Kenaikan Indeks Harga Konsumen pada April 2021 dinilai lebih didorong oleh permintaan musiman di tengah Ramadhan. Peningkatan mobilitas belum sebanding dengan kenaikan konsumsi atau belanja masyarakat.
Oleh
M Paschalia Judith J / Joice Tauris Santi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan indeks harga konsumen atau inflasi pada April 2021. Inflasi bulanan tercatat 0,13 persen, lebih tinggi dibandingkan dua bulan sebelumnya, yakni 0,1 persen dan 0,08 persen. Inflasi, antara lain, didorong kenaikan harga bahan pangan yang permintaannya biasa meningkat pada bulan Ramadhan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Setianto, di Jakarta, Senin (3/5/2021), menyebutkan, inflasi inti bulanan pada April 2021 mencapai 0,14 persen, melonjak dibandingkan dengan Maret 2021 yang deflasi 0,03 persen. ”Namun, tren tahunannya menunjukkan, inflasi April 2021 sebesar 1,18 persen, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat 1,21 persen,” ujarnya.
Berdasarkan pengeluaran masyarakat, kelompok makanan, minuman, dan tembakau memberikan andil inflasi tertinggi, yakni 0,05 persen. Inflasi pada kelompok pengeluaran ini mencapai 0,2 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Adapun komoditas yang menyumbang inflasi di kelompok ini, antara lain, daging ayam ras, minyak goreng, jeruk, anggur, pepaya, ikan segar, ayam hidup, dan apel. Menurut Setianto, daging ayam ras menyumbang inflasi tertinggi, yakni 0,06 persen, dibandingkan dengan komoditas lain, terutama karena kenaikan harga jagung pakan.
Menurut ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, ada sedikit sinyal yang menunjukkan pemulihan daya beli masyarakat, tetapi sinyalnya belum signifikan. Faktor musiman Ramadhan-Lebaran lebih dominan dalam struktur inflasi April 2021.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, berpendapat, pergerakan inflasi inti menunjukkan laju konsumsi masyarakat masih lambat. ”Biasanya (sebelum pandemi), permintaan pada Ramadhan mampu mengerek harga dan mendorong inflasi. Sebagai contoh, kami menyurvei pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Meskipun kunjungannya ramai, rata-rata penjualan mereka tidak sampai sepersepuluh dari kinerja Ramadhan sebelum pandemi,” ujarnya.
Padahal, data mobilitas masyarakat menunjukkan, pergerakan masyarakat hampir mendekati situasi normal sebelum pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan, peningkatan mobilitas warga tidak sebanding dengan kenaikan konsumsi.
Oleh karena itu, upaya mengangkat daya beli masyarakat mesti bersifat jangka panjang agar dapat menjaga komponen konsumsi. Penciptaan lapangan kerja yang bersifat padat karya perlu diperkuat agar masyarakat memperoleh pendapatan tetap secara bulanan.
Pada masyarakat menengah ke bawah, khususnya, pendapatan tersebut langsung ditransmisikan menjadi belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, kata Faisal, tunjangan hari raya bersifat jangka pendek karena tidak rutin diberikan setiap bulan.
Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 553,09 triliun. Anggaran difokuskan pada empat aspek, yaitu kesehatan Rp 104,7 triliun, perlindungan sosial Rp 150,96 triliun, program prioritas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 141,36 triliun, serta dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah dan korporasi Rp 156,06 triliun.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, alokasi anggaran diputuskan hampir setara dengan realisasi tahun 2020, yakni Rp 579,78 triliun. Kebijakan ini mempertimbangkan pandemi yang belum akan tertangani sampai vaksinasi selesai.
Indeks naik
Analis Data dari Continuum Data Indonesia, Muhammad Azzam, dalam diskusi yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Continuum memaparkan, analisis mahadata yang dikumpulkan menunjukkan, indeks konsumsi naik 17 persen sejak awal Ramadhan 2021. Sebaliknya, indeks pendapatan justru menurun 10 persen.
Indeks tersebut diolah dari 1,204 juta pembicaraan yang melibatkan 934.671 akun selama 1-25 April 2021. Dari delapan kelompok, komponen konsumsi yang meningkat adalah komponen pakaian yang naik 47 persen dan kebutuhan rumah tangga yang naik 18 persen. Konsumsi pakaian didominasi oleh belanja produk mode secara daring, sedangkan komponen kebutuhan rumah tangga berasal dari perabotan penunjang kerja dari hunian.
Akan tetapi, di sisi pendapatan, terjadi penurunan pada komponen kesempatan bekerja sebesar 18 persen. Komponen lain yang menurun terdiri dari gaji dan bonus serta investasi. ”Investasi menurun karena dari pembicaraan di sosial media, banyak yang mengatakan, dana darurat lebih penting saat ini. Kemudian, masih banyak orang yang sedang mencari pekerjaan,” ujarnya.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mencermati, dari data tersebut, terlihat konsumsi masyarakat pada triwulan II-2021 lebih baik dibandingkan dengan konsumsi pada triwulan II-2020. ”Big data memperlihatkan konsumsi meningkat, perekonomian juga mulai meningkat. Tadinya, uang masyarakat terbatas dan digunakan untuk kebutuhan primer dulu, sekarang sudah ada belanja baju dan perabotan,” kata Eko.
Lalu lintas percakapan di sosial media itu juga membicarakan kebijakan pemerintah, seperti larangan mudik, pemberian tunjangan hari raya, serta pembukaan kembali warung dan restoran. Pembicaraan tentang buka puasa bersama naik lima kali lipat. Ada 70 persen yang berbuka di luar rumah, sementara 30 persen tetap berbuka di rumah.
”Tahun lalu, kita masih berada pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketika itu restoran tidak boleh dibuka, tetapi tahun ini sudah diperbolehkan untuk buka puasa di restoran asalkan tetap melakukan protokol kesehatan dengan ketat. Tentu ini menguntungkan pengusaha restoran,” kata Azzam.