Pemerintah berencana menarik utang baru Rp 323,4 triliun dengan mempertimbangkan sejumlah risiko di triwulan II-2021. Pengendalian belanja dinilai penting untuk mengerem defisit anggaran dan rasio utang yang terus naik.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai risiko pembiayaan utang pemerintah cenderung meningkat di akhir paruh pertama 2021 seiring menguatnya potensi aliran modal asing keluar dan pelemahan nilai tukar rupiah. Kedua hal itu muncul, antara lain, dipicu oleh kebijakan progresif pemerintah Amerika Serikat dalam memulihkan ekonomi negaranya.
Dalam laporan bertajuk ”Debt Portofolio Review Triwulan I-2021” yang diterima Kompas, Rabu (19/5/2021), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyatakan, pemerintah akan melihat risiko ekonomi makro dan pembiayaan yang cenderung meningkat dalam rangka penerbitan utang pada periode April-Juni 2021.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat, tensi geopolitik seiring kemungkinan berlanjutnya perang tarif AS dengan China dan risiko penundaan pemberian vaksin AstraZeneca di sejumlah negara.
Program pemulihan ekonomi AS, menurut Luky, akan berdampak pada kenaikan imbal hasil surat berharga AS. Hal itu akan mendorong penguatan nilai tukar dollar AS dan memberi tekanan pada sektor keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Adapun perang tarif antara AS dan China dapat memicu ketidakstabilan politik. ”Sementara penundaan vaksinasi bisa memperlambat pemulihan ekonomi,” ujar Luky dalam laporan tersebut.
Dengan segenap pertimbangan itu, pemerintah berencana melakukan penarikan utang Rp 323,4 triliun pada triwulan II-2021. Jumlah itu terdiri dari surat utang negara Rp 194,6 triliun, surat berharga syariah negara Rp 108,4 triliun, dan pinjaman tunai senilai Rp 20,4 triliun.
Sementara itu, realisasi penarikan utang neto pemerintah sepanjang triwulan I-2021 sebesar Rp 334,77 triliun atau 27,7 persen dari target utang neto sepanjang 2021 yang sebesar Rp 1.207,6 triliun. Utang ini berasal dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 337,2 triliun dan pinjaman tunai senilai Rp 2,5 triliun.
Mitigasi
Guna memitigasi peningkatan risiko ekonomi makro secara umum dan risiko pembiayaan utang secara khusus, Kementerian Keuangan akan memperkuat pendalaman pasar keuangan dalam negeri dan melakukan koordinasi intensif dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga cadangan devisa.
”Pemerintah akan memanfaatkan dukungan BI sebagai standby buyer untuk memperoleh pembiayaan yang efisien dan berkoordinasi dengan kreditor pinjaman,” ujarnya.
Secara total, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Maret 2021 sebesar Rp 6.445,07 triliun. Angka itu setara dengan 41,64 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Posisi ini meningkat 1,3 persen dibandingkan dengan situasi di bulan sebelumnya yang Rp 6.361 triliun.
Peningkatan utang dipengaruhi kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan setelah terkontraksi selama beberapa triwulan berturut-turut di tengah pandemi global Covid-19.
Alarm
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, meski rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di bawah 60 persen, kenaikan posisi utang setiap bulan menjadi alarm yang menunjukkan rasio utang terus merangkak naik dan berisiko menembus batas maksimal.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen PDB dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PDB. Sementara pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 mengizinkan defisit APBN melampaui 3 persen PDB tahun 2020-2022. Namun, pada tahun anggaran 2023, defisit harus kembali maksimal 3 persen PDB.
”Sampai akhir tahun ini, kalau pengelolaan fiskal tidak berubah, bukan tidak mungkin rasio utang terhadap PDB mencapai 50 persen. Pemerintah mengatakan utang akan digunakan untuk penanganan pandemi. Faktanya, dari pos belanja pusat, utang juga digunakan untuk belanja pegawai dan barang,” kata Bhima.
Menurut dia, utang pemerintah sebaiknya lebih banyak digunakan untuk sektor produktif agar pinjaman dapat berkontribusi lebih besar dalam mendongkrak perekonomian. Pemerintah dinilai perlu untuk menghitung ulang kebutuhan belanja dan memangkas kebutuhan belanja yang tidak perlu tahun ini.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan, pengendalian belanja menjadi penting lantaran pemerintah memiliki komitmen untuk mengembalikan defisit anggaran kembali ke posisi di bawah 3 persen PDB pada 2023.
Pada 2020 realisasi defisit APBN 6,09 persen dari PDB. Sementara proyeksi batas atas defisit tahun 2021 dan 2022 masing-masing sebesar 5,69 persen dan 4,85 persen. ”Apabila belanja pemerintah masih seperti biasa, ke depan akan sulit mengontrol kenaikan utang,” ujarnya.