PLTS diandalkan pemerintah untuk menaikkan bauran energi baru dan terbarukan. PLTS atap berpotensi besar mempercepat pencapaian itu. Syaratnya, ada kebijakan yang berpihak untuk mendukung tujuan tersebut.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS adalah salah satu jenis pembangkit listrik yang diandalkan pemerintah untuk mengejar target bauran energi baru dan terbarukan pada tahun 2025. Salah satu sasaran prioritas percepatan adalah pemasangan PLTS atap. Sayangnya, rancangan kebijakannya justru menjadi ironi.
Saat ini, posisi bauran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 11,2 persen. Dalam Rencana Umum Energi Nasional, target bauran pada 2025 adalah 23 persen. Peran energi baru dan terbarukan diharapkan terus meningkat menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
Dari ragam sumber energi terbarukan di Indonesia, jenis tenaga surya memiliki potensi paling melimpah. Data resmi pemerintah menunjukkan potensinya mencapai 207.800 megawatt (MW), sedangkan pemanfaatannya baru 153,8 MW peak atau setara 0,07 persen. Kajian lembaga independen malah menyebutkan potensi tenaga surya Indonesia jauh melampaui data resmi pemerintah, yakni sebesar 20.000 gigawatt (GW) atau 96 kali lipatnya dari data pemerintah.
Soal percepatan pengembangan PLTS, strategi yang sedang disiapkan pemerintah adalah membangun PLTS dalam skala besar (ratusan MW hingga orde GW), optimalisasi lahan waduk untuk menjadi lokasi PLTS terapung, serta pengembangan PLTS atap secara masif. PLTS atap adalah PLTS yang dipasang di atap bangunan, seperti rumah tangga, kantor pemerintahan, pusat perbelanjaan, pergudangan, dan pabrik.
Data resmi pemerintah menunjukkan potensinya mencapai 207.800 megawatt (MW), sedangkan pemanfaatannya baru sebanyak 153,8 MW peak atau setara 0,07 persen.
Salah satu kelebihan PLTS atap adalah mampu menghemat pembayaran rekening listrik pelanggan PLN. Selain itu, pelanggan juga bisa menjual kelebihan daya dari PLTS atap kepada PLN dengan mekanisme ekspor-impor daya listrik. Dari aturan yang ada sekarang, nilai pengali kelebihan daya PLTS atap ke PLN sebesar 65 persen dari tarif resmi. Dengan demikian, daya listrik pelanggan dengan PLTS atap yang dijual ke PLN dihargai lebih murah ketimbang yang dibayar pelanggan kepada PLN.
Aturan 65 persen dari tarif resmi tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Aturan inilah yang akan direvisi. Dalam draf revisi aturan tersebut, nilai pengali daya listrik yang dijual ke PLN dinaikkan menjadi 75 persen jika PLTS atap tanpa baterai dan 90 persen apabila dengan baterai. Selain itu, kapasitas PLTS atap dibatasi maksimum 100 persen dari daya terpasang listrik pelanggan.
Kendati ada kenaikan nilai jual kelebihan daya ke PLN, draf tersebut dirasa setengah hati. Pemerintah tampak belum bisa ikhlas menerbitkan kebijakan yang adil bagi konsumen yang sejatinya mendukung capaian target bauran energi baru dan terbarukan. Beberapa pihak menyarankan agar nilai pengali kelebihan daya listrik harus berimbang, yakni 100 persen. Selain itu, pembatasan pemasangan daya PLTS atap sebaiknya dihapuskan.
Dalam draf revisi aturan tersebut, nilai pengali daya listrik yang dijual ke PLN dinaikkan menjadi 75 persen jika PLTS atap tanpa baterai dan 90 persen apabila dengan baterai.
Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga kajian nonpemerintah untuk bidang energi terbarukan, menghitung, apabila nilai jual kelebihan daya ditetapkan 100 persen, itu akan mempercepat pengembalian investasi PLTS atap hingga dua tahun. Dengan skema saat ini, rata-rata atau paling cepat tingkat pengembalian modal PLTS atap adalah sembilan tahun. Masih berdasar survei IESR, nilai jual kelebihan daya 100 persen dapat menaikkan minat masyarakat untuk memasang PLTS atap.
Data pemerintah menunjukkan, jumlah pelanggan PLTS atap sampai Maret 2021 tercatat sebanyak 3.472 pelanggan. Pelanggan dari kalangan rumah tangga adalah jumlah terbesar, yakni sebanyak 2.902 pelanggan dengan kapasitas terpasang mencapai 7,4 MW peak. Namun, dari sisi kapasitas terpasang, pelanggan sektor industri sebagai penyumbang terbesar yang mencapai 8,3 MW peak kendati itu datang dari 20 pelanggan. Adapun pelanggan bisnis menyumbang 4,3 MW peak dengan jumlah 245 pelanggan. Sisanya datang dari pelanggan sosial, pemerintah, dan layanan khusus.
Ada pendapat bahwa bisnis PLN bakal terganggu apabila PLTS atap banyak dimanfaatkan pelanggan. Disebutkan pula itu yang menjadi dasar aturan ekspor kelebihan daya listrik ke PLN dengan faktor pengali 65 persen. Padahal, menurut catatan IESR, apabila kapasitas PLTS atap bisa mencapai 20 GW pada 2025, pendapatan PLN hanya berkurang 2 persen.
Pendapatan PLN boleh berkurang 2 persen, tetapi ada dampak ganda lainnya apabila PLTS atap berkembang pesat. Selain mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan, dampak lainnya adalah munculnya sumber pekerjaan baru lantaran industri panel surya dalam negeri tumbuh. Toh, menurut IESR, PLN tidak akan bangkrut hanya gara-gara PLTS atap.