Pemerintah Dorong Kemandirian Bahan Baku Industri Tekstil
Optimalisasi pemakaian bahan baku dalam negeri menjadi faktor penting untuk mendongkrak kinerja industri tekstil. Penguatan itu harus seiring dengan upaya mengontrol impor yang kerap merugikan pelaku tekstil lokal.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya membendung impor produk tekstil perlu diiringi dengan perbaikan kinerja industri dalam negeri agar lebih efisien. Pemerintah pun mengejar penyusunan neraca komoditas untuk memetakan kapasitas industri hulu dalam negeri dan menunjang penggunaan bahan baku lokal.
Selama ini ini, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Menurut data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kinerja ekspor industri TPT masih bergantung 82,3 persen pada bahan baku/penolong impor yang didominasi kain katun rajutan dan bukan rajutan, serta kain poliester dan kapas.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan, optimalisasi pemakaian bahan baku dalam negeri penting untuk mendongkrak kinerja sektor industri TPT di Indonesia. Dengan memaksimalkan penggunaan bahan baku dalam negeri, diharapkan kinerja industri hilir akan lebih efisien.
Pemerintah saat ini sedang menyusun neraca komoditas di industri tekstil untuk memetakan ketersediaan suplai dan permintaan bahan baku yang dibutuhkan industri hilir. Ada total 1.296 golongan barang atau harmonized system/HS di sektor TPT yang saat ini sedang disisir oleh Kemenperin bersama perwakilan asosiasi industri tekstil.
”Kami diminta agar segera menyelesaikan neraca komoditas dalam waktu tidak terlalu lama. Paling lambat dua bulan ke depan, neraca komoditas sudah harus berjalan agar jelas pemetaan supply dan demand bahan baku tekstil kita,” kata Elis saat dihubungi di Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Kebijakan impor dan pengembangan investasi di sektor hulu tekstil akan ditetapkan dengan mengacu pada pendataan dan pemetaan tersebut. Hal ini sejalan dengan target pemerintah melakukan substitusi impor pada 2022 sebesar Rp 152,83 triliun atau 35 persen dari potensi impor per tahun 2019.
Untuk (bahan baku) yang di dalam negeri tidak ada, kami izinkan impor. Namun, kalau sudah ada di dalam negeri, kita minta industri hilir untuk mengambil bahan baku dari dalam negeri.
”Nanti akan terlihat, produk mana saja yang bahan bakunya sudah bisa dipenuhi secara lokal, mana yang belum bisa. Untuk yang di dalam negeri tidak ada, kami izinkan impor. Namun, kalau sudah ada di dalam negeri, kita minta industri hilir untuk mengambil bahan baku dari dalam negeri,” kata Elis.
Penyusunan neraca komoditas merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Regulasi itu mengatur, pemerintah harus sudah menetapkan neraca komoditas dalam waktu satu tahun sejak diundangkan.
Elis mengatakan, kehadiran neraca komoditas di sektor tekstil menjadi krusial. Selama ini, sistem pendataan dan pemetaan belum terintegrasi. Akibatnya, penyusunan kebijakan impor bahan baku tidak selalu sejalan dengan kapasitas industri hulu dalam negeri.
Untuk menguatkan industri baik di hulu maupun hilir, pemerintah juga akan kembali menjalankan program restrukturisasi atau peremajaan permesinan yang terhenti di tahun 2015. ”Akan kami dorong agar teknologinya lebih maju dan menggunakan permesinan yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Penguatan industri hulu ini dilakukan seiring dengan upaya mengontrol serbuan impor produk tekstil jadi yang selama ini menekan industri lokal. Elis mengatakan, pemerintah siap melakukan langkah proteksi, seperti pengendalian penjualan produk impor di pasar e-dagang.
Langkah itu terlambat karena seharusnya safeguard sudah diterapkan sebelum Lebaran sesuai permintaan pelaku industri TPT.
Selain itu, pemerintah juga mempercepat implementasi safeguard berupa tarif bea masuk untuk sektor hilir garmen, yang diperkirakan akan dimulai Juni mendatang. Ia mengakui, langkah itu terlambat karena seharusnya safeguard sudah diterapkan sebelum Lebaran sesuai permintaan pelaku industri TPT.
”Karena ada beberapa kendala, baru bisa kami mulai bulan depan (Juni). Saat ini, prosesnya tinggal menunggu Menteri Keuangan, mudah-mudahan tidak lama. Namun, ini bukan satu-satunya solusi. Kami sediakan proteksi, tetapi harus ada perbaikan struktural dari industri dalam negeri juga,” kata Elis.
Akses pasar
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan, industri TPT berskala kecil-menengah perlu diperkuat untuk bersaing di pasar domestik maupun pasar ekspor. ”IKM kita masih punya pekerjaan rumah memperbaiki dari segi desain, kualitas, sampai ketepatan waktu pengiriman produk,” katanya.
Namun, untuk mendorong kinerja industri dalam negeri, pertama-tama diperlukan jaminan akses pasar yang adil. Menurut dia, jika terus-menerus harus bersaing dengan serbuan produk impor tekstil jadi yang lebih murah dari sisi harga dan kualitas, IKM akan sulit bergerak maju.
Jika terus-menerus harus bersaing dengan serbuan produk impor tekstil jadi yang lebih murah dari sisi harga dan kualitas, IKM akan sulit bergerak maju.
”Kalau akses pasar sudah didapatkan, otomatis industri kita akan kreatif dan akan maju. Perbaikan kinerja industri pasti akan berjalan seiring dengan penertiban produk impor,” kata Jemmy.
Tidak hanya di sektor hilir, tetapi juga hulu. Menurut dia, industri hulu dalam negeri sebenarnya sudah mampu menyediakan beberapa bahan baku dasar tekstil, seperti poliester serta viscose rayon.
”Kalau dicermati, sebetulnya yang perlu impor itu hanya katun, yang lain masih bisa dipenuhi secara lokal, baik kuantitas maupun kualitas. Tinggal bagaimana potensi lokal ini diiringi dengan kebijakan pengendalian impor yang memadai agar industri hilir mau memakai bahan baku lokal, bukan impor,” tutur Jemmy.