Perusahaan punya peran signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi lewat optimalisasi program CSR. Sayangnya, potensi tersebut belum tergarap optimal.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha sebenarnya berperan besar untuk mengungkit ekonomi masyarakat setempat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang berkelanjutan. Kendati demikian, aksi sosial perusahaan tersebut kerap masih berupa formalitas atau tidak selalu selaras dengan kebutuhan masyarakat sekitar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, mengatakan, meski dunia usaha juga saat ini sedang lesu, masih banyak korporasi besar yang mengeruk keuntungan selama pandemi Covid-19. Peran mereka dapat dimaksimalkan untuk mendorong pemulihan ekonomi masyarakat setempat.
Kehadiran korporasi besar yang berinvestasi di suatu daerah kerap mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi setempat. Ini menunjukkan bahwa dunia usaha sebenarnya berperan banyak untuk mengungkit kualitas hidup masyarakat sekitar. Salah satunya adalah lewat program CSR.
Kehadiran korporasi besar yang berinvestasi di suatu daerah kerap mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi setempat.
“Daerah-daerah, khususnya di luar Jawa, umumnya sangat bergantung pada perusahaan besar yang beroperasi di situ. Baik dari sisi penyerapan tenaga kerja, maupun program CSR perusahaan,” kata Faisal saat dihubungi, Senin (17/5/2021).
Namun, imbuh Faisal, potensi tanggung jawab sosial perusahaan itu belum maksimal digarap. Seringkali, program-program CSR ditunggangi kepentingan politik yang membuatnya tidak berkelanjutan dan efektif. Ada pula persoalan pengelolaan dan penyaluran dana CSR yang kerap tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat setempat. Program CSR pun berakhir menjadi formalitas belaka dan hanya dilakukan sesekali.
“Padahal, kalau dilepaskan dari kepentingan politik dan dikelola dengan akuntabel, potensinya sangat besar untuk membantu ekonomi masyarakat. Apalagi, di kondisi krisis seperti sekarang ini,” ujar Faisal.
Di tengah pandemi Covid-19, lanjut Faisal, ketika pemerintah juga mengalami keterbatasan pembiayaan akibat defisit anggaran yang melebar, dunia usaha sebenarnya dapat mengisi kekosongan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang lebih berkualitas. Di sini, peran pemerintah daerah penting untuk mempertemukan antara kebutuhan masyarakat setempat dengan program perusahaan.
Ada aksi-aksi filantropi dan program CSR korporasi yang sebatas untuk pencitraan atau formalitas belaka.
“Pemda seharusnya menjadi fasilitator dan mediator, mempertemukan ekspektasi masyarakat dengan ekspektasi perusahaan. Kalau tidak, program CSR menjadi tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat,” ucap Faisal.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton Supit berpandangan bahwa korporasi besar sebenarnya punya peran signifikan untuk membantu mendorong pemulihan ekonomi. Ia mencontohkan, lembaga filantropi yang dikelola miliarder Bill Gates yang sering membantu pengembangan pendidikan, kesehatan, dan pencegahan dampak perubahan iklim di berbagai negara.
Namun, di Indonesia, lanjut Anton, praktik seperti itu masih belum maksimal digarap. Ada aksi-aksi filantropi dan program CSR korporasi yang sebatas untuk pencitraan atau formalitas belaka. Masih ada korporasi yang dijalankan dengan berorientasi pada laba belaka, tetapi minim keprihatinan pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar.
“Aksi kedermawanan yang sebenar-benarnya adalah memberi tanpa pamrih. Kalau memberi dengan harapan pencitraan karena disorot media, atau sekadar sebagai kewajiban formalitas, apakah itu bisa dianggap sebagai filantropi,” ujar Anton.
Anton mengakui, masih banyak pengusaha besar yang mengatasnamakan aksi sosial untuk kepentingan ekonomi. Namun, dalam praktik kesehariannya, belum tentu menunjukkan jiwa dermawan kepada pekerjanya, apalagi kepada masyarakat sekitar. Misalnya, masih ada perusahaan yang menggusur tanah tempat masyarakat tinggal untuk membangun pabrik dan ekspansi bisnis, kemudian ”memberi” pada masyarakat lewat aksi-aksi tanggung jawab sosial perusahaan.
“Memang, ada pengusaha yang memang sudah berbagi dengan jujur dan tulus. Tetapi, tidak dipungkiri, masih banyak juga yang memberi dengan pamrih. Atau, karena sudah mengambil banyak dari masyarakat, maka sebagai gantinya memberi banyak,” kata Anton.