Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah kembali diuji. Mereka yang telah babak belur dihajar pandemi kini mendapat kompetitor baru dan mesti bersiap menghadapi ”gelombang kedua” Covid-19. Namun, selalu ada jalan.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
Usaha mikro, kecil, dan menengah kembali diuji. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Setahun sudah pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Tak sedikit pelaku di sektor ini babak belur. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Mereka mendapat tantangan baru. ”Kue” perebutan keuntungan terasa makin kecil. Tidak hanya akibat penurunan daya, tetapi juga dari begitu banyaknya ”pendatang” baru atau pencari keuntungan yang melihat celah menuai recehan.
Dari manakah pendatang baru yang menjadi kompetitor UMKM itu? Semua berawal dari sini. Serombongan pekerja terpaksa dirumahkan dengan janji dipekerjakan kembali. Sebagian terpaksa benar-benar kehilangan pekerjaan karena perusahaan tak sanggup menahan laju penurunan omzet.
Tak sedikit pula menguji peruntungan, nyambi kreatif bikin vlog di tengah pekerjaan tetapnya, memasuki ruang media sosial digital. Dari sekadar mengejar penonton (viewer) hingga meraih pelanggan (subscriber) pun dilakoni.
Tidak ada yang salah. Selain demi kebutuhan dasar, ada kebutuhan aktualisasi diri. Semua dilakoni demi ”kompor” rumah tangganya tetap mengepul, memberi makan anak-anaknya, atau membayar kontrakan. Yang dirumahkan tentu harus memutar otak, bermodal seadanya memulai usaha kecil-kecilan.
Sedikitnya 2.322 koperasi dan 185.184 pelaku UMKM terdampak pandemi. Sektor penyedia akomodasi makanan dan minuman mengalami dampak terbesar, yakni 35,88 persen, disusul sektor perdagangan besar dan eceran 25,33 persen, industri pengolahan 17,83 persen, jasa 11,69 persen, serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan 5,6 persen.
Dalam kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional 2020, UMKM mendapat porsi cukup besar, sekitar Rp 123,46 triliun atau 20 persen dari total anggaran PEN. Tahun 2021, anggaran PEN untuk dukungan UMKM dan korporasi Rp 191,13 triliun atau 27 persen dari total pagu. Namun, tak selamanya permodalan menuntaskan persoalan.
”Selalu saja ada jalan,” begitu keyakinan Agus Sudharmono (43) atau disapa Cak Mono. Selama 12 tahun jadi pegawai negeri, ada rasa penasaran terhadap keluh kesah pelaku UMKM. Yang mikro terkurung di ”sangkar” mikro. Tanpa usaha kreatif seiring tantangan zaman digital, kapan mereka bisa naik kelas menjadi usaha kecil hingga menengah?
Tak selamanya modal finansial menjadi penggerak bisnis. Menjaga loyalitas konsumen jauh lebih penting. Bukan sekadar sapaan terhadap pelanggan yang kini pasti mengalami keterbatasan tatap muka. Sebab, saat terjadi krisis akibat pandemi, konsumen cenderung melupakan, bahkan sudah tak sadar akan keberadaan suatu jenama.
Sebagian besar dari kita tentu akan bertanya, ”Kapan krisis ini akan berakhir?” Atau, tak jarang melontarkan ucapan, ”Korona cepatlah pergi!” Kemudian, ada pelaku usaha yang sebatas meratapi walaupun tak sedikit pula yang justru memanfaatkan kondisi pandemi ini menjadi peluang sekaligus membuktikan usahanya tahan banting.
Mengutip pandangan Dekan Psikologi Universitas Pancasila Silverius Y Soeharso, saat ini jauh lebih penting mempersiapkan atau bahkan meningkatkan brand awareness di saat atau pascapandemi. Terapkan saja sistem customer loyality. Caranya, menerapkan metode berbelanja dengan keuntungan tertentu bagi konsumen terhadap item tertentu pada kurun tertentu pula.
McKinsey and Company dalam rilis publikasinya, ”How Covid-19 is Changing Behavior Now and Forever”, pada 30 Juli 2020 membeberkan berbagai perubahan perilaku konsumen di sejumlah negara akibat pandemi. Adaptasi dalam melakukan penjualan, pemasaran, dan lain-lain perlu menyesuaikan pula dengan perubahan perilaku konsumen.
Perubahan perilaku yang sangat terlihat adalah cara masyarakat berbelanja. Mereka memilih berbelanja secara digital melalui platform e-dagang. Kalaupun belanja secara luring, konsumen belanja ke toko yang tak jauh dari rumah.
Yang dilakukan Cak Mono dengan merek EsambelinCakMono, misalnya, lebih mempertahankan loyalitas konsumen dengan melakukan inovasi tanpa menghilangkan menu utama. Guna membangun kesan menghargai proses, pelaku UMKM pun tak perlu sungkan menunjukkan proses produksi. Tentu, produk makanan dan minuman tetap terjaga bumbu rahasianya.
Memang, guncangan yang tak terhindarkan terjadi saat UMKM bergantung pada 1-2 pelanggan loyalis yang disebut vendor utama. Ini biasanya terjadi pada skala produksi massal yang disebut industri kecil dan menengah (IKM). Sejumlah IKM logam binaan Yayasan Dharma Bakti Astra di Lingkungan Industri Kecil Takaru, Tegal, Jawa Tengah, terpaksa merumahkan pekerjanya.
Tantangan tersendiri yang perlu disikapi pemerintah. Relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) otomotif memang sedikit memberikan efek domino positif bagi industri komponen. Namun, pemulihan salah satu sektor yang memiliki rantai pasok besar belumlah jaminan bagi kelangsungan hidup IKM.
Pemerintah tidak akan mampu bekerja sendirian. Peran swasta masih sangat dibutuhkan untuk membuka celah-celah yang bisa diisi UMKM atau IKM.
Hingga kini, acap kali, setiap terjadi krisis, UMKM seakan dibiarkan jatuh dan bangun sendiri. Daya tahan tak habis diuji. Didekati manakala hanya dibutuhkan suaranya untuk kepentingan tertentu atau malah saat menjelang pemilu. Belum lagi, tak sedikit UMKM yang sedang merangkak menuju sukses berbagai hambatan yang membutuhkan biaya kian menghadang. Dari perizinan hingga sertifikasi produk tertentu.
Kini, di depan mata, ketidakpatuhan masyarakat pada protokol kesehatan pada masa hari raya Idul Fitri dan libur panjang membayang-bayangi kehadiran gelombang kedua Covid-19. Ujung-ujungnya, pelaku UMKM bakal kembali diuji walaupun ”selalu ada jalan”. Bersiaplah!