Bayang-bayang Industri Pariwisata yang Makin Tak Menentu
Kondisi pandemi Covid-19 yang semakin tidak menentu memperparah industri pariwisata nasional. Destinasi pariwisata dan hotel ataupun restoran tetap diperbolehkan buka dengan syarat ketat.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Secara kumulatif, pada Januari–Maret 2021, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, sesuai data Badan Pusat Statistik atau BPS, mencapai 385.590 kunjungan atau turun sebesar 85,45 persen jika dibandingkan dengan pada periode yang sama tahun 2020 yang berjumlah 2,65 juta kunjungan. Penurunan ini masih sejalan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang semakin tidak menentu.
Berdasarkan data BPS, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada Maret 2021 mencapai 132.600 atau naik dibandingkan Februari 2021, yaitu 115.800 kunjungan. Jumlah kunjungan wisman sebanyak itu diperoleh dari data pintu masuk darat Indonesia (78.900), laut (40.900), dan udara (12.900).
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, Senin (3/5/2021), di Jakarta, mengatakan, kunjungan wisatawan bisa diukur melalui pemakaian moda transportasi darat, laut, dan udara. Tidak semua penumpang ketiga moda transportasi yang menjadi penelitian BPS itu merupakan turis. Ada juga penumpang yang rutin bepergian karena urusan lain, seperti bisnis.
idak semua penumpang ketiga moda transportasi yang menjadi penelitian BPS itu merupakan turis. Ada juga penumpang yang rutin bepergian karena urusan lain, seperti bisnis.
Penerbangan domestik Maret 2021 dibandingkan Februari 2021 naik 36,68 persen menjadi 2,64 juta. orang Akan tetapi, penerbangan domestik Maret 2021 dibandingkan Maret 2020 turun 42,30 persen dari 6,03 juta orang menjadi 2,64 juta orang.
Penerbangan internasional pada Maret 2021 dibandingkan Februari 2021 naik 24,46 persen. Sebaliknya, penerbangan internasional Maret 2021 dibandingkan Maret 2020 turun 92,72 persen.
Jumlah penumpang kereta pada Maret 2021 dibandingkan Maret 2020 turun 39,02 persen menjadi 14,28 juta orang. Jumlah penumpang kapal pada Maret 2021 dibandingkan Maret 2020 juga turun 33,18 persen menjadi 1,28 juta orang.
Dari sisi tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang, Setianto menyebutkan, TPK pada Maret 2021 mencapai rata-rata 36,07 persen atau meningkat 3,83 poin dibandingkan dengan TPK bulan yang sama tahun 2020 yang tercatat sebesar 32,24 persen. Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Februari 2021, TPK bulan Maret 2021 mengalami kenaikan sebesar 3,67 poin menjadi 32,24 persen.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menceritakan, pada Januari-Februari 2020, rata-rata pelaku industri, khususnya perhotelan, masih menikmati kunjungan wisatawan dengan optimal. Dampak pandemi Covid-19 baru mulai terasa pada Maret saat pengumuman pandemi. Sampai Desember 2020, kondisi industri perhotelan semakin berat. Okupansi kamar hanya tinggal 34 persen atau turun 20 persen dibandingkan tahun 2019.
”Tingkat okupansi di bawah 40 persen itu sungguh berat bagi kami karena bisa berdampak ke tarif sewa kamar yang harus diturunkan menjadi 30-40 persen. Pelaku industri perhotelan sekarang mematok harga bawah sehingga bisa bertahan untuk menutup biaya operasional,” ujar Maulana.
Penurunan harga dialami mulai dari hotel skala atas, seperti hotel berbintang lima. Situasi ini berdampak negatif kepada hotel kecil.
Maulana menambahkan, suasana industri perhotelan tahun 2021 semakin tidak pasti. Pandemi Covid-19 pun semakin tidak menentu sehingga pemerintah memutuskan melarang mudik. Masyarakat berpikir panjang untuk bepergian. Pelaku industri hanya bisa mengejar break even point (BEP) untuk menutup biaya operasional.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf)/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Baparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno secara terpisah mengatakan, Kemenparekraf turut memantau perkembangan ledakan jumlah kasus positif Covid-19, termasuk di India. Kementerian mendukung keputusan pemerintah pusat menutup penerbangan dari dan menuju ke India.
”Pembahasan travel corridor arrangement (TCA) untuk membuka kembali pariwisata Indonesia ke sejumlah negara masih berjalan dan tahap finalisasi. Kami tidak gegabah. Kami tetap mempertimbangkan data perkembangan pandemi Covid-19,” ujarnya.
Peniadaan mudik tetap berlaku. Penutupan perbatasan juga masih dilakukan. Kedua langkah ini untuk membantu pencegahan Covid-19.
Masyarakat berpikir panjang untuk bepergian. Pelaku industri hanya bisa mengejar break even point (BEP) untuk menutup biaya operasional.
Meski demikian, destinasi pariwisata dan berbagai tempat usaha pendukung wisata, seperti hotel dan restoran, tetap diperbolehkan buka. Dia menegaskan, mereka semestinya harus mengantongi sertifikat kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan (CHSE) serta berkoordinasi dengan satuan tugas penanganan Covid-19 daerah.
Sertifikasi CHSE telah dimiliki sekitar 8.500 pelaku usaha parekraf. Pada tahun 2021, Kemenparekraf menargetkan bisa menyertifikasi lebih dari 12.000 pengusaha. Pemerintah daerah menjadi garda terdepan pengawasan pascasertifikasi.
Bagi pelaku usaha parekraf di destinasi wisata yang tidak tertib protokol kesehatan, meski telah mengantongi sertifikat CHSE, pemerintah bisa memberikan teguran. Sanksi lain berupa penutupan usaha dan penangguhan hasil sertifikasi CHSE.
”Sertifikat CHSE merupakan standar yang mesti dimiliki oleh pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif. Kami ingin pelaksanaan sertifikasi nantinya dilakukan dengan model kerja sama pemerintah dan badan usaha,” ucap Sandiaga.
Menyangkut kondisi perhotelan selama pandemi Covid-19, Sandiaga mengatakan, tingkat okupansi berbeda di setiap daerah. Dia tidak memungkiri ada daerah destinasi wisata yang tingkat okupansi hotelnya anjlok. Namun, pada saat bersamaan, ada daerah yang industri perhotelannya masih mencatatkan tingkat okupansi tinggi.
Pemerintah tidak turut campur tangan mengatur harga sewa kamar hotel meskipun saat ini terjadi fenomena penurunan harga dari hotel bintang lima ke bawah. Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf/Baparekraf Fadjar Hutomo mengatakan, pihaknya menyerahkan urusan tarif sewa ke pasar. Dia percaya, pihak internal PHRI punya koordinasi yang bagus. Pemerintah memilih menjaga resiliensi pasar, seperti relaksasi biaya pajak listrik.