Persoalan cadangan beras pemerintah yang tertahan dan turun mutu mencerminkan ketidakjelasan kebijakan perberasan pemerintah
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 30 persen dari cadangan beras pemerintah atau CBP yang dikelola Perum Bulog mengalami turun mutu akibat belum adanya kepastian penyaluran hingga saat ini. Dampaknya, Bulog pun berhati-hati untuk meningkatkan cadangan berasnya.
Per 17 Mei 2021, Perum Bulog mencatat, jumlah CBP yang dikelola mencapai 1,378 juta ton. Sebanyak 413.856 ton di antaranya tergolong beras turun mutu. Beras turun mutu tersebut berasal dari impor pada 2018 sebanyak 244.864 ton serta pengadaan dalam negeri pada 2018 dan 2019 masing-masing sebanyak 45.080 ton dan 123.912 ton.
Melihat kondisi beras tersebut, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso khawatir penyerapan beras dari petani tanpa kepastian penyaluran hanya akan memperbanyak beras yang turun mutu. Persoalan tersebut akan berulang terus karena tidak ada penyelesaian.
”Kemampuan penyimpanan gudang Bulog bisa mencapai 3,6 juta ton CBP. Akan tetapi, tidak ada penyalurannya. Jadi kita menyerap untuk apa? Di sisi lain, Bulog tengah berutang hingga Rp 14 triliun, salah satunya karena beban bunga CBP (yang tidak tersalurkan),” katanya dalam rapat bersama Komisi IV DPR RI yang disiarkan langsung, Selasa (18/5/2021).
Dia mengatakan, rata-rata penyaluran Bulog untuk ketersediaan pangan dan stabilisasi harga, serta bencana alam berkisar 600.000 ton per tahun. Besaran ini jauh dibandingkan rata-rata penyaluran untuk bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) yang dihentikan sejak 2019, yakni mencapai 2,6 juta ton per tahun.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah menyatakan, kriteria CBP yang berpotensi atau mengalami penurunan mutu terdiri dari derajat sosoh di bawah ambang batas minimum serta butir patah dan kadar air di atas ambang batas maksimum.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras menyebutkan, spesifikasi beras medium terdiri dari derajat sosoh minimal 95 persen serta kadar air dan butir patah masing-masing maksimal 14 persen dan 25 persen. Adapun Permendag Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras menyatakan, pembelian beras dalam negeri di tingkat gudang Bulog memiliki spesifikasi derajat sosoh minimal 95 persen serta kadar air dan butir patah masing-masing maksimal 14 persen dan 20 persen.
Terkait CBP yang telah turun mutu itu, lanjut Budi, telah dibahas bersama pemerintah dalam rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tetapi belum ada tindak lanjutnya. Pada saat itu, Bulog mengusulkan pemerintah untuk menjual CBP tersebut dengan harga Rp 6.500 per kilogram (kg) atau di bawah pembelian yang sebesar Rp 8.300 per kg. Selisih harga tersebut ditanggung pemerintah.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Masyhuri mengatakan, persoalan stok CBP yang tertahan dan turun mutu mencerminkan ketidakjelasan kebijakan perberasan pemerintah. Hal ini juga menunjukkan tak terintegrasinya penyerapan dan penyaluran beras.
”Saat ini, CBP (turun mutu) yang dijual murah dan selisihnya ditanggung oleh pemerintah dapat menjadi opsi. Pasar untuk beras tersebut ada. Biasanya, pencampur beras akan mencampurnya dengan yang baru,” katanya saat dihubungi.
Menurut dia, pemerintah tetap harus merumuskan strategi penyaluran CBP yang dikelola Bulog mengingat mandat penyerapan di tingkat petani masih berlaku hingga saat ini. Besarnya penyaluran mestinya tidak jauh berbeda dengan program bantuan sosial beras sejahtera.
Sementara itu, Ketua Departemen Pengkajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian berpendapat, hingga saat ini penyerapan Bulog di tingkat petani belum agresif. Dampaknya, harga gabah kering panen di tingkat petani di sejumlah wilayah berada di bawah Rp 4.000 per kg. Contohnya, harga GKP di Banyuasin dan Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, masing-masing mencapai Rp 3.300-Rp 3.600 per kg dan Rp 3.000 per kg.