Operator Wajib Bangun Infrastruktur di 3.435 Desa Nonkomersial
Pemerintah mewajibkan operator telekomunikasi membangun infrastruktur di wilayah nonkomersial guna memeratakan layanan akses seluler 4G LTE. Kewajiban itu jadi syarat mendapatkan izin penggunaan pita frekuensi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna memeratakan layanan akses seluler 4G LTE sampai 2021, pemerintah mengharuskan operator telekomunikasi membangun infrastruktur di wilayah nonkomersial, yakni daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Namun, pemenuhan syarat mendapatkan izin penggunaan pita frekuensi itu belum optimal.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat, 12.548 desa di Indonesia belum terlayani layanan atau tersedia sinyal 4G LTE. Dari jumlah itu, 9.113 desa termasuk desa tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang pembangunan infrastrukturnya menjadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo sampai 2022.
Adapun 3.435 desa sisanya termasuk desa nonkomersial dan pembangunan infrastrukturnya menjadi tanggung jawab enam operator telekomunikasi, yakni Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Hutchison Tri Indonesia, Smartfren, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
Konsultan Bakti telah membagi jumlah desa yang harus dibangun oleh setiap operator sesuai daya jangkaunya. Telkomsel mendapat jatah 1.491 desa, Indosat Ooredoo 645 desa, XL Axiata 861 desa, Hutchison Tri 378 desa, Smartfren 50 desa, dan Sampoerna Telekomunikasi 10 desa.
Bersamaan dengan kebijakan itu, masa berlaku izin penggunaan pita frekuensi 800 megahertz (MHz), 900 MHz, dan 1.800 MHz memasuki masa evaluasi pada akhir Desember 2020. Masa berlaku izin penggunaan tiga pita frekuensi adalah 10 tahun.
Masa berlaku izin penggunaan pita frekuensi selama 10 tahun otomatis terpenuhi jika operator berkomitmen membangun infrastruktur 4G di wilayah nonkomersial. Sebaliknya, kepada operator yang belum menyatakan komitmen pada Desember 2020, pemerintah menawarkan perpanjangan izin satu tahun terlebih dulu. Tiga operator kategori ini adalah Hutchison Tri Indonesia, XL Axiata, dan Indosat Ooredoo.
Infrastruktur dasar
Wakil Presiden Direktur Hutchison Tri Indonesia Danny Buldansyah saat dihubungi, Minggu (2/5/2021), di Jakarta mengatakan, pihaknya berkomitmen membangun sesuai arahan Kemenkominfo. Dari jatah 378 desa, dia mengklaim komitmen dan kesanggupan membangun di 70 desa pada tahun 2021 dan sisanya pada 2022.
Menurut dia, tim perusahaan telah menyurvei lapangan. Di empat dari 70 desa yang akan dibangun, infrastruktur telekomunikasinya belum tersambung jaringan listrik, sementara infrastruktur dasar lainnya serba terbatas.
Secara terpisah, Group Head Corporate Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih menyatakan, XL Axiata telah menyampaikan komitmen dan kesanggupan membangun infrastruktur 4G LTE pada awal April 2021. ”Dari survei lapangan, desa yang harus kami bangun berada di lokasi susah akses transportasi dan logistik serta populasi penduduknya sedikit,” katanya.
Tri menambahkan, XL Axiata tetap ikut membangun jaringan akses di desa 3T melalui dana kewajiban pelayanan universal atau USO yang dikelola Bakti Kemenkominfo.
Telkomsel memiliki 7,5 MHz di pita frekuensi 850 MHz, 7,5 MHz di pita 900 MHz, dan 22,5 MHz di pita 1800 MHz. Indosat Ooredoo memiliki 2,5 MHz di pita 850 MHz, 10 MHz di pita 900 MHz, dan 20 MHz di pita 1800 MHz. XL Axiata memiliki frekuensi sebesar 7,5 MHz di pita 900 MHz dan 22,5 MHz di pita 1800 MHz. Hutchison Tri Indonesia mempunyai 10 MHz di pita 1.800 MHz. Adapun Smartfren mempunyai 10 MHz di pita 850 MHz.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, menilai, operator pemegang izin penggunaan pita frekuensi semestinya ikut membangun infrastruktur di wilayah kurang menguntungkan. Dengan demikian, pemerataan infrastruktur telekomunikasi tercipta. Namun, realitasnya pemerataan tidak terjadi dan stagnan di daerah yang dianggap komersial. Jika dibiarkan, situasi ini berdampak ke pertumbuhan industri.
Menurut dia, kebijakan pemerintah sudah tepat. Jika diperlukan, pemerintah bisa mengevaluasi kontrak lisensi. Pemerintah tidak perlu ragu mengawasi proses pembangunan infrastruktur oleh operator yang sudah menyatakan komitmen dan kesanggupannya.
Sementara itu, Direktur Infrastruktur Bakti Kemenkominfo Bambang Noegroho menyampaikan, dari 9.113 desa 3T yang menjadi tanggung jawab Bakti, terdapat 4.200 desa yang masuk target pembangunannya pada 2021. Saat ini Bakti masih menggelar survei lapangan yang diharapkan selesai Juni 2021.
Pembangunan akan dilaksanakan tanpa menunggu survei di seluruh lokasi selesai. Artinya, pembangunan bisa berjalan paralel.
Menurut Bambang, medan di 4.200 desa senada dengan kondisi desa nonkomersial yang jadi tanggung jawab pembangunan operator telekomunikasi. Mayoritas lokasi sulit dijangkau, terutama di wilayah timur Indonesia, karena keterbatasan sarana transportasi ataupun kondisi geografis. Ditambah lagi, ada pembatasan aktivitas atau kegiatan karena pandemi Covid-19. Selain itu, tim harus menghadapi cuaca ekstrem yang menghambat pelaksanaan kegiatan.