Harus ada jaminan sosial bagi pekerja migran, baik saat mereka berada di negara tujuan maupun setelah pulang dari negara tujuan. Perbaikan tersebut diatur lewat undang-undang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lewat perbaikan regulasi, pemerintah berencana memperkuat jaminan sosial bagi pekerja migran, dari perluasan manfaat sampai kemudahan mengajukan klaim. Para pekerja migran selama ini bekerja dengan perlindungan minim, terutama saat berada di negara penempatan dan setelah kembali ke Tanah Air.
Pembenahan perlindungan bagi pekerja migran itu tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, revisi peraturan itu akan membenahi sejumlah hal yang selama ini menjadi kendala penerapan program jaminan sosial bagi pekerja migran. Kendati sudah berlaku sejak 2017, ia mengakui, cakupan perlindungan bagi para pekerja migran belum optimal.
Contohnya, para pekerja migran yang mengalami kecelakaan kerja belum terlindungi dan kerap kesulitan mengakses perawatan di negara penempatan. Selain itu, pekerja migran, khususnya anak buah kapal (ABK), kerap kesulitan mengajukan klaim manfaat karena persyaratan dokumen yang terlalu rumit.
”Kami sudah 80 persen menyelesaikan proses revisi Permenaker No 18/2018 itu. Masalah di lapangan juga sudah kami diskusikan dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Semoga Agustus ini sudah bisa tuntas revisinya,” kata Ida dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (24/5/2021).
Revisi peraturan itu akan membenahi sejumlah hal yang selama ini menjadi kendala penerapan program jaminan sosial bagi pekerja migran.
Ada lima poin perluasan manfaat jaminan sosial yang sedang digodok dalam revisi Permenaker itu. Pertama, pemberian bantuan uang tunai bagi anak pekerja migran Indonesia (PMI) yang mengalami cacat total atau meninggal dunia. Kedua, bantuan uang bagi calon PMI dan PMI yang mengalami kekerasan fisik dan pemerkosaan.
Ketiga, perpanjangan masa berlaku perlindungan sebelum bekerja akibat dampak dari kebijakan penutupan sementara penempatan PMI. Keempat, bantuan uang tunai bagi PMI yang mengalami pemutusan hubungan kerja akibat kecelakaan kerja dan bagi PMI yang dipecat bukan karena kesalahannya.
Kelima, semua kejadian yang dialami PMI selama bekerja di negara penempatan dapat dilindungi lewat program BP Jamsostek. ”Kami juga akan mempermudah mekanisme pengajuan klaim dengan mengurangi dokumen persyaratannya. Jadi, cukup dengan kartu kepesertaan dan bukti resume medis atau surat kematian dan surat keterangan hilang (bagi ABK),” kata Ida.
Kepala BP2MI Benny Ramdhani berpendapat, skema BP Jamsostek perlu segera dibenahi. Ia menilai, skema jaminan sosial bagi PMI di bawah BP Jamsostek justru berkurang dibandingkan dengan sebelumnya saat masih diampu oleh konsorsium asuransi yang terdiri dari Jasindo, Astindo, dan Mitra TKI pada periode 2014-2017.
”Dulu, waktu konsorsium, ada 13 item manfaat yang ditanggung. Sekarang berkurang menjadi hanya 10 item dan nilainya pun berkurang. Ini tidak adil. BP Jamsostek untung banyak, tetapi manfaat yang bisa diklaim PMI kita justru minim,” katanya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, perluasan jangkauan skema perlindungan jaminan sosial bagi pekerja migran merupakan hal yang mendesak. Selama ini, perlindungan lebih banyak fokus pada skema pra-penempatan, seperti jaminan jika PMI gagal berangkat atau kecelakaan kerja sebelum penempatan.
Namun, begitu tiba di negara tujuan dengan kerentanan yang lebih tinggi, PMI tidak mendapat perlindungan memadai. Biasanya, untuk mengakses manfaat, PMI harus membuktikan dulu keluhannya dengan persyaratan dan dokumen yang sulit. ”Misalnya, harus ada keterangan resmi dari majikan, padahal sedang ada konflik dengan majikan,” katanya.
Perluasan jangkauan skema perlindungan jaminan sosial bagi pekerja migran merupakan hal yang mendesak.
Persoalan lainnya, BP Jamsostek tidak bekerja sama dengan institusi penyedia jaminan sosial atau asuransi di negara penempatan. Akibatnya, tidak ada skema untuk melindungi PMI di negara penempatan. ”Di regulasi baru harus dimandatkan bahwa BP Jamsostek harus menggandeng institusi serupa di negara tujuan,” ujar Wahyu.
Aspek lainnya yang harus diperhatikan adalah perlindungan bagi PMI setelah kembali ke Tanah Air. Wahyu mengatakan, dengan laju kepulangan yang tinggi selama pandemi ini, banyak PMI yang tidak terlindungi.
BP2MI mencatat, pada periode Mei-Juni 2021 ada 49.682 pekerja migran yang akan kembali ke Indonesia karena masa kontraknya berakhir pada April-Mei 2021. Selain itu, ada 10.030 PMI yang diestimasikan akan kembali ke Indonesia karena kontrak kerjanya selesai pada Juni-Juli 2021.
Jumlah kepulangan PMI ini diprediksi bertambah seiring dengan berakhirnya masa kontrak kerja serta moratorium penempatan PMI yang masih berlaku sampai sekarang.
Wahyu mengatakan, PMI yang kembali itu tidak bisa mengakses manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) karena masa kerja mereka baru 2-3 tahun. Di sisi lain, mereka juga tidak bisa mengakses bantuan sosial karena tidak terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Mereka juga tidak termasuk penerima bantuan subsidi upah karena bukan pekerja formal.
”Yang dibutuhkan bukan program JHT, melainkan skema perlindungan pascamigrasi. Seharusnya, para pekerja migran juga diperbolehkan mendapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),” ujar Wahyu.