Program Literasi Digital Semestinya Berbasis Data Riil
Program Literasi Digital Nasional kembali digaungkan oleh pemerintah sebagai upaya mencegah penyebaran konten negatif. Program ini semestinya bisa berkelanjutan dengan mempertimbangkan data riil kondisi warganet.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan berkomunikasi dan berinteraksi di ruang virtual semakin besar. Konten negatif terus bermunculan seiring praktik penipuan dalam jaringan, perundungan siber, dan eksploitasi seksual pada anak.
”Situasi seperti itu perlu diwaspadai. Kita semua berkewajiban meminimalkan konten negatif di ruang virtual. Kita harus membanjiri ruang digital kita dengan memperbanyak konten positif,” ujar Presiden Joko Widodo saat menghadiri peresmian program Literasi Digital Nasional 2021, Kamis (20/5/2021), di Jakarta.
Selain konten kreatif mendidik seruan perdamaian, Presiden berharap, internet semestinya dioptimalkan kegunaannya untuk meningkatkan produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). UMKM perlu difasilitasi agar bisa on boarding (berproduksi dan mendistribusikan produk) di internet. Dengan demikian, internet memberi nilai tambah ekonomi masif bagi masyarakat.
Presiden mengatakan, literasi digital merupakan kerja besar. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. ”Sudah ada 110 lembaga dan komunitas terlibat dalam gerakan ataupun program literasi digital. Saya harap, gerakan ini bisa menggelinding dan membesar sehingga bisa melakukan kerja-kerja konkret, seperti masyarakat makin terliterasi selama menggunakan internet,” imbuh Presiden.
Program Literasi Digital Nasional tahun 2021 memiliki 20.000 pelatihan di seluruh Indonesia. Kurikulum dan modulnya menyasar empat pilar literasi digital, yakni etika, keamanan, keterampilan, dan budaya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menjelaskan, program Literasi Digital Nasional pada tahun 2021 memiliki 20.000 pelatihan di seluruh Indonesia. Kurikulum dan modulnya menyasar empat pilar literasi digital, yakni etika, keamanan, keterampilan, dan budaya. Untuk jangka panjang, program Literasi Digital Nasional diharapkan bisa menjangkau lebih dari 12,4 juta partisipan pelatihan di 514 kabupaten/kota di 34 provinsi.
”Kami berharap, setidaknya terdapat 50 juta masyarakat Indonesia yang akan terliterasi digital sampai tahun 2024. Sasaran program diharapkan terus meningkat hingga menjangkau 100 juta masyarakat pada periode pemerintahan berikutnya,” ujarnya.
Johnny menegaskan, program Literasi Digital Nasional menjadi sebuah keharusan di tengah semakin tingginya penetrasi pengguna internet. Dia menyebutkan, saat ini terdapat 196,7 juta pengguna internet di Indonesia.
Program Literasi Digital Nasional diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak tahun 2017. Program ini diyakini Johnny bisa membentengi warga dari pengaruh negatif internet.
Wakil Ketua Siberkreasi Anita Wahid, yang hadir saat bersamaan, berpendapat, masih banyak warga menjadikan ruang virtual, terutama media sosial, sebagai ruang mengumbar hal-hal bersifat pribadi. Sementara segala sesuatu yang diunggah di internet mempunyai daya ungkit besar. Misalnya, curahan perasaan di media sosial bisa ditonton banyak orang sehingga menimbulkan multipersepsi.
”Norma sosial di media sosial dan dunia nyata sebenarnya sama. Salah satunya menyangkut norma menghargai perbedaan,” ujarnya. Gerakan literasi digital berupaya mengingatkan kembal landasan dasar ini.
Direktur Combine Resource Institution Imung Yuniardi saat dihubungi terpisah berpendapat, gerakan atau upaya literasi digital semestinya berdasarkan strategi dan peta jalan. Penyusunannya tidak hanya mengacu pada standar internasional dan teori akademis, tetapi juga berdasarkan asesmen kebutuhan.
”Jadi, penyusunan strategi gerakan atau upaya literasi digital benar-benar disusun berbasis data, seperti latar belakang demografi, tempat tinggal, dan pemanfaatan internet,” ujarnya.
Tanpa mengacu pada situasi riil kebiasaan warga memanfaatkan internet melalui beragam gawai, gerakan literasi digital akan berhenti pada seremonial. (Direktur Combine Resource Institution Imung Yuniardi)
Tanpa mengacu pada situasi riil kebiasaan warga memanfaatkan internet melalui beragam gawai, gerakan literasi digital akan berhenti pada seremonial. Menurut dia, pengalaman program Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK). Proyek ini membawa misi pemerataan infrastruktur internet ke daerah-daerah tanpa ada pemetaan situasi setempat. Akibatnya, banyak fasilitas MPLIK akhirnya mangkrak.
Langkah berikutnya adalah menggandeng kelompok-kelompok warga secara langsung. Jadi, gerakan literasi digital bukan hanya berkolaborasi dengan institusi pendidikan atau organisasi nonpemerintah yang sudah sering menjadi mitra. Salah satu kunci utama keberlanjutan gerakan adalah saat suatu hal akhirnya dianggap kebutuhan oleh warga itu sendiri. Warga menjadi tidak menganggap program literasi digital sebagai ”bawaan” dari pihak luar.
”Isu pendengung, peretasan aktivis, pemutusan akses internet, dan tidak kunjung adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi bisa menjadi tantangan warga menerima modul literasi digital dari pemerintah. Ditambah lagi, ada masalah pendataan penduduk secara digital yang masih saja tumpang tindih antarkementerian yang berdampak langsung ke warga di akar rumput,” kata Imung.