Layanan Teknologi Finansial Berpeluang Terus Tumbuh pada Masa Pandemi
Layanan teknologi finansial semakin diminati oleh masyarakat selama pandemi Covid-19. Pemanfaatan layanan ini untuk sektor produktif perlu terus dikembangkan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aneka bentuk layanan teknologi finansial atau tekfin berpeluang untuk terus tumbuh selama pandemi Covid-19. Di samping meningkatkan inklusi keuangan, layanan tekfin membantu kegiatan produktif dan semakin memudahkan transaksi konsumsi warga sehari-hari.
Berdasarkan data Global Islamic Fintech Report 2021 yang dikeluarkan oleh firma DinarStandard, market size (besaran pasar) layanan teknologi finansial (tekfin) syariah secara global mencapai 49 miliar dollar AS pada 2020. Diperkirakan, market size layanan tekfin syariah tetap bisa meningkat menjadi 128 miliar dollar AS pada 2025.
Menurut laporan itu, market size layanan tekfin syariah Indonesia menempati urutan kelima dunia dengan nilai 2,9 miliar dollar AS. Sementara Arab Saudi berada di urutan pertama (17,9 miliar dollar AS), Iran peringkat kedua (9,2 miliar dollar AS), Uni Emirat Arab peringkat ketiga (3,7 miliar dollar AS), dan Malaysia berada di posisi keempat (3 miliar dollar AS).
Dilihat dari sisi skor Indeks Tekfin Syariah Global atau GIFT, Indonesia meraih peringkat keempat dunia. GIFT merepresentasikan negara yang mempunyai pertumbuhan pasar tekfin syariah paling kondusif.
Berangkat dari laporan itu, CEO Investree Adrian A Gunadi, saat buka bersama media secara virtual, Rabu (5/5/2021), di Jakarta, optimistis layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) syariah di Indonesia tetap akan tumbuh di tengah kondisi pandemi Covid-19. Nilai pinjaman syariah di Investree, khususnya, tercatat Rp 230 miliar pada akhir 2020 atau tumbuh 107 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya.
”Selama triwulan II-2021, pertumbuhan penyaluran pinjaman syariah di Investree empat kali lipat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, atau dari Rp 10 miliar menjadi Rp 50 miliar,” ujarnya.
Jumlah peminjam di Investree mencapai 163, sementara pemberi dana pinjaman atau lender tercatat 3.238 orang/usaha. Peminjam Investree berlatar belakang pelaku usaha ekonomi kreatif, periklanan, percetakan, dan media, konstruksi, teknologi informasi, komputer, perdagangan, serta elektronik dan energi. Sebanyak 53,5 persen peminjam berdomisili di DKI Jakarta.
Sebanyak 47 persen pemberi dana pinjaman di Investree berusia 21-30 tahun. Lima wilayah asal terbanyak domisili pemberi dana pinjaman di Investree ialah Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Adrian menambahkan, Investree ingin memperluas jangkauan peminjam ke ekosistem pelaku industri halal. Sementara dari aspek sumber dana pinjaman, Investree akan memperkuat dari investor institusi.
”Merger beberapa bank pelat merah syariah beberapa waktu lalu berpotensi bisa menjadi pemberi dana pinjaman di Investree,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menceritakan secara khusus bahwa pengajuan pinjaman konsumtif selama Ramadhan 2021 sering digunakan oleh peminjam untuk membiayai kebutuhan produktif. Dengan demikian, porsi jumlah kredit/pembiayaan produktif dan konsumtif saat ini 50 banding 50.
”Kami yakin, layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi akan tetap bisa berkembang karena pemerintah mewajibkan pencairan dana untuk aktivitas produktif,” ujarnya.
Pembiayaan produktif bermanfaat membantu operasional bisnis dan usaha sehingga dapat membuka lapangan kerja baru. Sementara kredit konsumtif membantu warga memenuhi kebutuhan barang sehari-hari.
Terkait dengan pelarangan mudik oleh pemerintah, Kuseryansyah berpendapat, hal itu bisa dimaknai positif oleh masyarakat. Selain mampu memutus rantai penularan Covid-19, masyarakat bisa memakai dana yang ada, seperti tunjangan hari raya keagamaan dan untuk berinvestasi. Dana yang sama dapat pula dipakai untuk membiayai kegiatan produktif.
CEO Akseleran Ivan Tambunan menyampaikan, terjadi kenaikan suntikan penanaman dana pinjaman kembali atau top up dua kali lipat pada April 2021. Hal ini diduga karena warga menggunakan tunjangan hari raya untuk dialokasikan sebagai investasi ke layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, seperti Akseleran.
Produk utama Akseleran adalah pinjaman untuk pembiayaan faktur. Rata-rata bunga yang ditetapkan Akseleran 19 persen per tahun dengan tenor 3-4 bulan. Sembilan puluh persen peminjam di Akseleran kembali mengajukan pinjaman dengan bunga seperti itu.
Ernst & Young (EY) Indonesia Strategy and Transactions Leader David Rimbo, di acara Fintech Talk, mengatakan, berdasarkan hasil riset sejumlah lembaga yang dikaji oleh EY, layanan tekfin masih diyakini bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai gambaran, nilai transaksi melalui tekfin mencapai 14 miliar dollar AS pada 2017. Nilai ini diperkirakan tetap naik hingga menjadi 50 miliar dollar AS pada 2021.
Layanan tekfin juga membantu meningkatkan inklusi finansial. Pada 2016, persentase inklusi finansial Indonesia mencapai 67,8 persen. Tiga tahun kemudian, persentase inklusi finansial telah naik menjadi lebih dari 76 persen.
Penyedia layanan tekfin, tidak hanya penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, terus berinovasi. Fenomena ini terjadi di dalam dan luar negeri. Pemerintah Indonesia perlu menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif sehingga inovasi tekfin bisa tumbuh.
Berdasarkan riset EY, Pemerintah Indonesia telah mempunyai beberapa kebijakan. Misalnya, Cetak Biru Sistem Pembayaran Nasional 2025 dari Bank Indonesia, Indonesia Money Market Development 2025, draft Strategi Nasional Ekonomi Digital, draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, dan draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber.
Otoritas Jasa Keuangan juga memiliki laboratorium pengujian produk atau model bisnis teknologi finansial (regulatory sandbox). Menurut EY, kebijakan Pemerintah Indonesia harus bisa menyeimbangkan antara dukungan terhadap inovasi dan risiko.
Baca juga: Agar Tak Terlilit Utang, Peminjam Tekfin Harus Lebih Bijaksana