Kenaikan PPN Berpotensi Semakin Tekan Daya Beli Masyarakat
Masyarakat masih membutuhkan bantuan pemerintah. Kenaikan tarif PPN belum tentu dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN mulai tahun depan. Langkah ini dinilai dapat membebani daya beli masyarakat yang masih tertekan akibat pandemi Covid-19.
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menyebutkan, pemerintah berwenang menetapkan defisit anggaran melampaui 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama penanganan pandemi Covid-19 hingga tahun anggaran 2022 berakhir. Pada 2023, besaran defisit kembali ke maksimal 3 persen.
Sementara itu, Kementerian Keuangan merencanakan kenaikan tarif PPN dalam rangka meningkatkan pendapatan negara. Hal itu mengemuka dalam pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional yang diadakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional secara dalam jaringan (daring) pekan lalu.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, rencana menaikkan tarif PPN menyiratkan kebutuhan upaya yang besar untuk menyikapi defisit anggaran negara yang akan kembali normal pada 2023. ”Pilihannya antara menaikkan penerimaan negara atau mengurangi belanja selama pandemi Covid-19,” ujarnya dalam seminar daring yang diadakan Indef, Selasa (11/5/2021).
Per 31 Maret 2021, Kementerian Keuangan mencatat, defisit anggaran mencapai 0,82 persen terhadap PDB dengan realisasi pendapatan negara Rp 378,8 triliun dan belanja Rp 523 triliun. Sepanjang 2021, defisit anggaran terhadap PDB diproyeksikan sebesar 5,7 persen.
Akan tetapi, Tauhid menilai meningkatkan tarif PPN ataupun mengurangi belanja negara tidak tepat lantaran belum pulihnya daya beli masyarakat selama pandemi Covid-19. Masyarakat masih membutuhkan bantuan pemerintah. Dia juga menggarisbawahi, kenaikan tarif PPN belum tentu dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak.
Menurut pemodelan dengan metode computable general equilibrium, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyimpulkan, kenaikan PPN berpotensi menurunkan sejumlah indikator ekonomi makro. Dengan menaikkan tarif PPN dari 10 persen ke 12,5 persen, pertumbuhan PDB dapat menurun 0,11 persen, kinerja ekspor dan impor masing-masing turun 0,14 persen dan 7,02 persen, serta indeks harga konsumsi deflasi 0,84 persen.
Kenaikan PPN tersebut juga menurunkan upah nominal sebesar 5,86 persen dan konsumsi masyarakat hingga 3,32 persen. ”Kenaikan harga akibat meningkatnya PPN menurunkan permintaan. Akibatnya, produksi dan penjualan menurun sehingga penyerapan tenaga kerja melemah. Imbasnya, pendapatan dan konsumsi masyarakat melorot dan berisiko menghambat pemulihan perekonomian,” tuturnya.
Oleh sebab itu, dia menyarankan pemerintah untuk memperluas wajib pajak baru, misalnya dengan menertibkan ritel yang memanfaatkan fasilitas non-PKP (pengusaha kena pajak). Selain itu, penerimaan perpajakan juga bisa diekstensifikasi, contohnya melalui cukai.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia Rizal Edy Halim menyatakan, kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. ”Harga barang yang naik tersebut berpotensi semakin membebani daya beli masyarakat yang kini tengah tertekan,” ujarnya.