Makanan saat Lebaran kerap kali berlimpah dan tidak jarang tersisa cukup banyak. Kesadaran untuk mengelola dan mengonsumsi pangan lebih efisien dan ramah lingkungan perlu terus ditumbuhkan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Aneka makanan tersaji melimpah di meja makan saat Lebaran. Tidak terkecuali ketupat dan opor ayam. Namun, sebelum lidah menjelajah rasa, tangan mesti bergerak dan akal budi perlu menjawab ”Apakah hidangan ini berasal dari jerih petani? Seberapa banyak yang sanggup dikunyah dan ditelan? Bagaimana cara mencegahnya agar tak jadi sampah?” sebagai wujud hormat pada sajian pangan.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah menilai konsumen saat ini mulai kritis terhadap kualitas pangan. ”Akan tetapi, aspek kedekatan dan asal muasal pangan (locality and origin) kerap dilupakan. Oleh sebab itu, Idul Fitri menjadi momentum untuk menyucikan hati dan mendekatkan diri kepada petani,” katanya saat dihubungi.
Semangat itu, menurut dia, dapat terwujud dengan aneka kreasi bahan pangan Nusantara yang dapat dimasak di dapur rumah tangga. Misalnya, kue-kue yang dipanggang dari tepung lokal seperti singkong, pati ganyong, dan sagu. Dia mengajak masyarakat untuk mengurangi bahan pangan impor di atas meja makan selama perayaan Lebaran.
Dengan membeli bahan pangan lokal, lanjutnya, petani sebagai produsen mendapatkan rezeki untuk dinikmati. Selain itu, aspek kedekatan dan asal muasal pangan penting menjadi perhatian karena konsumen dapat mengetahui proses dan cara produksi, dari penanaman hingga sampai ke dapurnya.
Ketika membeli dari petani dalam negeri, Public Campaign Specialist WWF-Indonesia Margareth Meutia menyatakan, konsumen turut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian keanekaragaman bahan pangan yang tumbuh di Indonesia. Selain itu, semakin dekat bahan pangan yang diperoleh, kian sedikit jejak karbon yang dihasilkan. ”Pembelian dari masyarakat mendorong permintaan terhadap produk pangan. Permintaan ini membuat produsen semakin berupaya untuk menjaga dan memelihara penanaman pangan tersebut,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (12/5/2021).
Menyetok makanan
Di hilir konsumen memikirkan asal bahan pangan, sedangkan di hulu merumuskan langkah untuk mencegah timbunan sampah makanan dari rumah tangga. Berdasarkan data pada laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total timbulan sampah sepanjang 2020 mencapai 36,39 juta ton per tahun. Sebanyak 30,8 persen di antaranya merupakan sampah makanan. Berdasarkan sumbernya, 32,4 persen dari timbulan total itu berasal dari rumah tangga.
Data lain menunjukkan, berkisar 15-20 persen makanan yang dibeli menjadi busuk dan berakhir di tempat sampah sebelum dikonsumsi. Besaran tersebut meningkat menjadi 30 persen pada Ramadhan dan festival terkait. Angka itu mengemuka dalam artikel berjudul ”An Urgent Call to Reduce Food Wastage in Ramadan” yang dipublikasikan dalam laman EcoMENA, inisiatif yang mengampanyekan keberlanjutan atau sustainability di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan (UNEP) menggarisbawahi, pangan yang diproduksi, tetapi tidak dikonsumsi masyarakat berdampak negatif, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. UNEP memproyeksikan, berkisar 8-10 persen emisi gas rumah kaca berkaitan dengan pangan yang tak dikonsumsi.
Dengan menyelaraskan konsumsi pangan rumah tangga dengan prinsip keberlanjutan, CEO sekaligus Founder Cleanomic Denia Isetianti berharap, sampah yang diproduksi dapat berkurang sehingga menekan dampak buruk yang berisiko terhadap lingkungan. ”Hindari potensi oversupply pangan di rumah yang bisa berujung pada sampah. Caranya ialah dengan membuat rencana makanan atau meal plan. Rencana ini membuat kita mengetahui jenis dan kuantitas bahan makanan yang diperlukan. Belanja pun dapat menjadi lebih efisien,” tuturnya.
Dalam mengatur stok bahan pangan di skala rumah tangga melalui rencana makanan, Denia menilai kapasitas penyimpanan yang tersedia mesti menjadi perhatian. Contohnya, kapasitas lemari es sebagai sarana penyimpanan bahan pangan yang lebih cepat rusak apabila disimpan di suhu ruangan.
Setelah mempertimbangkan kapasitas, masyarakat perlu memperhatikan dan mengelompokkan makanan berdasarkan karakteristik potensi kerusakan. Bahan pangan segar, seperti cabai atau sayur-mayur, dapat ditaruh di wadah guna ulang dan dimasukkan ke lemari es. Pangan yang kedaluwarsanya lebih lama dapat disimpan. Bahan makanan kering dapat disimpan di wadah yang tertutup rapat dan tidak perlu masuk ke dalam lemari es sehingga bisa menghemat penggunaan kapasitas.
Denia juga menyarankan masyarakat untuk berkreasi dengan makanan sisa. ”Jangan langsung membuang makanan yang masih tersisa. Makanan itu mungkin bisa dikreasikan menjadi sup atau risoto,” ujarnya.
Mengelola kiriman
Ketika merayakan Lebaran, keluarga atau kerabat biasanya saling berkirim masakan. Untuk menyikapinya, Denia mengimbau masyarakat untuk kembali memperhatikan penyimpanan dan karakteristik makanan. Apabila mendapatkan makanan yang cepat rusak dan kapasitas penyimpanan terbatas, mau tidak mau harus segera dihabiskan.
Alternatif penting lainnya ialah membagikan makanan tersebut kepada orang-orang di sekitar dengan keadaan layak konsumsi. Misalnya, asisten rumah tangga, pekerja informal di lingkungan tempat tinggal, dan satuan pengaman.
Sajian pangan Lebaran jangan hanya memberikan nikmat pada indera pengecap diri sendiri. Seyogianya setiap hidangan di atas piring membawa berkah bagi petani, lingkungan hidup, dan orang-orang yang berada di sekitar.
Oleh karena itu, di balik opor ayam dan ketupat saat Lebaran pun ada petani yang berjibaku di sana. Sebaiknya tidak disia-siakan, apalagi kalau akhirnya menjadi sampah dan tidak terkonsumsi dengan baik. Bijak mengelola pangan saat Lebaran juga menjadi upaya menjaga ketahanan pangan kita. Selamat menikmati ketupat dan opor ayam Lebaran....