Komponen biaya baterai penyimpan membebani harga listrik yang dihasilkan energi surya. Harapannya, terdapat inovasi baterai yang mampu membuat harga listrik itu berdaya saing.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jika dibandingkan dengan yang berbasis fosil, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS belum berdaya saing karena memiliki komponen biaya penyimpanan daya. Oleh sebab itu, kualitas baterai penyimpan daya menjadi kunci pembentukan harga listrik dari PLTS.
Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo memperkirakan, besaran sektor kelistrikan Indonesia saat ini berkisar 250 terawatt jam (TWh) dan berpotensi mencapai 300 TWh pada akhir tahun.
”Dengan menggunakan asumsi pertumbuhan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik, besarannya dapat mencapai sekitar 1.100 TWh pada 2050 dan 1.800 TWh pada 2060,” kata Darmawan saat diskusi dalam jaringan berjudul Konversi PLTD ke PLTS Baterai yang diadakan PLN, Senin (10/5/2021).
Pada PLTS, biaya pembangkitnya diperkirakan sebesar 3 sen AS per kWh dan penyimpanannya pada baterai berkisar 12-13 sen AS per kWh.
Dia menargetkan, tambahan sebesar 1.500 TWh pada 2060 tersebut dapat diisi oleh energi baru terbarukan (EBT), termasuk PLTS. Namun, dia menyoroti perbedaan harga yang signifikan antara PLTS dan salah satu pembangkit berbasis fosil, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Sebagai ilustrasi perbandingan, Darmawan menyebutkan, harga listrik dari PLTU berkisar 6 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Pada PLTS, biaya pembangkitnya diperkirakan sebesar 3 sen AS per kWh dan penyimpanannya pada baterai berkisar 12-13 sen AS per kWh. Oleh sebab itu, ia mengharapkan inovasi yang dapat membuat harga listrik dari PLTS dapat bersaing dengan pembangkit berbasis fosil (PLTU).
Dalam rangka menyokong pencapaian target bauran EBT nasional sebesar 23 persen pada 2025, Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN M Ikhsan Asaad menyatakan, perusahaan akan mengonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi PLTS. Upaya ini merupakan bagian dari transformasi hijau PLN.
Konversi tersebut dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama yang dilaksanakan sepanjang 2021 terdapat 200 lokasi dengan total kapasitas 225 megawatt (MW). Dia menyebutkan, tahap pertama tersebut membutuhkan modul surya dengan kapasitas puncak 600 MW dan baterai sekitar 1,8 GW jam. Target operasional komersialnya pada 2023-2024.
Perusahaan akan mengonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi PLTS. Upaya ini merupakan bagian dari transformasi hijau PLN.
Kapasitas yang ditargetkan pada konversi tahap kedua dan ketiga masing-masing hingga mencapai posisi 500 MW dan 1.300 MW. PLTS hasil konversi pada kedua tahap tersebut diharapkan dapat beroperasi secara komersial pada 2024-2025 dan 2025-2026.
Dalam proses konversi itu, Direktur Utama PT Deltamas Solusindo Henry Saputra menyarankan PLN agar menggunakan baterai litium ion. ”Modul surya dan inverter sebaiknya menggunakan yang bisa beroperasi selama 25 tahun. Oleh sebab itu, baterai yang dipakai juga memiliki masa hidup serupa,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Henry menambahkan, baterai litium ion unggul dalam depth of discharge (DoD) yang dapat mencapai 100 persen. Artinya, jumlah listrik yang dikeluarkan oleh baterai sama dengan yang disimpan. Selain itu, konsumsi daya untuk operasional baterai (self-power consumption) berkisar 5 watt.
Saat ini, jenis baterai yang beredar untuk kebutuhan PLTS di Indonesia terdiri dari lead acid, lead carbon, dan litium fero fosfat (LiFePO4). Di antara ketiganya, baterai LiFePO4 memiliki masa hidup paling tinggi, yakni selama delapan tahun, dan tingkat DoD terbesar, yaitu 80 persen.
Rata-rata modul surya di Indonesia memiliki panel kapasitas puncak 500 MW. Padahal, panel modul surya yang ada di negara-negara lain telah mencapai 600 MW.
Sementara itu, General Manager PT Sankeindo Hepi Santosa menyatakan, rata-rata modul surya di Indonesia memiliki panel kapasitas puncak 500 MW. Padahal, panel modul surya yang ada di negara-negara lain telah mencapai 600 MW.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ida Nuryatin Finahari menyatakan, pemerintah mendorong PLN berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca lewat konversi PLTD ke PLTS. Dia berpendapat, ada sejumlah tantangan yang dihadapi, seperti desain instalasi, pemilihan teknologi baterai, serta sistem kontrol dan pemantauan.