Di tengah pandemi Covid-19, neraca perdagangan Indonesia surplus selama 12 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Hal ini baik untuk menopang pemulihan ekonomi. Kendati begitu, waspadai pemulihan ekonomi yang belum merata.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren surplus neraca perdagangan Indonesia terus belanjut sejak Januari hingga April 2021, bahkan sejak Mei 2020. Kenaikan harga komoditas dan pemulihan ekonomi sejumlah negara menjadi penopangnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan pada April 2021 mencapai 2,19 miliar dollar AS dengan ekspor senilai 18,48 miliar dollar AS dan impor 16,29 miliar dollar AS. Hal itu semakin memperkuat kinerja neraca perdagangan pada Januari-April 2021 yang surplus 7,72 miliar dollar AS dengan akumulasi ekspor senilai 67,38 miliar dollar AS dan impor 59,67 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto, Kamis (20/1/2021), mengatakan, nilai surplus neraca perdagangan April 2021 tertinggi sejak awal tahun ini. Di sisi lain, di tengah pandemi Covid-19, neraca perdagangan Indonesia surplus selama 12 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Tren positif ini tidak lepas dari naiknya harga sejumlah komoditas ekspor, seperti minyak kelapa sawit mentah, tembaga, dan logam mulia. ”Mulai pulihnya perekonomian sejumlah negara tujuan ekspor, terutama Amerika Serikat dan China, juga menjadi penopang kinerja positif tersebut,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
BPS juga menunjukkan, pada April 2021, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS masih surplus sebesar 1,22 miliar dollar AS. Adapun dengan China, neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar 652,1 juta dollar AS.
Suhariyanto berharap agar tren positif ini berlanjut sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi nasional yang tengah terimbas pandemi. Ia juga mengingatkan, pemulihan ekonomi di setiap negara, regional, dan sektoral tidak merata. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait diharapkan memperhatikan sektor-sektor ekonomi yang masih belum pulih.
Pemulihan ekonomi di setiap negara, regional, dan sektoral tidak merata. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait diharapkan memperhatikan sektor-sektor ekonomi yang masih belum pulih.
Pada 10 Mei 2021, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merilis data tentang hambatan teknis perdagangan (technical barriers to trade/TBT) dalam konteks memastikan berjalannya Perjanjian TBT. Data tersebut menyebutkan, kekhawatiran terhadap hambatan perdagangan yang diangkat oleh anggota WTO tumbuh rata-rata 26 persen per tahun.
Dalam kurun waktu lima tahun (2015-2020), notifikasi atau laporan pemberitahuan potensi hambatan perdagangan antarnegara anggota WTO meningkat pesat dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 11 persen. Pada 2015, notifikasi itu berjumlah 1.977 buah, kemudian pada 2020 jumlahnya meningkat menjadi 3.354 buah.
Notifikasi atas hambatan perdagangan menyangkut perlindungan kesehatan atau keselamatan manusia mendominasi, yakni sebanyak 45 persen dari 3.345 notifikasi. Sekitar seratusan notifikasi di kategori tersebut terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
Dalam dialog perdagangan yang digelar Forum Ekonomi Dunia (WEF) secara virtual pada 12 Mei 2021, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala menegaskan pentingnya mengurai hambatan-hambatan perdagangan, terutama di sektor kesehatan dan produk-produk yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi Covid-19. Hambatan perdagangan tersebut bisa menyebabkan semakin timpangnya pertumbuhan ekonomi negara maju dengan negara berkembang dan sedang berkembang.
Tahun lalu, pertumbuhan volume dan nilai perdagangan global anjlok masing-masing 5,3 persen dan 7 persen. Pada tahun ini, WTO berharap keduanya bisa tumbuh 8 persen.
Kebijakan vaksin adalah kebijakan ekonomi, kita harus melakukannya dengan benar jika menginginkan pemulihan yang berkelanjutan.
Untuk mencapainya, kata Okonjo-Iwaela, ada tantangan yang harus diatasi, yaitu memberikan akses vaksin yang merata. Jika bisa mendistribusikan vaksin dengan benar, akan ada tambahan pertumbuhan sekitar 2 persen untuk pemulihan ekonomi.
”Kebijakan vaksin adalah kebijakan ekonomi, kita harus melakukannya dengan benar jika menginginkan pemulihan yang berkelanjutan,” ujarnya.