Implementasikan IE-CEPA, RI Matangkan Skema Investasi dan Perdagangan
Dalam upaya penerapan IE-CEPA, RI menawarkan komitmen di lima sektor investasi pontesial yang terdiri atas 182 subsektor. Kelima sektor itu adalah pertanian, pertambangan, manufaktur, energi, dan penyediaan air bersih.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
ANTARA/SIGID KURNIAWAN
Kapal tunda melintas di dekat kapal yang melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (23/7/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa atau IE-CEPA ditargetkan bergulir pada semester II-2021. Kementerian Perdagangan dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia terus mematangkan implementasi investasi dan perdagangan ke empat negara yang tergabung dalam Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa atau EFTA.
Keempat negara tersebut adalah Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein. Di sektor perdagangan, Indonesia akan mendapatkan tarif 0 persen atas penghapusan 7.042 pos tarif atau 81,74 persen dari total pos tarif dari Swiss dan Liechtenstein, 8.100 pos tarif (94,28 persen) dari Islandia, dan 6.388 pos tarif (99,94 persen) dari Norwegia.
Direktur Jenderal Perundingan Bilateral Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini, Senin (24/5/2021), mengatakan, dengan IE-CEPA, Indonesia dapat meningkatkan ekspor dan mendulang investasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasonal. Di sektor perdagangan, Indonesia dapat memanfaatkan tarif 0 persen untuk meningkatkan ekspor produk-produk unggulan ke empat negara EFTA.
Swiss, misalnya, mengenakan tarif 0 persen untuk emas dan perhiasan, tekstil, alas kaki, kendaraan roda dua, dan minyak esensial. Begitu juga dengan Islandia yang mengenakan tarif 0 persen bagi Indonesia untuk produk kopi, alas kaki, minyak ikan, ikan, udang, kertas, dan furnitur.
”Di sektor investasi, Indonesia telah menawarkan komitmen di lima sektor investasi potensial yang terdiri atas 182 subsektor. Kelima sektor itu adalah pertanian, pertambangan, manufaktur, energi, dan penyediaan air bersih,” ujarnya dalam ”Sosialisasi Hasil Perundingan Perdagangan Internasional IE-CEPA” yang digelar secara virtual di Jakarta.
Indonesia telah menawarkan komitmen di lima sektor investasi potensial yang terdiri atas 182 subsektor. Kelima sektor itu adalah pertanian, pertambangan, manufaktur, energi, dan penyediaan air bersih.
Hingga saat ini, Indonesia telah meratifikasi IE-CEPA melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengesahan IE-CEPA. Kini Indonesia tinggal merampungkan dua regulasi turunannya, yaitu peraturan menteri perdagangan dan peraturan menteri keuangan.
Swiss telah mendapatkan dukungan Senat pada 20 Desember 2019 dan referendum masyarakat pada 7 Maret untuk mengimplementasikan IE-CEPA. Adapun Norwegia dan Islandia telah merampungkan ratifikasi masing-masing pada 13 Desember 2019 dan 29 Januari 2020. Sementara Liechtenstein masih dalam proses ratifikasi.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, negara-negara EFTA merupakan negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita antara 60.000 dollar AS dan 80.000 dollar AS per tahun. Negara-negara tersebut memiliki potensi sebagai investor serta pengimpor barang dan jasa yang sangat tinggi.
Merujuk data Bank Dunia pada 2019, nilai impor barang dan jasa berdasarkan neraca pembayaran Swiss sebesar 393 miliar dollar AS, Norwegia 140 miliar dollar AS, dan Islandia 9,75 miliar dollar AS. Adapun potensi investasi asing secara langsung dari Swiss sebesar 72,84 miliar dollar AS, Norwegia 6,95 miliar dollar AS, dan Islandia 295 juta dollar AS.
Melihat potensi itu, lanjut Shinta, Indonesia harus benar-benar memanfaatkan IE-CEPA untuk meningkatkan ekspor dan investasi. Masih banyak produk Indonesia yang potensial atau belum optimal dipasarkan ke negara-negara EFTA, seperti nikel, udang, dan ikan air tawar.
Di sektor investasi, Indonesia harus bisa menangkap investasi di sektor pertanian dan manufaktur, terutama dalam penerapan teknologi tinggi untuk mendukung pengembangan industri 4.0 Indonesia. Swiss memiliki potensi tersebut. Adapun Islandia, Indonesia bisa bekerja sama dalam pengembangan energi baru terbarukan.
”Kadin akan terus berupaya menggelar pertemuan dan penjajakan bisnis dengan pelaku usaha dan industri di negara-negara EFTA. Kami juga akan mencari pemain lokal yang bisa bermitra dengan pemain asing, baik di sektor perdagangan maupun investasi,” kata Shinta.
Shinta mengingatkan masih ada hambatan nontarif yang bakal dihadapi dalam pengembangan perdagangan dengan negara-negara EFTA. Hambatan itu terutama terkait kualitas produk, baik mencakup standardisasi maupun aspek lingkungan hidup atau berkelanjutannya. Hal ini juga berlaku bagi usaha kecil menengah sehingga mereka perlu mendapatkan pendampingan untuk meningkatkan kualitas produk.
”Selain itu, beban biaya produksi dan pembiayaan selalu menjadi pertimbangan eksportir untuk mengekspor produknya. Kedua hal ini penting dicarikan solusi lantaran kita berkompetisi dengan negara-negara lain yang juga mengekspor produk-produk tersebut ke negara-negara EFTA,” katanya.
Masih ada hambatan nontarif yang bakal dihadapi dalam pengembangan perdagangan dengan negara-negara EFTA. Hambatan itu terutama terkait kualitas produk, baik mencakup standardisasi maupun aspek lingkungan hidup atau berkelanjutannya.
Perjanjian IE-CEPA juga menguntungkan Indonesia untuk meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya ke negara-negara EFTA, bahkan ke Uni Eropa (UE). Ekspor CPO dan produk turunannya ke UE ini berpotensi terhambat lantaran aturan Renewable Energy Directive (RED) II yang dikeluarkan Komisi Eropa pada 13 Maret 2019.
Melalui regulasi ini, UE telah menetapkan CPO sebagai bahan baku energi terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC). Pengklasifikasian CPO berdasarkan ILUC itu merujuk pada laporan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa berjudul ”Report on the Status of Production Expansion of Relevant Food and Feed Crops Worldwide”.
Laporan itu menyebutkan, terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi yang tinggi selama periode 2008-2015. Tingkat deforestasi akibat dari tanaman kelapa sawit mencapai 45 persen dan semuanya terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Hal ini menyebabkan CPO dikeluarkan dari daftar bahan baku energi terbarukan dan UE berencana mengurangi secara bertahap penggunaan CPO terhitung dari Januari 2024.
Menurut Made, dalam perundingan IE-CEPA, Swiss sepakat menerima sertifikasi sawit berkelanjutan Indonesia, yakni Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Syaratnya, pemberian tarif preferensial khusus CPO harus memenuhi standar keberlanjutan dan kedua negara dapat bekerja sama memperbaiki dan memperkuat ISPO. Semula, Swiss dan negara-negara Eropa yang lain hanya menerima sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Selain itu, Swiss juga akan memberikan perlakuan yang sama jika memberikan tarif preferensi yang lebih baik kepada negara produsen CPO lainnya. ”Setelah Swiss, kami berharap negara-negara Eropa lainnya bisa menerima CPO Indonesia yang telah memiliki ISPO tersebut,” katanya.
Melalui IE-CEPA, produk CPO Indonesia ke Islandia dan Norwegia dikenai tarif nol persen. Adapun ke Swiss, penurunan tarifnya harus memenuhi persyataran tertentu, yaitu untuk kuota bervariasi dalam kontainer maksimal 2 ton mendapat penurunan tarif 20 persen-40 persen hingga tahun ke-5. Untuk kuota 100 ton dengan kemasan botol maksimal 2 liter dan untuk konsumsi dikenai tarif 0 persen.