Perempuan lebih memprioritaskan pemanfaatan bantuan langsung tunai dana desa untuk kesejahteraan keluarga di perdesaan. Dibutuhkan peran perempuan yang lebih banyak dalam musyawarah desa saat penyusunan program desa.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Penelitian Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran, Bandung, tentang peran perempuan dalam keluarga dan penanggulangan dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 menyajikan hasil menarik. Di perdesaan, bantuan langsung tunai atau BLT dana desa yang mereka terima, pemanfaatannya lebih tepat sasaran ketimbang bantuan itu diterima oleh pihak laki-laki. Ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk aspek kesetaraan jender.
Menurut peneliti CEDS Universitas Padjadjaran, Martin Siyaranamual, dalam webinar bertajuk ”Program Perlindungan Sosial Inklusif: Menuju Program Perlindungan Sosial Berbasis Dana Desa yang Ramah Anak dan Responsif Gender”, Kamis (22/4/2021), pandemi Covid-19 dipastikan menyebabkan angka kemiskinan bertambah. Selain kemiskinan, angka ketimpangan pun meningkat. Perempuan adalah salah satu kelompok paling rentan dalam menanggung akibat pandemi Covid-19.
Kendati menjadi salah satu kelompok paling rentan, perempuan sekaligus menjadi efek pengganda dalam program perlindungan sosial akibat pandemi Covid-19. Dalam kasus penyaluran BLT dana desa yang diterima perempuan, mereka cenderung mengalokasikan sumber daya yang lebih besar untuk kesejahteraan keluarga, terutama anak-anak. Otoritas perempuan dalam kasus ini ternyata punya peran signifikan.
Kendati menjadi salah satu kelompok paling rentan, perempuan sekaligus menjadi efek pengganda dalam program perlindungan sosial akibat pandemi Covid-19.
Lebih lanjut, hasil penelitian itu menunjukkan, apabila BLT dana desa diterima dan dikelola oleh perempuan, prioritas tertinggi adalah untuk belanja bahan pangan, membayar tagihan listrik, dan membeli keperluan sekolah anak. Skor untuk ketiga aspek tersebut lebih tinggi ketimbang saat BLT dana desa diterima oleh pihak laki-laki.
Sebaliknya, saat BLT dana desa diterima oleh pihak laki-laki, skor mereka lebih unggul untuk belanja pulsa atau paket data internet, sumbangan sosial, membeli rokok, atau untuk membayar angsuran kendaraan bermotor. Adapun skor untuk pemakaian sebagai modal usaha tidak jauh berbeda antara pihak perempuan dan laki-laki.
Penelitian itu lantas menghasilkan rekomendasi agar keterlibatan perempuan dalam program jaring pengaman sosial di perdesaan lebih ditingkatkan lagi. Bahkan, perempuan diusulkan terlibat aktif dalam penyusunan musyawarah desa, sebuah forum tertinggi di tingkat desa, saat merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Selama ini, forum musyawarah desa lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki.
Lebih jauh lagi, ada usulan agar dibuat suatu mekanisme seleksi penerima program jaring pengaman sosial berfokus pada perempuan sebagai penerima manfaat. Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk penyaluran dana desa tahun anggaran 2020, dari 8 juta keluarga penerima manfaat, sebanyak 2,4 juta adalah perempuan kepala keluarga.
Perempuan diusulkan terlibat aktif dalam penyusunan musyawarah desa, sebuah forum tertinggi di tingkat desa, saat merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Adapun dana desa untuk program padat karya tunai desa (PKTD) sepanjang 2020, realisasi anggarannya mencapai Rp 16,5 triliun dari total dana desa sebesar Rp 71,1 triliun. Anggaran program PKTD tersebut terbagi menjadi anggaran untuk upah sebanyak Rp 4,3 triliun dan non-upah (belanja barang) Rp 12,2 triliun. Dengan serapan tenaga kerja sebanyak 3,3 juta orang, pihak perempuan terwakili sebanyak 281.000 orang dan sisanya adalah pekerja laki-laki.
Kembali ke soal peningkatan keterlibatan perempuan dalam jaring pengaman sosial di perdesaan, ada beberapa kendala saat mereka hendak dilibatkan dalam musyawarah desa. Umumnya, musyawarah desa digelar malam hari atau setelah aktivitas bertani dan berladang usai. Di jam tersebut, perempuan lebih banyak berurusan di ranah domestik, seperti menemani anak belajar atau mengantar tidur anak, sehingga sulit diharapkan hadir saat musyawarah desa berlangsung.
Padahal, seperti yang terungkap dalam webinar tersebut, perempuan cukup banyak memiliki informasi penting dalam hal pengategorian keluarga penerima manfaat untuk penyaluran BLT dana desa. Mereka umumnya lebih paham, ketimbang kaum laki-laki, tentang siapa saja yang berhak untuk dibantu mendapat BLT dana desa. Informasi semacam ini sangat membantu saat musyawarah desa berlangsung untuk menyusun daftar keluarga penerima manfaat.
Lebih lanjut, dibutuhkan dukungan resmi dari Kementerian Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam hal pemberdayaan perempuan lewat pelatihan atau pendampingan. Ini bisa bermanfaat untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam berbagai forum penting pengambilan keputusan di tingkat desa. Diharapkan ada keselarasan kebijakan dan peraturan terkait BLT dana desa atau program PKTD dengan perlindungan kaum perempuan.
Dengan demikian, urusan pencapaian SDGs Desa tak melulu soal desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera, dan sebagainya. Namun, tujuan SDGs Desa yang kelima, yaitu keterlibatan perempuan desa, perlu dioptimalkan karena terbukti, dari hasil penelitian, perempuan menjadi efek pengganda dalam program perlindungan sosial.