Aktivitas mengirim bingkisan atau hampers berupa makanan kini menjadi tren baru dalam Lebaran. Namun, bagaimana agar gaya hidup berkirim hampers itu sesuai dengan kelestarian lingkungan?
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang pedagang parsel di Pasar Barito, Jakarta Selatan, membuat parsel berisi aneka makanan dan minuman kemasan, Kamis (21/5/2020). Parsel atau bingkisan menjadi media masyarakat untuk bersilaturahmi dalam masa pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 yang membatasi pertemuan silaturahmi membuat bingkisan, parsel, atau hampers—nama kekiniannya—berseliweran. Keselarasan berkirim bingkisan, mulai dari memilih barang hingga mengelola bungkusnya, dengan prinsip-prinsip kelestarian atau sustainability mengoptimalkan faedahnya bagi lingkungan hidup, sosial, bahkan perekonomian.
Di tengah tekanan pandemi Covid-19 pada perekonomian, CEO sekaligus Founder Cleanomic Denia Isetianti mengatakan, dukungan pada usaha kecil dan menengah (UKM) Tanah Air menjadi penting dalam mengirimkan bingkisan kepada kerabat ataupun keluarga. ”Dengan membeli barang UKM lokal, kita juga meningkatkan kesempatan bagi produk mereka semakin dikenal melalui posting di akun media sosial. Selain itu, penggunaan produk lokal juga dapat mengurangi jejak karbon,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (12/5/2021).
Membeli dagangan produsen lokal untuk berkirim bingkisan, menurut Public Campaign Specialist WWF-Indonesia Margareth Meutia, dapat menjaga keuntungan dan nilai ekonomi berputar di Indonesia. Perekonomian pun dapat lebih kuat dan stabil. Kalau membeli produk impor, keuntungan yang dinikmati oleh produsen dalam negeri berkurang.
Semangat memilih produk lokal termasuk dalam enam aksi Beli yang Baik, kampanye yang mendorong konsumen untuk bertanggung jawab terhadap bumi melalui pola belanjanya. Enam aksi itu terdiri dari beli yang perlu, beli yang lokal, beli yang alami, beli yang awet, beli yang ekolabel, serta mau dibawa ke mana. Aksi keenam merupakan ajakan untuk konsumen untuk bertanggung jawab terhadap potensi sampah yang ditimbulkan dari pembeliannya.
Meutia juga mengimbau masyarakat untuk berkirim bingkisan berisi produk yang sudah berekolabel. Label ini menandai proses produksi barang tersebut telah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan atau sustainability. Lebih lanjut lagi konsumen bisa mengirimkan bingkisan yang tidak berupa barang, tetapi sarat dengan nilai-nilai lingkungan hidup, misalnya adopsi pohon atau terumbu karang.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang pedagang parsel di Pasar Barito, Jakarta Selatan, membuat parsel berisi aneka makanan dan minuman kemasan, Kamis (21/5/2020). Parsel atau bingkisan menjadi media masyarakat untuk bersilaturahmi dalam masa pandemi Covid-19.
Mengelola kemasan
Ketika mengirimkan bingkisan, Meutia menilai pemilihan kemasan tak boleh luput. Apabila diabaikan, kemasan bingkisan dapat berakhir menjadi sampah. ”Prioritaskan mengirim barang yang tidak perlu kemasan berlapis-lapis. Konsumen juga dapat menggunakan kemasan yang terurai secara biologis (biodegradable) atau yang bersifat guna ulang, seperti keranjang, besek, kain, paper bag, dan rotan. Kita juga bisa memanfaatkan kemasan-kemasan guna ulang dari bingkisan yang diterima sebelumnya,” katanya.
Apabila berada di posisi sebagai penerima bingkisan, Denia berpendapat, masyarakat perlu memilah dan mengelompokkan sampah kemasan berdasarkan jenis materialnya. Di sejumlah daerah terdapat usaha rintisan yang menyediakan jasa pengangkutan sampah tersebut di skala rumah tangga. ”Prinsip utamanya adalah menjaga bungkusan atau kemasan itu bersih, salah satunya dari sisa makanan di bungkus/kemasan tersebut. Sampah anorganik yang bersih nilainya lebih tinggi daripada yang kotor,” ujarnya.
Menurut CEO MallSampah Adi Saifullah Putra, pengelolaan sampah kemasan di skala rumah tangga yang memperhatikan praktik berkelanjutan penting lantaran momentum hari raya kerap berdampak pada timbulan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) melonjak. ”Kalau bisa, kita hentikan penggunaan kemasan yang sulit didaur ulang atau memiliki nilai ekonomi rendah,” ujarnya.
Dia mencontohkan, plastik kaku seperti yang berjenis polyethylene terephthalate (PET) dan polypropylene (PP) tergolong bernilai tinggi karena bisa didaur ulang. Akan tetapi, plastik ringan seperti kantong keresek tergolong bernilai rendah.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pegawai Toko Pusat Parcel, Jalan Suryakencana, Bogor, Jawa Barat, merangkai dan mengemas sejumlah makanan menjadi bingkisan parsel, Jumat (15/5/2020). Bingkisan parsel mulai ramai dipesan seiring dengan semakin mendekati perayaan Idul Fitri. Di masa pandemi saat ini bingkisan menjadi salah satu pilihan sarana menjalin silaturahmi.
Founder & Managing Director Waste4Change M Bijaksana Junerosano menyatakan, sejumlah jenis kemasan bingkisan bernilai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Sayangnya, bubble wrap, plastic wrap, styrofoam, serta kardus dan plastik yang sudah terkena perekat tidak termasuk di antaranya.
Pemanfaatan tersebut sejalan dengan penerapan ekonomi melingkar (circular economy) yang menjadi tujuan jangka panjang dari pengelolaan sampah di Indonesia, yakni memperpanjang umur suatu material dengan cara daur ulang dan penggunaan kembali. ”Produsen barang, pengirim paket, toko penjual, ataupun agen jasa pengiriman juga bisa berkontribusi dengan menggunakan kemasan organik yang mudah terurai, kemasan yang bisa didaur ulang, atau kemasan guna ulang,” tuturnya.
Lalu lalang bingkisan selama Lebaran yang mengetuk pintu tak cuma jadi tanda perhatian bagi sanak saudara ataupun kawan. Lebih jauh lagi bingkisan dapat mengekspresikan kepedulian terhadap kelestarian bumi.