Lima Nelayan Dipulangkan dari Malaysia Sebelum Proses Hukum
Kementerian Kelautan dan Perikanan menggunakan skema baru dengan pendekatan komunikasi antarpemerintah dan penjemputan di tengah laut bagi nelayan yang melanggar perbatasan dengan negara lain.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan memulangkan lima nelayan yang ditangkap otoritas Malaysia karena dugaan pelanggaran perbatasan di Selat Malaka. Pemerintah menggunakan pendekatan komunikasi dengan otoritas Malaysia sehingga nelayan bisa dipulangkan dengan cepat sebelum proses penegakan hukum.
”Kami membangun komunikasi dengan otoritas Malaysia agar pemulangan bisa dilakukan dengan cepat. Kami jemput lima nelayan itu di tengah laut,” kata Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono, Senin (10/5/2021).
Ia mengatakan, lima nelayan asal Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, itu ditangkap otoritas Malaysia pada 24 April karena diduga memasuki perairan Malaysia. Mereka sudah sempat ditahan di Malaysia, tetapi belum ada proses penegakan hukum. Kelima nelayan itu pun telah dijemput di perbatasan dan kembali ke Sumut pada Minggu (9/5/2021).
KKP awalnya mendapat informasi penangkapan nelayan itu dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut. ”Kami langsung berkomunikasi dengan otoritas Malaysia untuk rencana pemulangan nelayan tersebut,” kata pria yang sering dipanggil Ipunk itu.
Ipunk menjelaskan, selama ini pihaknya sudah menjalin hubungan dan komunikasi terkait pelanggaran perbatasan oleh nelayan tradisional, khususnya di area abu-abu di Selat Malaka. Area abu-abu merupakan wilayah perbatasan yang masih sama-sama diklaim sebagai wilayah negara masing-masing.
KKP menggunakan skema baru dengan pendekatan komunikasi antarpemerintah dan penjemputan di tengah laut. (Pung Nugroho Saksono)
Selama ini, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APPM) menganggap semua kapal bermesin bukan nelayan tradisional meskipun bobot kapalnya kecil. Penangkapan nelayan dari Sumatera bagian utara pun kerap terjadi. Dalam catatan Kompas, para nelayan biasanya harus menjalani proses penegakan hukum dan dipenjara selama beberapa tahun.
”Biasanya prosesnya harus melalui kedutaan, buat paspor, visa, pendampingan, mengurus penerbangan, dan lainnya. Itu memakan waktu yang sangat lama,” kata Ipunk.
Menurut Ipunk, saat ini KKP menggunakan skema baru dengan pendekatan komunikasi antarpemerintah dan penjemputan di tengah laut. Sejak Januari sampai sekarang, KKP sudah memulangkan empat kapal dengan 18 nelayan. Otoritas Malaysia memulangkan semua nelayan dan juga kapal yang disita.
Ketua HNSI Sumut Zulfahri Siagian mengatakan, para nelayan sangat bersyukur bisa dipulangkan tanpa proses penegakan hukum. Apalagi, para nelayan tradisional umumnya berasal dari keluarga prasejahtera yang tidak mengerti proses penegakan hukum. ”Mereka kini sudah bisa berkumpul dengan keluarga masing-masing,” kata Zulfahri.
Kelima nelayan itu adalah Heri Fadli (20), Muhammad Taufik (27), Usman (32), Dedi (36), dan Faisal (39), semuanya warga Kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang.
”Mereka berangkat dari Pantai Labu menggunakan kapal kayu kecil berbobot sekitar 5 gros ton pada 23 April. Sehari kemudian, mereka ditangkap otoritas Malaysia,” kata Zulfahri.
Menurut Zulfahri, nelayan Indonesia sangat rentan ditangkap di perbatasan karena peralatan navigasi mereka masih sangat minim. Mereka pun sering memasuki wilayah perbatasan tanpa mereka sadari.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Sumut Tajruddin Hasibuan mengatakan, keberadaan nelayan di perbatasan Indonesia-Malaysia sangat penting. Keberadaan mereka tidak hanya untuk menangkap ikan, tetapi sebagai bukti nyata bahwa wilayah laut itu adalah perairan Indonesia. ”Karena itu, nelayan di perbatasan harus dilindungi,” katanya.
Menurut Tajruddin, pelanggaran perbatasan kerap terjadi tidak hanya karena persoalan minimnya peralatan navigasi, tetapi juga terkait kampanye dari otoritas Malaysia yang ingin menunjukkan bahwa mereka punya wilayah di sana. Karena itu, ia juga berharap aparatur negara juga hadir di perbatasan itu.
”Kalau aparatur negara kita ada di sana, tidak ada yang berani mendekat, apalagi sampai menangkap nelayan kita. Sering sekali nelayan kita ditangkap di wilayah perairan Indonesia,” kata Tajruddin.
Tajruddin menambahkan, para nelayan juga perlu diberikan pemahaman atau edukasi tentang apa saja langkah yang harus dilakukan ketika ditangkap otoritas Malaysia. Menurut dia, setiap tahun penangkapan nelayan Indonesia memang terus menurun.