Kemajuan metropolitan Surabaya tidak melulu buah dari kinerja pemerintah kota. Inisiatif ”arek Suroboyo” justru banyak mewarnai perkembangan kota, termasuk dalam menghadirkan asupan gizi dari halaman rumah.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Sepekan sebelum panen lele sekaligus kangkung, Ketut Sukarni (45), ibu rumah tangga yang tinggal di RT 004 RW 003 Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya, mengirim pesan ke sejumlah grup. ”Ibu-ibu Sabtu depan kangkung dan lele panen, ayo dipesan, mau berapa ikat kangkung atau berapa kilogram lele”. Begitu pesan Ketut melalui grup Whatsapp pada Kamis (20/5/2021).
Memasarkan hasil budidaya lele sekaligus kangkung atau sawi hijau melalui telepon pintar sudah lama diterapkan kelompok ibu-ibu di Kota Surabaya. Pemasaran juga dilakukan dengan cara getok tular, atau dari mulut ke mulut.
Budidaya lele sekaligus sayuran di Kota Surabaya kian merebak sejak pandemi Covid-19 mendera pada Maret 2020. Budidaya di lahan sempit, bahkan hanya memanfaatkan ember plastik, terus berkembang jadi gerakan di akar rumput hingga menasional menjadi Gerakan Nasional Budidaya Lele (Gernas Bule).
Ketua Gernas Bule Any Rihana menuturkan, pada awal pandemi hasil budidaya itu dibagikan secara cuma-cuma. Sayur-mayur, ikan, juga kebutuhan pokok lain, seperti beras, gula, garam, dan mi, digantungkan pada wadah yang mudah dijangkau warga sekitar di tingkat RT dan RW.
Gernas Bule diawali dengan gerakan membagikan bibit tanaman dalam polybag 10.000 bibit atau G10P. Bibit sayuran yang dibagikan, antara lain, adalah kangkung dan sawi hijau yang biasa dikonsumsi masyarakat. Misi awalnya sekadar memenuhi gizi keluarga sambil bisa menjadi sumber pendapatan sampingan.
Warga bersemangat menanam berbagai jenis sayur, bahkan tomat dan cabai, dengan modal polybag. Ada yang dilakukan secara berkelompok, ada juga yang memilih mengusahakan sendiri. Melihat perkembangan yang begitu pesat, beberapa orang mencetuskan ide, budidaya sayur dilengkapi dengan protein dari ikan sebagai lauk saat bersantap.
”Sudah ada nasi dan sayur sehingga gizi keluarga bisa lebih terjaga lagi jika dilengkapi ikan sebagai lauknya. Dari situ muncul Gernas Bule,” kata Chusnur Ismiati, inisiator Gernas Bule, yang juga Ketua Dharma Wanita Surabaya.
Lele pun dipilih karena mudah dibudidayakan dan perawatannya relatif gampang. Dengan membudidayakan lele, minimal peningkatan protein hewani untuk mengurangi tengkes atau kurangnya asupan gizi anak teratasi.
Misi Gernas Bule untuk memandirikan warga dalam mewujudkan ketahanan pangan pun mendapat sokongan dari banyak pihak, seperti perusahaan, asosiasi, lembaga, dan bahkan komunitas. Mereka sukarela dan tanpa henti menyumbangkan ember berikut bibit lele dan sayur-mayur.
Pembagian wadah sekaligus bibit lele dan sayur sebagai modal awal bagi Ketut Sukarni untuk memanfaatkan lahan sempit di samping rumahnya. Banyak warga memilih berdikari meski ada pula yang sampai sekarang mengembangkan Gernas Bule secara berkelompok seperti yang ditekuni Any Rihana di Panjang Jiwo dan Moh Doni (45) di Rungkut.
Hampir semua pelaku Gernas Bule telah beberapa kali panen lele dan sayur. Lele bisa dipanen dalam tiga bulan, sedangkan kangkung atau sawi bisa panen setiap bulan.
Gernas Bule diawali dengan gerakan membagikan bibit tanaman dalam polybag 10.000 bibit atau G10P. Bibit sayuran yang dibagikan, antara lain, adalah kangkung dan sawi hijau yang biasa dikonsumsi masyarakat. Misi awalnya sekadar memenuhi gizi keluarga sambil bisa menjadi sumber pendapatan sampingan.
Gerakan ini terus berkembang karena para pelaku Gernas Bule juga tak pelit dalam menularkan ilmunya. Kelompok Gernas Bule pun secara militan terus berbagi kiat membudidayakan lele dan sayur, baik lewat media sosial Youtube maupun praktik langsung ke sekolah, komunitas, hingga warga di RT.
Bagi Ketut, meski masih sebagai karyawan, dia dan suaminya, Made Ardana, sangat menikmati usaha budidaya lele dan sayuran lain. Saat ini, lele tak hanya dibudidayakan dalam ember, tetapi sudah menggunakan bak penampungan air berukuran 1 meter x 2 meter.
Budidaya lele dan kangkung di lahan sempit itu diatur sedemikian rupa sehingga setiap akhir pekan ada yang dipanen untuk dipasarkan ke kolega dan tetangga. Untuk lele, biaya produksi 1.000 ekor sekitar Rp 1,8 juta untuk membeli bibit dan pakan selama tiga bulan. Hasilnya dijual Rp 18.000 per kg dengan laba sekitar Rp 600.000 untuk sekali panen.
Sementara kangkung dipanen setelah sebulan. Harga jual kangkung Rp 2.000 per ikat. Laba yang diperoleh sekitar Rp 300.000 dari 396 pot.
Menurut ibu dari empat putri ini, membudidayakan lele dan kangkung di sekitar rumah keuntungannya berlipat. Selain keuntungan materi, juga mendapat kebahagiaan.
”Kami sekeluarga jadi senang bertanam dan mencari peluang lain, semisal menanam lidah buaya, lantas diolah jadi keripik, sabun, hingga pupuk cair alami,” kata Ketut.
Ia pun tak pelit berbagi cara bercocok tanam kepada warga di sekitar. Kegiatan menguatkan ketahanan pangan keluarga dengan cara membagi pengetahuan sekaligus meneruskan pembagian wadah, seperti polybag, ember, sekaligus bibit lele dan sayuran, terus dilakukan bersama rekan-rekannya.
”Kadang sampai kehabisan stok, terutama bibit lele,” kata Moh Doni (45), penggerak Gernas Bule di Rungkut.
Peran pemkot
Pemerintah Kota Surabaya juga terus mengokohkan kemandirian ketahanan pangan warga. Pemkot mengajak warga memanfaatkan lahan sempit di sekitarnya untuk pertanian di perkotaan. Ajakan ini berjalan 10 tahun terakhir.
Setiap kali ada gejolak harga cabai, Pemkot Surabaya membagikan bibit cabai rawit kepada warga untuk ditanam di rumahnya. Misalnya pada 2019 saat harga cabai tembus Rp 100.000 per kg.
Pemkot Surabaya juga terus memberi peluang kepada warga untuk memanfaatkan lahan, mengembangkan budidaya ikan lele dan bandeng. Kawasan Mangrove Wonorejo adalah salah satunya. Di atas lahan seluas 1 hektar itu, warga bisa menghasilkan 1,25 ton bandeng.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya Yuniarto Herlambang mengatakan, hasil panen bisa melimpah karena menerapkan sistem silvofishery. Sistem budidaya ini merupakan penggabungan budidaya perikanan tanpa mengusik kelestarian hutan mangrove. Awalnya ditabur 10.000 benih bandeng. Ketika panen tiba, hasilnya sekitar 7.500 ekor dengan berat total 1,2 ton.
Ke depan, budidaya perikanan dan sayur-mayur di lahan sempit terus digalakkan. Gerakan ini diharapkan juga bisa menyuplai gizi keluarga dan menghadirkan ketahanan pangan bagi 3,3 juta warganya.
Kota Surabaya yang kini berusia 728 tahun terus bergerak untuk mewujudkan kesejahteraan dan kenyamanan warga. Inisiatif dan derap langkah ”arek Suroboyo” dalam gerakan ketahanan pangan ini bisa menginspirasi daerah lain untuk melakukan hal serupa.