Bentuk ”Predatory Pricing” di Kanal E-dagang Perlu Diperjelas
Bentuk-bentuk praktik harga predator ini harus jelas. Jangan sampai produsen yang bisa menurunkan harga serendah-rendahnya karena kemampuan inovasi dan efisiensi produksinya dianggap menerapkan harga predator.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mematangkan revisi regulasi yang mengatur tentang perdagangan elektronik atau e-dagang untuk melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah. Dalam proses tersebut, pemerintah diharapkan memperjelas bentuk-bentuk predatory pricing atau harga predator dalam e-dagang.
Salah satu poin tersebut mengemuka dalam Forum Diskusi Terbatas ”Melindungi UMKM di Kanal E-dagang” yang digelar Kompas dan Kementerian Perdagangan secara hibrida di Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Diskusi dengan narasumber kunci Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan dihadiri sejumlah perwakilan e-dagang, UMKM, dan kementerian/lembaga ini bertujuan menggali masukan dan tanggapan publik terkait rencana revisi regulasi e-dagang.
Lutfi mengatakan, pemerintah tengah mematangkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Revisi ini diperlukan untuk melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri dalam negeri dari praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama di kanal e-dagang.
Praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat itu terlihat dari makin maraknya pedagang-pedagang dari luar negeri yang menjual barangnya dengan harga sangat murah di beberapa lokapasar (marketplace).
Hal ini merupakan salah satu bentuk penerapan harga predator yang merugikan, bahkan berpotensi menghancurkan usaha dan industri dalam negeri.
Ia mencontohkan, ada hijab yang dijual secara daring dengan harga Rp 1.900 per buah. Pedagangnya yang berasal dari luar negeri itu hanya membayar pajak rata-rata 40.000 dollar AS per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan usaha atau industri kecil hijab yang membayar pekerja konfeksinya sebesar 640.000 dollar AS per tahun.
”Hal ini tidak hanya menghancurkan kompetisi, tetapi juga usaha dan industri nasional. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang jelas dan tegas, serta ’wasit’ yang mampu mengelola dan mengawasi tata niaganya,” ujarnya.
Hal ini tidak hanya menghancurkan kompetisi, tetapi juga usaha dan industri nasional. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang jelas dan tegas, serta ’wasit’ yang mampu mengelola dan mengawasi tata niaganya.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Regulasi Atasi Harga Predator
Menurut Lutfi, revisi regulasi tersebut bukan berarti Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan proteksionisme. Dengan regulasi itu, pemerintah ingin menciptakan perdagangan yang bermartabat, adil, dan bermanfaat.
Salah satunya nanti menyangkut kesetaraan antara pedagang daring dan luring. Jika pedagang daring ingin mengimpor, mereka harus mengikuti ketentuan yang sama seperti pedagang luring, seperti memiliki izin usaha dan membayar pajak. Saat menjual produknya nanti, mereka juga tidak boleh menerapkan praktik harga predator.
Dalam wawancara dengan Kompas pada awal Mei 2021, Lutfi menyebutkan inti pokok revisi Permendag 50/2020. Beberapa hal yang akan diatur antara lain lokapasar domestik dengan lokapasar asing, kesimbangan perdagangan daring dan luring, pelaku domestik dengan internasional, serta semua pilar perdagangan yang menerapkan persaingan sehat dan kesetaraan pedagang-penjual.
Dalam regulasi pengganti nanti, lokapasar harus turut menjaga tingkat persaingan usaha antarpedagang. Mereka juga wajib menjaga harga barang atau jasa dalam sistem e-dagangnya bebas dari praktik manipulasi harga, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemerintah juga akan memperjelas identitas lokapasar dan pedagang dalam negeri dengan luar negeri. Khusus pedagang luar negeri harus memiliki dan mencantumkan dokumen country of origin of seller. Artinya, mereka wajib mendaftarkan nomor, nama, dan instansi pernerbit negara asalnya yang masih berlaku (Kompas, 10 Mei 2021).
Baca juga: Menteri Perdagangan: Kami Akan Perbaiki Pengaturan Aset Kripto dan E-dagang
Fokus pengaturan
Dalam kesempatan yang sama, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, e-dagang membuka peluang lebar bagi perdagangan lintas negara sekaligus persaingan harga. Kedua hal ini perlu menjadi fokus dalam revisi regulasi tentang e-dagang.
Melalui e-dagang, masyarakat dapat dengan mudah membeli barang-barang secara langsung dari luar negeri karena platform e-dagang luar negeri dapat dengan mudah diakses dari dalam negeri. Hal ini juga membuka potensi besar penipuan yang bisa merugikan pembeli.
”Dalam konteks tersebut, kita membutuhkan pengaturan impor, pengenaan pajak, dan perlindungan pembelinya,” katanya.
Bentuk-bentuk penerapan harga predator ini harus jelas. Jangan sampai produsen atau pelaku usaha dan industri yang bisa menurunkan harga serendah-rendahnya karena kemampuan inovasi dan efesiensi produksinya dianggap menerapkan harga predator.
Sementara terkait dengan persaingan harga dan harga predator, pemerintah harus mengkajinya secara cermat. Bentuk-bentuk penerapan harga predator ini harus jelas. Jangan sampai produsen atau pelaku usaha dan industri yang bisa menurunkan harga serendah-rendahnya karena kemampuan inovasi dan efisiensi produksinya dianggap menerapkan harga predator.
”Harga murah belum tentu merupakan bentuk praktik harga predator. Kalau harganya itu buah dari inovasi dan upaya efisiensi yang dilakukan produsen tersebut, seharusnya justru diapresiasi,” ujar Piter.
Baca juga:
Dalam konteks dumping, lanjut Piter, harga murah buah dari inovasi dan efisiensi tidak bisa dikategorikan sebagai dumping. Harga murah tersebut bisa dikategorikan sebagai dumping jika ada bantuan dari pemerintah atau sengaja menjual barang-barang sisa produksi.
Lain halnya dengan pembentukan harga murah dari praktik mendesain harga dengan tujuan monopoli atau mematikan usaha lain. Praktik ini bisa disebut sebagai praktik harga predator.
Ia menjelaskan, kendati merugi, perusahaan dengan kemampuan dan modal besar sengaja menjual barangnya semurah-murahnya sehingga para pesaingnya tidak mampu bertahan.
Setelah para pesaingnya kolaps, perusahaan tersebut menaikkan kembali harga barang itu sehingga mendapatkan keuntungan dan menguasai pasar.
”Intinya saya sependapat regulasi sangat diperlukan, tapi harus jelas apa yang perlu diatur dan bagaimana pengaturannya. Saya juga berharap pemerintah tidak sekadar mengatur, tetapi juga yang paling penting adalah mengawasi dan memberikan sanksi bagi para pelanggarnya,” katanya.
Ketua Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mendukung pemerintah yang beritikad baik merevisi Permendag 50/2020 dalam rangka melindungi UMKM. Ia berharap para pedagang domestik dan asing yang memiliki toko daring di lokapasar memiliki nomor induk berusaha (NIB).
Hal itu akan mempermudah pengawasan dan pemberian sanksi kalau pelaku usaha tersebut melanggar regulasi yang ada. Pemerintah bisa mencabut NIB jika pedagang tersebut terbukti melanggarnya.
”Namun yang perlu dipikirkan adalah apakah pemerintah bisa mengakses atau masuk ke admin lokapasar dalam rangka pengawasan tersebut. Aspek keterbukaan data ini juga sangat diperlukan,” katanya.
Baca juga : Presiden Peringatkan ”Raksasa” Digital Tak Rugikan Indonesia