Kerap ada krisis rasa percaya antara manajemen dan buruh. Manajemen menilai buruh tak mau memahami kondisi perusahaan, sementara buruh menilai manajemen tidak beritikad baik karena tidak mau membuka laporan keuangan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemauan perusahaan untuk membuka laporan keuangan internalnya secara transparan merupakan faktor penting dalam dialog bipartit menjelang batas akhir toleransi pembayaran tunjangan hari raya keagamaan. Sejauh ini belum semua perusahaan bersedia membuka laporan keuangannya dalam perundingan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, Minggu (9/5/2021), mengatakan, masih banyak perusahaan yang enggan membuka laporan keuangan internal dalam perundingan bipartit dengan pekerja atau serikat pekerja. Tidak hanya pada kasus pembayaran tunjangan hari raya (THR), tetapi juga kasus lain.
Misalnya, dalam perundingan bipartit mengenai permintaan kenaikan upah atau bonus tahunan. ”Kalau perusahaan mau membuka dan sehat menjalankan hubungan industrialnya, buruh sangat bersedia untuk berdialog dan mencari titik tengah secara sehat,” kata Mirah saat dihubungi di Jakarta.
Menurut dia, kerap ada krisis rasa percaya antara manajemen pengusaha dan buruh. Manajemen menilai buruh tidak mau memahami kondisi keuangan perusahaan, sementara buruh menilai manajemen tidak beritikad baik karena tidak transparan tentang laporan keuangan perusahaan.
Jika pola hubungan industrial yang tidak sehat itu dipelihara, ketika krisis rasa percaya sudah mencapai titik ekstrem, semua penjelasan dari manajemen perusahaan bisa diragukan oleh pekerja. ”Meskipun kelak dibuka laporan keuangannya, pekerja bisa meragukan, apa memang benar perusahaan merugi sampai sedemikian besarnya?” kata Mirah.
Menurut dia, transparansi laporan keuangan sebenarnya memungkinkan. Ada contoh beberapa perusahaan yang bersedia terbuka dengan pekerjanya sehingga bisa mencegah konflik yang lebih besar. ”Kalau relasi hubungan industrial sehat dan perusahaan tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan, buruh pun pasti paham kalau kondisi lagi buruk,” ujarnya.
Persoalan ini juga disoroti oleh Ombudsman RI. Menurut Pelaksana Tugas Kepala Keasistenan Pemeriksaan VI Ombudsman Ahmad Sobirin, keengganan perusahaan untuk transparan membuka laporan keuangannya menjadi masalah klasik yang kerap berulang dalam hubungan industrial. Akhirnya, buruh tidak mengetahui secara pasti kondisi yang dihadapi perusahaan.
Sementara itu, tidak adanya mekanisme untuk membuktikan ketidakmampuan kondisi keuangan perusahaan berpotensi membuat adanya malaadministrasi dalam pencairan THR tahun ini. ”Hal ini harus jadi perhatian pengawas ketenagakerjaan dan harus dibuktikan secara valid oleh dinas ketenagakerjaan setempat,” katanya.
Menjelang tenggat akhir pembayaran THR keagamaan, jumlah pengaduan yang masuk ke Posko THR Kementerian Ketenagakerjaan meningkat. Data Kemenaker, selama kurun waktu 20 April sampai 6 Mei 2021, ada 1.569 laporan yang masuk ke Posko THR. Jumlah itu terdiri dari 670 laporan yang bersifat konsultasi dan 889 laporan yang bersifat pengaduan.
Pengaduan tahun ini meningkat signifikan dibandingkan dengan laporan Posko THR Lebaran tahun 2020 yang berjumlah 410 laporan dan pengaduan tahun 2019 yang berjumlah 251 laporan.
Beberapa persoalan yang diadukan, antara lain, perusahaan sama sekali tidak membayarkan THR, hanya membayar sebagian, membayar bertahap dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan, membayar THR bukan dalam bentuk uang, dan pengaduan mengenai perusahaan yang tidak mampu membayar THR karena terdampak pandemi Covid-19.
Sementara tenggat akhir pembayaran THR bagi perusahaan yang mampu adalah 7 Mei 2020 atau tujuh hari sebelum Lebaran. Adapun toleransi batas akhir pembayaran bagi perusahaan yang tidak mampu adalah 12 Mei 2020 atau satu hari sebelum Lebaran.
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker & K3) Kemenaker Haiyani Rumondang mengatakan, jika perundingan bipartit tidak bisa mencapai kata sepakat, mediator dari dinas ketenagakerjaan setempat akan turun tangan.
”Tugas mediator mendorong tercapainya dialog yang kekeluargaan serta menyepakati jalan tengah jumlah THR yang dibayarkan dan batas waktu yang ditetapkan,” kata Haiyani.
Jika kesepakatan tidak dijalankan dan THR tidak dibayarkan, pengawas ketenagakerjaan akan memberikan peringatan dan merekomendasikan sanksi administratif. Bentuk sanksi dari teguran tertulis sampai pembatasan kegiatan usaha dan pembekuan usaha.
”Mediator dan pengawas ketenagakerjaan memainkan tugas penting untuk memastikan pembayaran THR kepada pekerja,” kata Haiyani.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Anton Supit mengatakan, beberapa perusahaan masih enggan transparan karena sifat laporan keuangan internal rahasia. ”Kalau manajemen tidak mau membuka, itu bukan berarti ada penyimpangan, tetapi untuk menjaga rahasia perusahaan. Ada hal-hal yang memang tidak bisa dibuka seluruhnya,” katanya.
Kendati demikian, Anton mengatakan, perundingan bipartit merupakan kesempatan untuk membangun rasa percaya antara manajemen perusahaan dengan pekerja. ”Pada dasarnya, kalau hubungan pekerja dan pengusaha selama ini terjaga baik-baik, hal-hal seperti THR ini pasti juga bisa dibicarakan baik-baik,” ujar Anton.
Ia menilai, surat edaran Menaker yang meminta semua perusahaan membayar THR pekerjanya secara utuh dan tepat waktu memberatkan pengusaha kecil-menengah dan pengusaha yang masih terdampak pandemi.
”Memang, saya akui, ada sekelompok kecil perusahaan yang sebenarnya untung banyak, tetapi mengaku tidak sanggup. Itu tidak bisa digeneralisasi karena ada yang untuk membayar gaji saja sudah tidak sanggup,” ujar Anton.