Indonesia harus beralih dari energi berbasis batubara demi lingkungan hidup. Perlu ada ongkos tambahan berupa penggantian realisasi investasi yang belum mencapai imbal hasil serta pemanfaatan teknologi.
Oleh
M Paschalia Judith J dan Aris Prasetyo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam transisi energi, pelaku industri pembangkit listrik batubara mesti mengeluarkan ongkos tambahan akibat dampak negatif yang ditimbulkan pada lingkungan hidup. Tambahan itu berasal dari aspek imbal hasil investasi dan teknologi yang menunjang pemenuhan target karbon netral.
Executive Advisor John Karamoy & Associates (JK&A) John S Karamoy menilai, Indonesia perlu mengurangi penggunaan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Tantangannya adalah sejumlah investasi batubara belum bisa kembali dalam beberapa tahun ke depan. Namun, transisi energi dari fosil ke sumber energi terbarukan tetap harus dijalankan.
”Sebanyak 60 persen listrik di Indonesia mengandalkan batubara yang emisi gas karbondioksidanya tinggi. Padahal, masyarakat menuntut energi yang tidak bergantung pada sumber-sumber penghasil gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim,” kata John dalam webinar bertajuk ”Indonesia’s Energy Transition Pathway” yang diselenggarakan Aksara Corner, Minggu (23/5/2021).
Laman resmi Administrasi Informasi Energi AS menyebutkan, emisi gas karbondioksida dari energi berbasis batubara berkisar 214,3-228,6 pon per juta satuan termal british (Btu). Nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahan bakar solar dan heating oil yang sebesar 161,3 pon per juta Btu, gasolin tanpa etanol (157,2 pon per juta Btu), propane (139 pon per juta Btu), dan gas alam (117 pon per juta Btu).
Investasi batubara sepanjang dua atau tiga tahun terakhir berpotensi belum mencapai tingkat imbal hasil yang ditargetkan.
Anggota Dewan Pembina Indonesian Institute for Energy Economics Widhyawan Prawiraatmadja menambahkan, investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar utama batubara menjadi tantangan karena terdapat kontrak yang baru ditandatangani. Ada pula investasi yang akan beroperasi secara komersial.
”Kalau terlalu cepat diberhentikan, persoalan stranded asset akan muncul. Hal ini perlu dipikirkan, siapa yang akan menanggung? Ke depan, sebaiknya tak ada lagi tambahan di batubara (untuk PLTU),” ujar Widhyawan.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Pandu Sjahrir memperkirakan, investasi sepanjang dua atau tiga tahun terakhir berpotensi belum mencapai tingkat imbal hasil yang ditargetkan. Menurut dia, perusahaan-perusahaan ini perlu meningkatkan pendapatan dan pengembalian modal.
”Secara umum, investasi di tambang batubara juga tengah bertransisi demi memenuhi cita-cita karbon netral. Pelaku usaha batubara siap sejalan dengan pemerintah dalam transisi energi nasional,” ucap Pandu.
Penangkap karbon
Dalam masa transisi energi, Widhyawan mengatakan, PLTU yang membakar batubara kini dapat memanfaatkan teknologi penyimpanan, utilisasi, dan penangkapan karbon (CCUS). Hanya saja, pemanfaatan teknologi ini menjadi komponen biaya tambahan. Oleh karena itu, dia menilai, batubara sebenarnya bukan sumber energi yang murah.
”Ada biaya penanggulangan yang muncul karena (batubara) berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim,” kata Widhyawan.
Penggunaan teknologi CCUS tersebut membutuhkan belanja modal tambahan, yakni berkisar 10-15 persen dari biaya investasi secara keseluruhan.
Mengenai pemanfaatan teknologi tersebut, Pandu menyebutkan, CCUS sudah lazim digunakan oleh pembangkit listrik berbasis batubara. Penggunaan teknologi tersebut membutuhkan belanja modal tambahan, yakni berkisar 10-15 persen dari biaya investasi secara keseluruhan.
Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) siap menguji coba penggunaan teknologi penurun emisi pada dua PLTU, yakni di Banten dan Sumatera Selatan. Teknologi CCUS yang digunakan bisa menurunkan emisi hingga 90 persen.
Dua PLTU yang akan diterapkan teknologi CCUS tersebut adalah PLTU Jawa 7 dengan kapasitas 2 x 1.000 megawatt (MW) di Serang, Banten, serta PLTU Sumatera Selatan 6 dengan kapasitas 600 MW. PLTU Jawa 7 sudah beroperasi pada tahun 2020, sedangkan PLTU Sumatera Selatan 6 dijadwalkan beroperasi pada 2022. Penerapan teknologi CCUS di PLTU Jawa 7 dijadwalkan pada 2025 dan di PLTU Sumatera Selatan 6 pada 2027.
Menurut Executive Vice President Electricity System Planning PLN Edwin Nugraha Putra, ada tiga skenario penurunan emisi yang bakal diterapkan di dua PLTU tersebut. Ketiga skenario itu dilakukan dengan menurunkan tingkat emisi masing-masing sebesar 90 persen, 45 persen, dan 22,5 persen. Setiap skenario memiliki konsekuensi tersendiri.
Selain berdampak terhadap turunnya daya mampu pembangkit, lanjut Edwin, penerapan teknologi CCUS juga bisa menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
”Setiap skenario penurunan emisi karbon berdampak pada turunnya daya listrik yang dihasilkan pada PLTU tersebut. Sebagai contoh, apabila diterapkan skenario 90 persen pada PLTU Jawa 7 dengan kapasitas maksimum 2.000 MW, daya yang dikeluarkan turun menjadi 1.449 MW,” kata Edwin (Kompas, 26/2/2021).
Selain berdampak terhadap turunnya daya mampu pembangkit, lanjut Edwin, penerapan teknologi CCUS bisa menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Sebagai contoh pada PLTU Jawa 7, BPP listriknya akan membengkak menjadi 15 sen dollar AS per kilowatt jam (kWH) dari semula yang sebesar 7,9 sen dollar AS per kWH. Hal itu disebabkan biaya investasi teknologi CCUS terbilang mahal.
Peta jalan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan, energi surya memainkan peranan penting dalam transisi energi serta berkontribusi signifikan pada dekarbonisasi sistem energi di Indonesia. Sayangnya, dari potensi tenaga surya sebesar 207.800 MW, pemanfaatannya baru 154 MW.
”Dari beragam sumber energi terbarukan, PLTS adalah yang tumbuh paling cepat. Data International Energy Agency mengungkapkan bahwa sampai 2019, kapasitas terpasang PLTS di seluruh dunia mencapai 627.000 megawatt atau tumbuh pesat dari 2009 yang hanya 23.000 megawatt,” kata Fabby.
Fabby menambahkan, Indonesia perlu peta jalan yang mampu merumuskan proses transisi energi dari fosil ke sumber energi terbarukan. Dokumen Rencana Umum Energi Terbarukan saat ini dipandang kurang relevan terhadap kondisi mutakhir. Peta jalan dibutuhkan untuk memenuhi ambisi Perjanjian Paris 2015 yang turut ditandatangani Pemerintah Indonesia.
Dengan kemampuan sendiri, Indonesia berambisi menurunkan emisi gas rumah kaca 29 persen dan 41 persen jika didukung dunia internasional pada 2030. Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.
Indonesia menargetkan porsi bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 atau hampir dua kali lipat dari kondisi sekarang yang sebesar 11,2 persen.