Kebutuhan Layanan Satelit Telekomunikasi Tumbuh Pesat
Suplai kapasitas layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia saat ini diperkirakan baru 30 gigabita per detik (Gbps). Pemerintah mendorong penyediaan, antara lain melalui skema kerja sama dengan badan usaha.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan terhadap layanan komunikasi dan internet menggunakan satelit telekomunikasi menunjukan tren peningkatan. Pemerintah berupaya meningkatkan suplai kapasitas agar bisa mengejar tingginya tingkat kebutuhan.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Bakti Kemkominfo) Anang Latif saat dihubungi pada Rabu (26/5/2021) di Jakarta mengatakan, suplai kapasitas layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia baru mencapai sekitar 30 gigabita per detik (Gbps). Suplai ini berasal dari operator satelit BUMN dan swasta.
Sementara itu, permintaan kapasitas, kata dia, bisa di atas suplai yang tersedia. Pemerintah ambil bagian dari penyediaan kapasitas, misalnya melalui proyek satelit telekomunikasi Satria dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha. Satelit Satria mempunyai kapasitas 150 GBps.
Anang menyampaikan, berdasarkan data Bakti Kemkominfo, total titik layanan publik yang memerlukan akses internet memadai mencapai 150.000 titik. Jumlah ini mencakup 93.900 titik sekolah/pesantren, 47.900 titik pemerintah daerah, 3.700 fasilitas kesehatan, polsek/koramil 3.900 titik, dan kementerian/lembaga 600 titik.
Perkenalan atau penjajakan dengan Maxar, perusahaan pabrikan teknologi satelit asal Amerika Serikat, lanjut Anang, dimaknai sebagai salah satu potensi mitra Pemerintah Indonesia untuk mencukupi kapasitas layanan telekomunikasi berbasis satelit.
”Maxar merupakan pabrikan satelit. Bisa jadi Indonesia beli satelit ke mereka kalau butuh, bisa beli langsung, atau beli melalui badan usaha/skema kerja sama pemerintah dan badan usaha. Pemerintah masih akan membahas,” kata Anang.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyebutkan, kebutuhan kapasitas layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia bisa mencapai 1 terabita per detik (Tbps) atau 1.000 Gbps. Kebutuhan ini, jika terpenuhi, bisa dipakai untuk memeratakan akses internet ke seluruh Indonesia.
Dia memperkirakan, kebutuhan kapasitas bisa terus naik. Potensi besarnya kebutuhan kapasitas baru satelit juga diikuti kebutuhan kapasitas untuk cadangan. ”Masih banyak kebutuhan kapasitas satelit guna memenuhi permintaan layanan telekomunikasi, baik untuk layanan elektronik pemerintahan (e-government) maupun kebutuhan komunikasi lainnya,” ujarnya, Selasa (25/5/2021).
Johnny menilai Maxar telah berpengalaman menyokong keperluan penyediaan satelit-satelit di Indonesia, seperti satelit BRI, satelit Merah Putih, dan satelit Nusantara. Maxar diketahui ingin memperluas jaringan bisnisnya di Indonesia. Pertemuan dengan pihak Maxar juga dihadiri oleh perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.
Konsultan teknologi antariksa yang berbasis di Paris, Perancis, Euroconsult, dalam hasil riset ”The Space Economy Report 2020”, menyebutkan, nilai ekonomi pembuatan dan peluncuran satelit mencapai 385 miliar dollar AS pada 2020. Jumlah itu telah termasuk investasi luar angkasa pemerintah dan komersial secara global, termasuk Indonesia.
Pendapatan komersial sebesar 315 miliar pada 2020, turun 2 persen dari evaluasi tahun 2019 sebesar 319 miliar dollar AS. Ini sebagian disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang memengaruhi pasar komersial tertentu, khususnya subsegmen komunikasi satelit yang berfokus pada mobilitas tinggi, seperti aero, maritim, serta minyak dan gas lepas pantai.
Dalam laporan riset itu juga disebutkan, terdapat 70 miliar dollar AS yang diinvestasikan oleh anggaran pembuatan dan peluncuran satelit dari pemerintah pada 2020 atau naik 10 persen dari belanja pemerintah pada 2019. Investasi itu kemungkinan sudah ditetapkan sebelum pandemi Covid-19. Euroconsult menyebut perlunya mengamati keberlanjutan investasi yang tinggi dari pemerintah pascapandemi Covid-19.
Director of Technology Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Dani Indra Widjanarko saat dihubungi terpisah, Rabu, mengatakan, secara prinsip, operator satelit Indonesia (nasional) siap mendukung kebijakan pemerintah untuk memeratakan akses layanan internet. PSN, misalnya, menggunakan satelit telekomunikasi milik perusahaan sendiri, yakni satelit Nusantara Satu, yang telah digunakan secara total kapasitasnya sebesar 7 Gbps oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dani Indra menceritakan, saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika sebenarnya sudah mempunyai proyek pembangunan satelit dengan skema kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU) bersama PT Satelit Nusantara Tiga dan Thales Alenia Space untuk manufaktur satelit Satria. PT Satelit Nusantara Tiga telah menunjuk Thales Alenia Space untuk memproduksi satelit Satria. Satria akan menggunakan roket buatan SpaceX, Falcon 9. Pembuatannya pun sedang berlangsung.
”Setiap kali disediakan kapasitas baru layanan internet berbasis satelit telekomunikasi, suplainya itu langsung segera terisi penuh. Permintaan memang selalu tinggi,” ujar Dani.
Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia, Kanaka Hidayat, memberikan ilustrasi terkait permintaan kapasitas layanan telekomunikasi berbasis satelit. Satelit Satria mempunyai kapasitas 150 Gbps. Dengan asumsi kapasitas itu dipakai melayani 150 titik wilayah/instansi, sebenarnya kapasitas 150 Gbps kurang. Sebab, kondisi sekarang menunjukkan satu titik wilayah/instansi memerlukan 2 Mbps.
Pemerintah, kata dia, kemungkinan sudah memprediksi hal itu. Sebagai industri strategis, penjajakan kerja sama dengan manufaktur satelit biasanya disertai dukungan pemerintah.
Kebutuhan terbesar layanan telekomunikasi berbasis satelit, lanjut Kanaka, datang dari sektor pendidikan, kesehatan, pariwisata, dan maritim.
Tren kebutuhan terbesar layanan telekomunikasi berbasis satelit, lanjut Kanaka, datang dari sektor pendidikan, kesehatan, pariwisata, dan maritim. Untuk sektor maritim, pemenuhan layanan telekomunikasi berbasis satelit dapat mendukung pemajuan industri. Apalagi, Indonesia mempunyai laut yang luas dengan potensi hayati yang besar.
Hanya saja, pemenuhan layanan telekomunikasi berbasis satelit tidak mudah dilakukan. Kanaka menyebutkan ada dua tantangan, yakni pemetaan akurat kebutuhan penggunaan/konsumsi sesuai dengan teknis jangkauan dan pendanaan pengadaan satelit telekomunikasi.
Dani mengatakan, kendala klasik yang dialami Indonesia masih sama, yaitu jaringan telekomunikasi berupa kabel tidak mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Kalaupun secara teknis pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi seperti itu memungkinkan dilakukan, para operator telekomunikasi menilai perhitungan ekonomi tidak layak.
”Sementara kendala pada satelit terletak pada pembangunannya yang butuh waktu setidaknya tiga tahun. Saat bersamaan, kebutuhan dari dalam negeri pun terus menunjukkan tren kenaikan,” tuturnya.