Sanksi Hanya Retorika, Pelanggaran THR Terus Berulang
Dari tahun ke tahun, pengawasan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran pembayaran THR tetap lemah. Ke depan, penetapan sanksi perlu dikaji ulang agar efektif memberikan efek jera tanpa membawa risiko pengangguran.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum yang tegas bagi perusahaan yang melanggar ketentuan pembayaran tunjangan hari raya keagamaan sejauh ini baru sebatas retorika. Sanksi yang diberikan pun tidak menimbulkan efek jera sehingga kasus pelanggaran terus berulang. Dengan jumlah pengaduan yang naik signifikan tahun ini, ketegasan pemerintah semakin diperlukan.
Posko Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2021 Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, selama periode 20 April sampai 6 Mei 2021, ada 1.569 laporan yang masuk. Jumlah itu terdiri dari 670 laporan yang sifatnya konsultasi dan 889 laporan yang sifatnya pengaduan.
Beberapa persoalan yang diadukan antara lain perusahaan sama sekali tidak membayarkan THR, hanya membayar sebagian, membayar bertahap dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan, membayar THR bukan dalam bentuk uang, serta pengaduan mengenai perusahaan yang tidak mampu membayar THR karena terdampak pandemi Covid-19.
Pengaduan tahun ini meningkat signifikan dibandingkan dengan laporan Posko THR Lebaran tahun 2020 yang berjumlah 410 laporan.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, mayoritas kasus yang masuk adalah THR yang dicicil. Ada perusahaan yang baru membayar 50 persen atau 25 persen. ”Ada relaksasi sampai H-1. Bisa saja perusahaan masih mencari uang untuk membayar sampai H-1. Kami terus monitor,” katanya saat dihubungi, Jumat (7/5/2021).
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, dari tahun ke tahun, pengawasan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran pembayaran THR masih sangat lemah. Di atas kertas, pemerintah memang telah mengatur sanksi bagi perusahaan yang melanggar aturan pembayaran THR.
Dari tahun ke tahun, pengawasan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran pembayaran THR masih sangat lemah.
Sanksi diberikan bertahap, dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian/seluruh alat produksi, sampai pembekuan kegiatan usaha. Sanksi direkomendasikan oleh pengawas ketenagakerjaan ke gubernur, bupati, atau wali kota setempat.
Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif tentang Pengupahan.
Namun, nyatanya, sanksi yang diberikan hanya sebatas teguran tertulis. ”Pengusaha tahu, tidak mungkin izin operasional mereka dicabut karena pemerintah daerah akan kehilangan sumber pendapatan dan pengangguran justru akan meningkat. Sampai saat ini, tidak ada perusahaan pengemplang THR yang izin usahanya dicabut,” papar Timboel.
Senada, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, penerapan sanksi ujung-ujungnya hanya sebatas retorika. Pemerintah terus menggaungkan penegakan sanksi yang tegas, tetapi tidak ada efek jera yang diciptakan.
”Pemerintah tidak mungkin menghukum sekian banyak perusahaan yang tidak membayar THR,” kata Said.
Mengkaji ulang
Pada tahun 2020, ada 410 laporan pengaduan pembayaran THR. Sebanyak 307 perusahaan di 24 provinsi sudah melunasi pembayaran dan 103 perusahaan masih dalam pemeriksaan. Sejauh ini, dari ratusan perusahaan itu, baru lima perusahaan yang direkomendasikan mendapat sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Anwar Sanusi mengatakan, ketentuan sanksi dibuat ketika situasi masih normal. Dalam situasi krisis ekonomi seperti sekarang, pemerintah tidak mungkin menutup operasional usaha karena itu akan berdampak pada bertambahnya pengangguran.
Ia tidak menampik, pemberian sanksi sejauh ini ujung-ujungnya memang baru berupa retorika dan belum menimbulkan efek jera. Ke depan, perlu ada solusi sanksi yang lebih tegas.
”Kondisinya sulit, karena kita butuh pekerjaan, tetapi kok membekukan usaha? Terus terang, tidak mudah untuk mengambil keputusan,” kata Anwar.
Menurut Timboel, penetapan sanksi perlu dikaji ulang agar efektif memberikan efek jera tanpa perlu berisiko mengakibatkan PHK. Jika perlu, dilakukan revisi perangkat hukum yang mengatur ketentuan pembayaran THR. ”Misalnya, sanksi pemblokiran sebagian dana di rekening perusahaan sesuai nilai THR yang tidak dibayar,” katanya.
Tindak lanjut
Lebih lanjut, laporan pengaduan yang sudah masuk, baik melalui Posko THR Kemenaker, posko THR organisasi buruh, maupun Posko THR Ombudsman RI, harus segera direspons. Namun, persoalannya, dari tahun ke tahun, pengawasan berlangsung lambat dan lemah. ”Laporan yang kami sampaikan sejak lima hari lalu saja belum direspons sampai hari ini,” ujar Timboel.
Pengawas ketenagakerjaan perlu segera meminta laporan keuangan internal perusahaan dan dari situ menentukan yang bersangkutan tidak mampu atau sebenarnya mampu. ”Jika mampu tapi melanggar, segera lakukan penegakan hukum. Jika memang tidak mampu, ajak negosiasi pekerja dan pastikan termin pembayaran yang adil,” kata Timboel.
Menurut Said Iqbal, jika perusahaan bersedia membuka laporan keuangan dan membuktikan ketidakmampuannya, buruh akan memahami. ”Kami tidak pukul rata. Kalau memang tidak mampu, bicarakan bersama buruh, buat perjanjian bahwa suatu hari keuangan perusahaan membaik, THR segera dibayarkan. Saya rasa itu adil,” ujarnya.
Anwar mengatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan posko yang didirikan di daerah. Disnaker setempat sudah mulai menurunkan tim untuk mendatangi perusahaan yang diadukan. ”Pengawas sudah mulai menindaklanjuti dan mendalami persoalan. Puncak masalah baru akan terlihat pada H-1 Lebaran nanti. Saat ini kami belum bisa simpulkan,” katanya.