Pandemi Covid-19 menyebabkan pengangguran dan kemiskinan. Penyelamatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah harus menjadi prioritas. Walaupun UMKM mudah beradaptasi, permodalan dinilai tetap menjadi persoalan.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelamatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi perhatian pemerintah guna mencegah bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan. Penyebaran Covid-19 yang tak kunjung usai telah berdampak besar terhadap sektor ini.
Keprihatinan terhadap nasib usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tersebut disampaikan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam seminar ”Unlocking The Power of SMEs: Membangun Ekosistem dan Akses Keuangan bagi UMKM”, di Jakarta, Kamis (6/5/2021).
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penyebaran Covid-19 menyebabkan 84,2 persen UMKM mengalami penurunan pendapatan karena lebih dari 80 persen mengalami penurunan permintaan. Kemudian, sebesar 42 persen terpaksa memberhentikan sebagian pekerja dan 46,5-52,3 persen UMKM harus mengurangi biaya utilitas (listrik, gas, air, dan sarana komunikasi).
Karena itu, Teten memandang perlu penyelamatan sektor UMKM. Di dalam kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020, UMKM mendapat porsi cukup besar, sekitar Rp 123,46 triliun atau 20 persen dari total anggaran PEN. Tahun 2021, anggaran PEN untuk dukungan UMKM dan koorporasi dianggarkan sebesar Rp 191,13 triliun atau 27 persen dari total pagu anggaran.
Program untuk UMKM tersebut di antaranya subsidi bunga kredit, penempatan dana pada bank umum untuk pembiayaan UMKM, penjaminan modal kerja bagi UMKM, keringanan pajak, pembiayaan modal kerja bagi koperasi melalui LPDB KUMKM, dan Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM).
Teten menjelaskan, BPUM per 5 Mei 2021 sudah tersalur ke 8,6 juta usaha mikro atau 88 persen dari target 9,8 juta usaha. Subsidi bunga KUR sebesar 3 persen yang semula hanya sampai akhir Juni 2021 kini diperpanjang hingga akhir Desember 2021.
Menurut Teten, program pemerintah tersebut telah terbukti ampuh untuk menjaga UMKM bertahan menghadapi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi mulai membaik dari dari minus 2,19 pada triwulan IV-2020 menjadi minus 0,74 persen pada triwulan I-2021. Hal ini ditopang dari belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga yang semakin membaik. Program pemerintah, seperti Banpres produktif dan subsidi bunga KUR, ikut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi.
Banpres Produktif mendapat respons positif dari penerima program. Hasil survei dari sampel yang didapatkan Kementerian Koperasi dan UKM serta Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sebesar 88,5 persen dana Banpres itu digunakan untuk pembelian bahan baku, 23,4 persen untuk pembelian alat produksi, serta 53,50 persen untuk penerima program yang tidak memiliki pekerjaan selain menjadi pelaku usaha mikro.
”Kalau melihat angka penangguran terbuka, kelihatannya mulai turun dari 7,07 persen pada Agustus 2020 menjadi 6,26 persen pada Februari 2021. Artinya, dunia usaha kembali bergeliat dan mulai pulih,” ujar Teten.
Pemerintah berupaya agar UMKM bisa naik kelas. Kebijakan UMKM itu terafirmasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Menurut Teten, aturan ini berupaya agar UMKM naik kelas melalui pendekatan terintegrasi (dari hulu ke hilir). Mulai dari kemudahan perizinanan, bantuan hukum, sertifikasi halal gratis, pendampingan dan pelatihan usaha, skema kemitraan, akses pembiayaan, promosi produk, dan belanja pemerintah untuk UMKM.
Untuk akses pembiayaan, lanjut Teten, Presiden telah memberikan arahan kepada Kementerian Koperasi dan UKM untuk meningkatkan rasio kredit perbankan untuk UMKM menjadi lebih dari 30 persen pada 2024. Plafon KUR dari sebelumnya maksimum Rp 500 juta dinaikkan menjadi Rp 20 miliar. KUR tanpa agunan juga dinaikkan dari Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta.
”Bentuk afirmasi ini menandai prioritas kita untuk segera melahirkan UMKM-UMKM unggul dan mendunia di seluruh pelosok negeri,” kata Teten.
Supari, Direktur Bisnis Mikro Bank Indonesia, mengakui, selama ini banyak hambatan yang dihadapi pelaku UMKM. Namun, pandemi ini membawa perubahan tersendiri bagi UMKM untuk cepat beradaptasi.
BI melihat adanya peningkatan utilisasi kanal digital oleh pelaku usaha mikro dalam kebutuhan bisnis. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kemenkop dan UKM, adopsi teknologi digital pelaku usaha mikro meningkat sangat tajam dalam dua tahun terakhir.
Supari mengatakan, Inovasi pelaku usaha mikro pun menjadi hal penting. Belum cukup dengan mengandalkan kekuatan digital karena masih membutuhkan personal asistensi.”
Suwarsito, Direktur Bisnis Penjaminan PT Jamkrindo, memandang, tantangan paling besar yang dihadapi UMKM masih menyangkut permodalan. Sebesar 60 persen UMKM menghadapi persoalan modal, disusul pemasaran 15 persen, bahan baku 13 persen, keterampilan 10 persen, dan perizinan 2 persen.
Jamkrindo yang bergerak di bidang penjaminan, baik finansial maupun nonfinansial, berusaha mengatasi permasalahan kekurangan agunan. Langkah pertama, terhadap UMKM yang non-feasible (belum layak) dan non-bankable (belum tersentuh layanan perbankan), mereka membutuhkan pendampingan dan akses menuju pembiayaan. Langkah kedua, UMKM yang feasible, tetapi tidak bankable, tentu memerlukan penjaminan kredit. Langkah ketiga, UMKM akhirnya bisa naik kelas menjadi UMKM yang feasible dan bankable.