Keterlibatan Perempuan Minim dalam Food Estate, Bibit Lokal Pun Terancam
Ibu menjaga pangan. Masyarakat Kalteng banyak berharap pada program Food Estate karena banyak aturan pemerintah yang merugikan mereka. Keterlibatan perempuan sangat diperlukan dalam program tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Bibit-bibit padi lokal Dayak di Kalimantan Tengah terancam hilang karena aturan dan program pemerintah. Hal itu dinilai karena keterlibatan perempuan atau kelompok ibu dalam pengambilan keputusan minim. Ibu menjadi kunci dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalimantan Tengah membuat kajian tentang ketahanan pangan di dua desa di Kabupaten Kapuas, Kalteng, yakni Desa Mantangai Hulu dan Desa Kalumpang di Kecamatan Mantangai. Kajian itu dilakukan sejak tahun 2020 hingga saat ini.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, di dua desa binaan organisasinya itu, tim pengkaji menemukan setidaknya delapan jenis padi lokal yang sudah hilang dari total 18 jenis padi lokal khas Mantangai. Mereka menyebutnya bibit padi Dayak dengan beragam istilah lokal.
Winda menjelaskan, delapan jenis padi yang hilang antara lain garagai, sentang, nampui, luwakantor, manyahi, kawong, hamontai, dan sinyam. ”Ada beberapa faktor penyebab hal ini terjadi, yang paling berat adalah kebijakan dan program pemerintah Food Estate,” ungkapnya, Sabtu (1/5/2021).
Tak bisa berladang
Dengan adanya larangan membakar lahan, kebiasaan masyarakat lokal berladang dengan cara membakar terhenti. Akibatnya, masyarakat dari dua desa itu tidak bisa lagi berladang. Hal itu sudah terjadi sejak 2015. Pemerintah beralasan kawasan ladang masyarakat di dua desa itu meruapakan kawasan rawan terbakar karena berjenis tanah gambut.
Ada beberapa faktor penyebab hal ini terjadi, yang paling berat adalah kebijakan dan program pemerintah Food Estate.
”Selain larangan, saat ini program Food Estate juga berpengaruh pada keterancaman padi lokal. Dalam Food Estate terdapat program penyeragaman bibit. Jadi, masyarakat tidak lagi menggunakan bibit padi lokal,” papar Winda.
Dengan larangan membakar dan program Food Estate, lanjut Winda, bibit lokal tak bisa dipakai. Bibit-bibit padi lokal hanya mampu bertahan satu tahun. Sebelum rusak, masyarakat di dua desa itu pun memilih untuk langsung menggilingnya dan mengonsumsinya. Akhirnya, delapan dari 18 jenis padi lokal pun sudah tak lagi ditemukan di dua desa ataupun di Kecamatan Mantangai.
Program Lumbung Pangan Nasional atau yang kerap dikenal Food Estate di Kalimantan Tengah pada tahap pertama ini sudah dilaksanakan di tiga wilayah, yakni Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Kabupaten Gunung Mas.
Tahap pertama total luas lahan untuk padi dilaksanakan di atas lahan seluas 30.160 hektar, rinciannya seluas 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau lalu 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas. Sementara di Gunung Mas merupakan komoditas singkong dengan target awal 2.000 hektar.
Dalam catatan Kompas, Kecamatan Mantangai di Kabupaten Kapuas juga termasuk dalam program Food Estate. Setidaknya terdapat 345 hektar lahan yang diintervensi pemerintah untuk meningkatkan produktivitas padi.
Menurut Winda, ancaman terhadap padi lokal ini berdampak pada ketahanan pangan keluarga. Pasalnya, bibit yang diberikan pemerintah dalam penyeragaman bibit merupakan bibit yang digunakan di Pulau Jawa.
”Di Mantangai, orang Dayak tidak terbiasa dengan beras itu. Hasilnya pun banyak kegagalan panen atau panen yang anjlok. Akhirnya warga memilih untuk membeli beras, bahkan hingga ke Kalimantan Selatan,” ucap Winda.
Padi lokal
Hilangnya bibit lokal, lanjut Winda, terjadi karena minimnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Banyak kebijakan pemerintah tidak melibatkan peran ibu, apalagi dalam program Food Estate.
”Bicara ketahanan pangan itu tidak terlepas dari peran ibu karena ibu yang mengontrol dan mengatur ketahanan pangan keluarga. Sayangnya, mereka tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan nasib mereka, itu ironi,” tutur Winda.
Lembaga Studi Dayak-21 pun pernah melakukan penelitian terkait peran ibu Dayak dalam menjaga pangan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Ibu-ibu Dayak memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap setidaknya 108 jenis padi dan 30 jenis ketan yang mereka tanam atau kelola di lahan rawa juga ladang di pinggir sungai. Mereka pun menikmati 119 jenis buah budidaya ataupun nonbudidaya.
Keluarga Dayak, berkat peran ibu, juga mengonsumsi 172 jenis sayuran dan meramu ratusan jenis biji-bijian dan bumbu. Semuanya bisa diperoleh di sekitar rumah, kebun, dan hutan di dekat kampungnya. Para ibu mengelolanya dengan menanam sendiri ataupun yang tumbuh liar begitu saja di hutan.
Seperti Muliana (47), warga Desa Rangan Surai, Kecamatan Marikit, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Dalam perjalanan pulang dari ladangnya, ia sempat mengambil beberapa jenis sayuran, seperti kelakai (jenis pakis), dan singkui, daun khas Dayak yang mengandung Monosodium glutamat (MSG) pengganti micin.
Ia memanggul lanjung atau tas panggul berbahan rotan. Ia bahkan masih sempat mengambil beberapa rotan muda untuk sayur dan rotan tua untuk dianyam. ”Untuk makan malam nanti karena di rumah ada tamu,” ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti menjelaskan, pihaknya percaya dan optimistis bibit yang digunakan merupakan bibit unggul lantaran sudah melalui berbagai macam proses dan seleksi.
”Petani yang menanam benih hibrida adalah swadaya (inisiatif) mereka sendiri," ujarnya.