Fokus Menjaga Tren Pemulihan Ekonomi Setelah Lebaran
Momentum setelah Ramadhan dan Idul Fitri krusial guna memastikan tren pemulihan ekonomi nasional berlanjut. Selain mengoptimalkan penanganan pandemi Covid-19, pemerintah dinilai perlu memperluas jangkauan vaksinasi.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama dan Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Momen bulan puasa dan hari raya Idul Fitri selalu menambah dorongan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, hal yang tak kalah penting setelah momen tersebut selesai adalah terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, Lebaran adalah momentum konsumsi terbesar di Indonesia. Hingga kini, konsumsi masyarakat merupakan salah satu komponen penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi.
”Pada Lebaran kita akan bisa melihat pertumbuhan konsumsi yang tiap tahun terjadi,” ujar Shinta yang dihubungi pada Kamis (13/5/2021).
Akan tetapi, kata Shinta, semua pihak harus segera fokus menjaga dan mendorong pertumbuhan ekonomi setelah Lebaran usai. ”Kita menyadari bahwa momentum konsumsi ini akan hilang setelah Lebaran. Karena itu, kita harus bersama-sama berkonsentrasi menjaga momentum pertumbuhan positif saat ini agar terus bertahan dan bisa meningkat lebih tinggi,” ujarnya.
Menurut Sinta, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengendalikan pandemi Covid-19 secara lebih baik dan vaksinasi yang lebih gencar. Hal ini agar kepercayaan masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi bisa meningkat.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah bisa mendorong kebijakan yang memicu gairah konsumsi dan produktivitas. Kebijakan itu, antara lain, ditempuh melalui peningkatan penyaluran likuiditas kepada sektor riil, penurunan suka bunga pinjaman korporasi, dan meningkatkan kinerja ekspor.
”Ini harus ditingkatkan agar momentum pertumbuhan dan pemulihan ekonomi yang ada tetap terjaga hingga ekonomi pulih sepenuhnya,” ujar Shinta.
Ekonomi Lebaran
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan, selama ini setiap Ramadhan dan hari raya Idul Fitri memicu kenaikan omzet penjualan. Permintaan yang meningkat ini mendorong peningkatan produksi dan omzet.
”Peningkatan omzet ini artinya ada perputaran uang. Hal ini memicu efek domino yang bisa menggerakkan perekonomian,” ujar Haryadi yang dihubungi Selasa (11/5/2021).
Pembagian tunjangan hari raya (THR) pada pertengahan April hingga awal Mei 2021 membuat omzet penjualan bisa meningkat. Hal ini senada dengan Survei Penjualan Eceran (SPE) oleh Bank Indonesia yang mengindikasikan adanya peningkatan kinerja penjualan eceran secara bulanan pada Maret 2021. Indeks Penjualan Riil (IPR) per Maret 2021 tumbuh 6,1 persen secara bulanan, meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang minus 2,7 persen.
Peningkatan penjualan eceran itu sejalan dengan permintaan masyarakat yang menguat di bulan Ramadhan, disertai kondisi cuaca yang mendukung. ”Responden juga memperkirakan peningkatan kinerja penjualan eceran bisa berlanjut sampai April 2021, tecermin dari IPR April 2021 yang diperkirakan tumbuh 11,4 persen secara bulanan,” kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).
Hal itu sejalan dengan daya beli masyarakat yang meningkat saat Ramadhan, keadaan musim, dan cuaca yang mendukung serta banyaknya program diskon.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, seiring dengan pelonggaran pembatasan pergerakan orang, kinerja ritel memang mulai meningkat. Apalagi, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) menunjukkan tren yang semakin positif.
Per April 2021, kepercayaan konsumen akhirnya kembali ke zona optimistis setelah satu tahun terakhir ini berada di zona pesimistis. Bank Indonesia mencatat, IKK pada April 2021 naik dari level 93,4 pada Maret 2021 menjadi level 101,5. Ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat seiring dengan membaiknya beberapa indikator di awal tahun ini.
”Secara umum, kondisi mulai aman, apalagi kita terdorong oleh konsumsi masyarakat selama bulan Ramadhan. Ini diharapkan bisa meningkat konsisten sampai setelah Lebaran,” kata Roy saat dihubungi di Jakarta.
Jangan berlawanan
Meski demikian, Roy menyoroti masih adanya kebijakan kontraproduktif dari pemerintah daerah yang bisa membuat penjualan turun meski di tengah momentum konsumsi masyarakat yang sedang naik.
Ia mencontohkan, ada lima kota yang mengeluarkan surat penutupan ritel dan pusat belanja (mal) setempat sepekan menjelang hari raya Idul Fitri. Ia memaklumi kebijakan itu keluar karena kekhawatiran meningkatnya kasus penularan Covid-19. Namun, hal itu sebenarnya bisa diatasi dengan protokol kesehatan yang lebih ketat.
”Kalau ada kerumunan dan keramaian, jangan tutup ritel dan malnya, tapi perketat saja pengawasan dari satpol PP dan petugas keamanan agar masyarakat tidak berbondong-bondong masuk ke mal,” ujarnya.
Ia juga menyoroti jam operasi mal dan ritel yang dibatasi pada pukul 19.00, tetapi diskotik dan panti pijat di sejumlah daerah masih diperbolehkan buka sampai pukul 22.00. Peritel berharap pemerintah daerah melibatkan pelaku usaha dalam penyusunan kebijakan pembukaan aktivitas ekonomi lokal.
Dengan adanya kebijakan larangan mudik saat Lebaran, belanja ritel dapat menjadi tumpuan untuk menggerakkan konsumsi masyarakat dan mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada triwulan II-2021.
”Kami bisa terima tidak ada mudik, tetapi ritel dan mal jangan ditutup. Kalau seperti itu, akan sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi pada triwulan II dan sepanjang tahun ini, karena momentum saat ini yang akan memperbaiki arah pemulihan ekonomi,” kata Roy.