Meski ketersediaan spektrum frekuensi untuk 5G belum ideal, komersialisasi layanan tetap bisa dilakukan oleh operator.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan spektrum frekuensi saat ini belum ideal untuk penyelenggaraan layanan komersial 5G secara maksimal di Indonesia. Meski demikian, operator telekomunikasi seluler bisa tetap menggelar komersialisasi layanan dengan spektrum frekuensi yang sudah ada.
Asosiasi yang membawahi pelaku industri telekomunikasi dan sektor terkait atau Global System for Mobile Communications Associations (GSMA) dalam laporan ”GSMA Public Policy Position on 5G Spectrum (2018)” menyebutkan, kinerja 5G seperti itu butuh lebar pita frekuensi yang lebih luas dan beragam jenis pita frekuensi.
Untuk mendapatkan kecepatan maksimal, misalnya, per operator telekomunikasi seluler butuh lebar pita frekuensi 80 sampai 100 Megahertz (MHz) di jenis pita frekuensi menengah (mid-bands) dan lebar pita frekuensi sekitar 1 Gigahertz (GHz) di jenis milimeter wave bands.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah mengatakan untuk memenuhi kecukupan spektrum frekuensi yang ideal untuk penggelaran komersial 5G, operator telekomunikasi bisa menonaktifkan layanan telekomunikasi berteknologi 2G ataupun 3G. Hal itu seharusnya menjadi keputusan masing-masing operator.
Untuk memenuhi kecukupan spektrum frekuensi yang ideal untuk penggelaran komersial 5G, operator telekomunikasi bisa menonaktifkan layanan telekomunikasi berteknologi 2G ataupun 3G.
”Salah satu pertimbangan mematikan (layanan telekomunikasi berteknologi akses 2G atau 3G) adalah konsumen. Jika mau menonaktifkan komersial 2G, misalnya, operator telekomunikasi akan melihat masih banyak atau tidak pelanggan memakai ponsel biasa atau sudah beralih ke ponsel pintar. Analogi yang sama juga akan dipakai operator telekomunikasi jika ingin mematikan layanan 3G,” ujar Ririek saat dihubungi, Minggu (23/5/2021).
Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Joseph Matheus Edward berpendapat, penggelaran komersial layanan berteknologi akses seluler 5G di Indonesia tidak perlu menunggu tuntasnya migrasi siaran televisi analog ke digital (analog switch off/ASO) yang ditargetkan pada November 2022. Proses uji coba layanan 5G menggunakan spektrum frekuensi hasil ASO bisa dilakukan bertahap melalui koordinasi dengan daerah yang sudah mulai memberlakukan ASO.
Seperti diketahui, ASO akan menghasilkan dividen digital sebagai dampaknya. Dari 180 MHz yang ada (dari total 700 MHz), industri penyiaran hanya akan disediakan lebar pita sebanyak 30 MHz. Dengan demikian, tersisa 150 MHz dividen digital yang bisa memberikan kontribusi, misalnya untuk membangun industri telekomunikasi (Kompas, 22/5/2018).
”Layanan 5G pada dasarnya menggantikan 4G LTE, sedangkan 4G LTE menggantikan 3G. Layanan telekomunikasi berteknologi akses seluler 2G tetap bisa aktif dan disebut teknologi netral yang keputusannya diserahkan ke setiap operator,” kata Ian.
Dengan mengacu UU itu, pemenuhan kebutuhan spektrum frekuensi bisa dilakukan oleh operator telekomunikasi dengan bekerja sama dengan pemilik lisensi pita frekuensi nontelekomunikasi sehingga lebih efisien.
Lebih jauh mengenai kecukupan ideal spektrum frekuensi 5G, lanjut dia, operator telekomunikasi seluler bisa mengacu ke amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan mengacu UU itu, pemenuhan kebutuhan spektrum frekuensi bisa dilakukan oleh operator telekomunikasi dengan bekerja sama dengan pemilik lisensi pita frekuensi non-telekomunikasi sehingga lebih efisien.
Dengan kondisi ketersediaan spektrum frekuensi seperti sekarang, Ian mengatakan, komersialisasi layanan 5G di Indonesia bisa tetap menyasar segmen pebisnis dan konsumen ritel. Bentuk inovasi produk berbasis 5G meliputi, antara lain, benda terhubung internet (IoT) dan gim.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemkominfo Ahmad M Ramli mengatakan, terkait Uji Laik Operasi (ULO) 5G, kementerian merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi. Kementerian terus mengamati perkembangan 5G, khususnya terkait kesiapan infrastruktur, aspek bisnis, kesiapan pelanggan, dan ekosistem.
”Kami menganut prinsip teknologi netral sehingga operator telekomunikasi seluler dapat menggunakan berbagai teknologi untuk memanfaatkan frekuensi yang dikuasainya, termasuk teknologi 5G,” kata Ahmad.
Hampir semua operator telekomunikasi seluler mendukung 5G, namun masih bersikap ”tunggu dan melihat” khususnya terkait perkembangan pasar.
Ahmad membenarkan bahwa regulasi UU Cipta Kerja juga sudah memberi dasar hukum agar baik infrastruktur pasif maupun frekuensi bisa dikolaborasikan untuk mendukung implementasi teknologi baru. Pihaknya telah berdiskusi dan meminta pendapat para operator telekomunikasi seluler terkait penggelaran layanan 5G. Tanggapan yang Kemkominfo peroleh adalah hampir semua operator telekomunikasi seluler mendukung 5G, tetapi masih bersikap ”tunggu dan melihat” khususnya terkait perkembangan pasar.
”Untuk situasi sekarang, operator telekomunikasi umumnya masih memilih menggelar 5G untuk use case enhanced mobile broadband atau eMBB sebagai andalan di awal untuk meningkatkan kapasitas layanan 4G LTE,” imbuh Ahmad.
Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro, Jumat (21/5/2021), di Jakarta, menyampaikan, seperti layanan telekomunikasi dengan teknologi akses seluler generasi terdahulu, layanan 5G akan dapat dinikmati konsumen individual atau ritel dengan skema paket data. Hanya, dia enggan menyebutkan perkiraan harga paket data.
Selain segmen konsumen ritel, Telkomsel menyebut juga akan memasarkan layanan komersial berbasis 5G ke segmen pebisnis mulai dari korporat multinasional hingga pelaku usaha mikro, menengah, dan kecil. Mengenai spektrum frekuensi yang dipakai, Telkomsel dikabarkan menggunakan jenis pita frekuensi campuran yang sudah dimiliki.