Pemerintah Intervensi Harga, Awas Menekan Peternak
Pemerintah meminta pelaku rumah pemotongan tidak menerima sapi hidup yang harganya di atas Rp 52.000 per kg guna mengendalikan kenaikan harga. Namun, langkah ini dinilai berisiko terhadap ekosistem peternakan sapi.
Oleh
M Paschalia Judith J/Stefanus Osa
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengintervensi harga daging sapi menjelang Lebaran 2021 dengan meminta rumah pemotongan tidak menerima sapi dengan harga di atas Rp 52.000 per kilogram bobot hidup. Namun, langkah itu dikhawatirkan mendorong pemotongan sapi betina produktif dan mengancam populasi sapi nasional.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, Senin (10/5/2021), rata-rata nasional harga daging sapi di pasar tradisional Rp 129.650 per kilogram (kg). Angka ini naik dibandingkan pada awal April 2021 yang Rp 119.650 per kg. Padahal, harga acuan penjualan daging sapi segar di tingkat konsumen sesuai ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 berkisar Rp 80.000 per kg hingga Rp 105.000 per kg.
Di tengah kenaikan harga tersebut, Kementerian Perdagangan mengedarkan surat ke rumah potong hewan (RPH) di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) untuk tidak menerima sapi berharga di atas Rp 52.000 per kg bobot hidup. Demi menjaga suplai, RPH akan mendapatkan pasokan sapi dengan harga di bawah Rp 52.000 per kg bobot hidup.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menandatangani surat tersebut. “Hal yang jadi pertimbangan ialah, kami meminta keberpihakan pelaku usaha atas kebutuhan masyarakat selama Ramadhan-Lebaran ini,” kata Oke saat dihubungi, Senin (10/5/2021).
Melalui surat itu, dia berharap daging sapi dapat terkendali dalam rentang harga tertentu, sesuai acuan pemerintah. Surat edaran itu juga diharapkan dapat meredam gerak spekulan yang memanfaatkan momentum Ramadhan-Lebaran di tengah pandemi Covid-19.
Terkait langkah itu, Ketua Komite Pendayagunaan Pertanian Teguh Boediyana khawatir, pembatasan harga di RPH dapat berdampak pada pemotongan sapi ternak betina yang masih produktif. ”Pemotongan sapi betina dapat terjadi karena pelaku dalam mata rantai ingin bertahan hidup. Padahal, pemotongan sapi betina berimbas pada populasi sapi ternak nasional ke depannya,” ujarnya.
Menurut Teguh, harga daging sapi di tingkat RPH berpotensi di atas Rp 52.000 per kg sehingga pembatasan harga dapat menekan pelaku usaha penggemukan sapi (feedlot). Sebab, mereka mesti menanggung rugi. Langkah pemerintah dalam membatasi harga juga menjadi sinyal ketidakpastian kebijakan harga bagi investor di sektor yang sama.
Instrumen pasokan
Dalam jangka panjang, kebijakan itu berisiko membuat Indonesia menjadi pasar daging beku impor. Banjir daging beku impor bakal mengimpit industri penggemukan sapi karena produk lokal kalah bersaing. Padahal, industri penggemukan sapi memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
”Oleh sebab itu, saya mempertanyakan surat (edaran) tersebut. Bukankah pemerintah telah mengimpor daging beku untuk kebutuhan Ramadhan-Lebaran? Biasanya kebijakan intervensi harga daging sapi menggunakan instrumen penambahan pasokan di pasar. Pemerintah juga bisa mendorong masyarakat untuk mengalihkan konsumsi daging sapi ke ayam,” tuturnya.
Menurut dia, dampak kebijakan itu dalam jangka menengah dan panjang justru kontraproduktif. Selain berisiko pada pemotongan sapi betina produktif, langkah pembatasan itu mengurangi insentif bagi peternak sekaligus minat masyarakat untuk mengembangkan usaha peternakan.
Dalam jangka panjang, kebijakan itu berisiko membuat Indonesia menjadi pasar daging beku impor.
Pemerintah telah mengeluarkan izin impor daging sapi dan kerbau hingga 100.000 ton atau 100 juta kilogram senilai hampir Rp 10 triliun. Rata-rata impor daging sapi Indonesia setara 1,5 juta ekor sapi tiap tahun. Pemerintah juga menggelontorkan anggaran hingga puluhan triliun rupiah untuk program swasembada daging sapi sejak 20 tahun lalu. Namun, kata Teguh, hasilnya tidak optimal. Impor justru makin besar seiring meningkatnya konsumsi daging sapi.
”Konsumsi daging sapi yang terus meningkat di tengah usaha breeding yang tak berkembang hanya akan mengakibatkan depopulasi dan ketergantungan impor. Impor hanya menguntungkan segelintir orang atau golongan, tidak bagi peternak,” ujarnya.
Sementara itu, Perum Bulog menggelar operasi pasar daging beku di Rumah Pangan Kita Center Gatot Subroto, Jakarta, Senin. ”Operasi pasar ini diadakan karena kebutuhan daging menjelang Lebaran ini masih cukup tinggi,” kata Direktur Bisnis Perum Bulog Febby Novita dalam keterangan pers.
Bulog menawarkan daging sapi beku seharga Rp 80.000 per kg dan daging kerbau beku senilai Rp 75.000 per kg. Dia menambahkan, perusahaan juga telah menginstruksikan ke tiap jajaran untuk menyediakan stok daging beku dan dijual langsung ke masyarakat.
Dia juga menggarisbawahi, Bulog menjamin ketersediaan daging beku di tengah masyarakat meskipun terdapat lonjakan permintaan. Sebelumnya, korporasi pelat merah ini telah meluncurkan penjualan daging beku melalui pelantar Shopee dengan nama akun iPanganandotcom.