Permintaan singkong diperkirakan berlanjut. Tingkat pertumbuhan tahunan perdagangan (CAGR) singkong diperkirakan 0,8 persen untuk periode 2019-2030 dengan volume pasar sekitar 326 juta ton pada akhir 2030.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Singkong (Manihot esculenta) atau ubi kayu merupakan salah satu komoditas pangan global. Jenis tanaman tropis dan subtropis ini merupakan salah satu sumber kalori terbesar, selain beras dan jagung, dan alternatif pangan pokok dan camilan di negara-negara berkembang.
Keberagaman produk olahan tanaman pangan yang pertama kali dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay sejak lebih kurang 10.000 tahun lalu ini banyak diproduksi dan dikonsumsi di sejumlah negara. Ragam produknya itu tak hanya berupa tepung dan singkong rebus, tetapi juga keripik, brownies, piza, donat, skotel, serta singkong beku dan bir singkong.
Pada Agustus 2020, Global Trade, majalah bisnis Amerika Serikat, menyebutkan, nilai pasar singkong global meningkat 0,4 persen menjadi 164,1 miliar dollar AS pada 2019. Negara-negara dengan volume konsumsi singkong tertinggi pada tahun tersebut adalah Nigeria (61 juta ton), Republik Demokratik Kongo (32 juta ton), dan Thailand (32 juta ton), dengan total pangsa konsumsi global sebesar 42 persen. Adapun Ghana, Brasil, Indonesia, Angola, Vietnam, Kamboja, Mozambik, China, dan Malawi masih agak tertinggal, dengan total pangsa konsumsi singkong global sebesar 37 persen.
Sementara berdasarkan data TrendEconomy, pada 2019, nilai impor pati atau tepung singkong dunia sebesar 1,76 miliar dollar AS. China dan Indonesia merupakan dua negara importir pati dari total 115 negara pengimpor dengan nilai impor masing-masing 1,03 miliar dollar AS (58 persen) dan 151 juta dollar AS (8,55 persen).
Adapun nilai ekspor pati global pada 2019 sebesar 2,19 miliar dollar AS. Eksportir terbesar dari 66 negara pengekspor pati pada tahun tersebut adalah Thailand dan Vietnam dengan nilai ekspornya masing-masing 1,21 miliar dollar AS (55 persen) dan 870 juta dollar AS (39 persen). Pada tahun tersebut, harga singkong dunia turun rata-rata 11,4 persen menjadi sekitar 198 dollar AS per ton dari tahun sebelumnya.
Mengutip IndexBox, lembaga riset asal California, AS, Global Trade menyebutkan, permintaan singkong di negara-negara konsumen utama diperkirakan berlanjut. Tingkat pertumbuhan tahunan (compound annual growth rate/CAGR) perdagangan singkong diperkirakan 0,8 persen untuk periode 2019-2030 dengan volume pasar sekitar 326 juta ton pada akhir 2030.
Permintaan singkong di negara-negara konsumen utama diperkirakan berlanjut. Tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) perdagangan singkong diperkirakan 0,8 persen untuk periode 2019-2030 dengan volume pasar sekitar 326 juta ton pada akhir 2030.
Melihat ceruk besar pasar singkong global, Indonesia berupaya mendorong dan mengamankan pasar ekspor singkong. Awal November 2020, misalnya, 20 ton keripik dan opak singkong asal Sumatera Utara diekspor ke Korea Selatan. Hal ini mendongkrak kinerja ekspor perusahaan pengekspor produk olahan singkong tersebut, dari 186.000 dollar AS pada 2019 menjadi 235.000 dollar AS pada 2020.
Sebelumnya, pada awal 2020, PT Pareto Estu Guna, usaha kecil menengah di Bojonegoro, Jawa Timur, mengekspor keripik singkong sebanyak 320 karton senilai 5.200 dollar AS ke AS.
Dari sisi pengamanan akses produk singkong, Indonesia juga berupaya memperbarui kesepakatan dagang dengan Uni Eropa terlebih pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit. Salah satunya menyangkut kuota tarif (tariff rate quota/TRQ) singkong. TRQ merupakan skema pengenaan tarif bea masuk berdasarkan jumlah kuota terhadap produk-produk tertentu.
Dengan kesepakatan baru ini, Indonesia dapat mengekspor singkong (HS 0714) ke Uni Eropa dengan tarif 6 persen dengan volume 165.000 ton per tahun. Kesepakatan ini tertuang dalam dokumen pengesahan exchange of letters (EoL) yang ditandatangani Duta Besar RI untuk Organsisasi Perdagangan Dunia (WTO) Syamsul Bahri Siregar dan Duta Besar Portugal untuk Uni Eropa Nuno Brito yang mewakili Uni Eropa di Brussels, Belgia, pada 11 Mei 2021.
”TRQ ini diberikan secara khusus bagi Indonesia oleh Uni Eropa. Artinya, dengan bea masuk singkong sebesar 6 persen dan kuota sebanyak 165.000 ton membuat Indonesia semakin kompetitif untuk mengekspor singkong ke 27 negara di Uni Eropa,” kata Syamsul melalui keterangan resmi, Sabtu (22/5/2021).
TRQ ini diberikan secara khusus bagi Indonesia oleh Uni Eropa. Artinya, dengan bea masuk singkong sebesar 6 persen dan kuota 165.000 ton membuat Indonesia semakin kompetitif mengekspor singkong ke 27 negara di Uni Eropa.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai pasar singkong di Uni Eropa 494,53 juta dollar AS pada 2020. Dari jumlah tersebut, Indonesia baru berkontribusi 661.000 dollar AS. Pasar singkong di Uni Eropa sebagian besar dikuasai Kosta Rika yang menikmati fasilitas tarif nol persen dari Uni Eropa.
Salah satu produk singkong yang bisa ditingkatkan adalah singkong beku. Total realisasi ekspor singkong beku Indonesia ke Uni Eropa, terutama Inggris, Belanda, Hongaria, dan Belgia, dengan skema TRQ pada 2013-2015 senilai 318.000 dollar AS.
”Ekspor singkong Indonesia ke Uni Eropa tersebut masih di bawah volume konsesi yang diberikan Uni Eropa sehingga bisa dikembangkan dan ditingkatkan lebih lanjut ke depan,” kata Syamsul.
Duta Besar RI untuk Belgia Andri Hadi menyambut baik hasil kesepakatan terbaru RI-UE untuk produk singkong tersebut. Ia juga berharap hasil kesepakatan itu dapat memacu produktivitas singkong dan daya saing ekspor singkong Indonesia di pasar Uni Eropa.
Produk pertanian merupakan komoditas ekspor potensial yang harus terus didukung. Perdagangan produk tersebut tidak hanya memberikan nilai tambah bagi negara, tetapi juga membantu meningkatkan kesejahteraan petani.
”Saya berharap para pemangku kepentingan terkait, baik pemerintah maupun swasta, dapat memanfaatkan peluang ini. Berikan juga edukasi pola tanam dan pengemasan produk singkong dengan standar atau kriteria pasar Eropa,” ujarnya.