Hunian Tetap untuk Korban Bencana NTT Mulai Disiapkan
Pembangunan hunian tetap bagi korban bencana banjir dan longsor di Nusa Tenggara Timur dimulai. Kelayakan konstruksi rumah tahan gempa itu harus teruji untuk memastikan ketahanan bangunan dalam jangka panjang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana merelokasi rumah korban pascabencana banjir dan longsor di sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur. Hunian tetap bagi para korban tengah disiapkan melalui teknologi rumah instan sederhana sehat.
rumah instan sederhana sehat (risha) merupakan teknologi konstruksi ”knock down” dengan menggunakan bahan beton bertulang pada struktur utamanya yang dapat dibangun dengan waktu cepat.
Ketua Satgas Penanganan Bencana Kementerian PUPR di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat Widiarto mengemukakan, Kementerian PUPR telah menghitung perkiraan kebutuhan biaya program pembangunan rumah risha dalam rangka relokasi permukiman korban bencana NTT. Anggaran tahun jamak itu sebesar Rp 338 miliar, terdiri dari anggaran tahun 2021 sebesar Rp 236 miliar dan tahun anggaran 2022 sebesar Rp 102 miliar.
Kebutuhan anggaran tersebut direncanakan untuk pembangunan 1.000 risha, terdiri atas rumah risha di Lembata sebanyak 700 unit dan Adonara sebanyak 300 unit.
Di samping dua kawasan itu, pemerintah daerah juga mengusulkan empat lokasi tambahan untuk relokasi korban bencana, yakni di Kabupaten Kupang sekitar 14 rumah, Kota Kupang sekitar 530 rumah, Kabupaten Alor sekitar 599 rumah, dan Kabupaten Rote Ndao sebanyak 153 rumah.
”Kami juga akan melakukan pengujian geolistrik untuk memastikan ketersediaan sumber air bersih pada lahan yang akan dibangun hunian tetap bagi korban bencana,” ujar Widiarto secara tertulis, Minggu (2/5/2021).
Kementerian PUPR saat ini telah melakukan pematokan lahan seluas 4,3 hektar dari total 10 hektar lahan yang dihibahkan untuk pembangunan hunian tetap di Waisesa 1, Desa Tanjung Batu, Kabupaten Lembata. Di lokasi itu akan dibangun 154 hunian tetap.
Seperti diberitakan sebelumnya, bencana banjir bandang, tanah longsor, dan angin kencang melanda sejumlah daerah di NTT pada 4 April 2021. Bencana dipicu siklon tropis Seroja di perairan NTT. Dari data Posko Bencana NTT per 16 April 2021, tercatat rumah rusak berat 14.862 unit, rusak sedang 12.865 unit, rusak ringan 43.089 unit, dan fasilitas umum yang rusak 2.927 unit (Kompas, 18/4).
Secara terpisah, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengemukakan, Indonesia merupakan wilayah episentrum gempa. Oleh karena itu, konstruksi dan ketahanan rumah harus bisa dipastikan untuk jangka panjang dan sudah teruji. ”Meskipun rumah bantuan karena digunakan oleh masyarakat banyak, uji kelayakan struktur dan ketahanan rumah harus jelas,” katanya.
Ia menambahkan, pembangunan hunian tetap dengan konstruksi tahan gempa dan teknologi konstruksi yang dibangun dalam waktu cepat itu wajib tersertifikasi tahan gempa dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman. Selain itu, penggunaan material yang teruji dan memenuhi standar SNI agar dipastikan bangunan dapat tahan lama. Oleh karena itu, pengadaan rumah bantuan itu membutuhkan pengawasan dari instansi terkait, seperti Badan Pemeriksa Keuangan.
”Jangan sampai proyek kemanusiaan untuk membantu masyarakat terkena bencana justru menjadi sumber mencari keuntungan,” katanya.