (smart building) yang menggunakan PLTS atap. Supermarket yang memiliki PLTS atap dan menggunakan sistem pengelolaan energi digital, misalnya, dapat menyalurkan surplus energinya untuk kendaraan listrik konsumen.
Pengembangan baterai
Menurut Ketua Tim Percepatan Baterai Kendaraan Listrik Agus Tjahajana Wirakusumah, kendaraan listrik memengaruhi 45 persen komponen kendaraan mesin pembakaran internal (internal combustion engine). Sebanyak 45 persen komponen itu mayoritas akan digantikan oleh baterai. Baterai memiliki komposisi 35 persen dari komponen kendaraan listrik.
Oleh sebab itu, industri baterai memegang peran kunci dalam kendaraan listrik. Sayangnya, menurut Agus, Indonesia saat ini baru mampu membuat katoda baterai. Komponen baterai lain, seperti anoda, separator, dan elektrolit, masih berasal dari luar negeri. Agar baterai Indonesia dapat berdaya saing, industri dalam negeri mesti bergerilya memproduksi komponen-komponen yang masih diimpor tersebut.
Transisi energi bersih membutuhkan totalitas, bukan upaya setengah-setengah. Agar kendaraan listrik dapat memenuhi cita-cita itu, Indonesia perlu segera mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan untuk mengisi daya kendaraan listrik serta membangun industri baterai Tanah Air.