11 Kebijakan Selama Pandemi Covid-19 Dinilai Gagal Lindungi Hak Buruh
Massa menyoroti sebelas produk kebijakan pemerintah selama masa pandemi Covid-19 yang dinilai gagal melindungi pekerja dan buruh. AJI Kota Semarang juga menyuarakan perlindungan terhadap pekerja media.
Oleh
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sekitar 500 orang dari kalangan mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah, berunjuk rasa memeringati Hari Buruh Internasional atau May Day, Sabtu (1/5/2021). Mereka menyoroti 11 kebijakan pemerintah yang ditetapkan selama satu tahun pandemi Covid-19 dan dinilai gagal melindungi hak-hak buruh.
Elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) Jawa Tengah menggelar aksi di dua titik, yakni di jalan depan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo dan di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Aksi dimulai sekitar pukul 09.00. Pengunjuk rasa terdiri dari elemen mahasiswa, buruh tani, nelayan, buruh, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.
Koordinator aksi, Dwi Prasetyo, mengatakan, beberapa kebijakan yang dinilai gagal melindungi buruh di antaranya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.
”Kebijakan ini memberi kelonggaran bagi pengusaha dalam menentukan besaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Padahal, sejatinya ada ketimpangan posisi tawar antara pengusaha dan pekerja atau buruh, yang juga berpotensi terjadi pemotongan upah,” tuturnya.
Selain itu, mereka juga menyoroti Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan ini dinilai menggunakan dalih penyelamatan ekonomi untuk meniadakan kenaikan upah minimum provinsi tahun 2021.
Melegitimisi kesenjangan
”Kebijakan ini melegitimasi kesenjangan upah minimum antara kabupaten/kota pada suatu provinsi yang seharusnya bisa diperkecil dengan kenaikan upah minimum provinsi,” ujarnya. Dwi membandingkan UMK Kabupaten Karawang di Jawa Barat yang sudah mencapai Rp 4.798.312 dengan UMK Kabupaten Banjarnegara di Jawa Tengah yang hanya Rp 1.831.884.
Kebijakan ini memberi kelonggaran bagi pengusaha dalam menentukan besaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Demonstran juga kembali menyoroti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang proses penyusunannya cacat prosedur serta tidak sesuai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja juga dinilai memberangus hak-hak buruh dan menghancurkan ruang hidup rakyat.
Selain tiga aturan tersebut, sejumlah kebijakan lain yang dinilai tak berpihak kepada buruh di antaranya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Selanjutnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Atas sederet peraturan bermasalah tersebut, Geram mendesak pemerintah mencabut Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, menolak pemutusan hubungan kerja, memberikan jaminan atas bekerja, dan menolak sistem alih daya.
Pemerintah juga didesak memenuhi hak-hak buruh dan menjamin kesejahteraan serta keselamatan buruh. ”Kami juga mendesak pemerintah segera merevisi UU ITE dan UU antidemokrasi lainnya yang tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara demokrasi,” kata Dwi menegaskan.
Pekerja media
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang bersama Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jateng secara khusus menyoroti kesejahteraan pekerja media yang masih jauh dari harapan di Hari Buruh Internasional 2021 ini. Berbagai pelanggaran ketenagakerjaan oleh perusahaan media juga masih ditemui.
”Kondisi pekerja media di Kota Semarang sangat menyedihkan. Masih banyak perusahaan media menggaji pekerjanya jauh di bawah UMK, yakni Rp 2,8 juta. Bahkan, ada media menggaji wartawannya Rp 1 juta, Rp 1,2 juta, Rp 1,5 juta, hingga Rp 2 juta,” kata Koordinator Devisi Ketenagakerjaan AJI Kota Semarang, Abdul Mughis.
Pemberian upah layak, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, hak cuti, uang lembur, dan tunjangan hari raya (THR) adalah beberapa hak paling mendasar yang wajib diberikan perusahaan kepada karyawannya. Namun, faktanya, hampir semua hak tersebut tidak dijalankan oleh rata-rata perusahaan media. ”Bahkan, perusahaan media yang beroperasi di Kota Semarang dan Jawa Tengah yang menggaji jurnalisnya secara layak masih bisa dihitung jari,” ujarnya.
AJI Semarang mendesak perusahaan media memenuhi hak BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan kepada jurnalis atau pekerja media. Pekerja media meliputi semua pekerja yang terlibat dalam proses produksi produk media, mulai dari jurnalis, redaktur, tata letak, desain grafis, administrasi, pekerja kebersihan, hingga keamanan.
”Fenomena PHK tanpa pesangon dalam beberapa tahun terakhir di Kota Semarang juga sangat memilukan. Terdapat puluhan bahkan ratusan pekerja media menjadi korban ketidakadilan,” kata Mughis yang juga ketua SPLM Jateng.
Ketua AJI Kota Semarang Aris Mulyawan menambahkan, di tengah disrupsi media massa, sejumlah perusahaan media gulung tikar dan membuat nasib karyawannya terkatung-katung tanpa kejelasan pesangon. Ironisnya, dari berbagai pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan sejumlah perusahaan media tersebut, tidak ada penindakan oleh dinas tenaga kerja setempat.
Aris juga mendesak semua perusahaan media di Kota Semarang wajib menaati aturan UU Ketenagakerjaan demi terwujudnya keadilan. ”Termasuk pemberian THR. Perusahaan media wajib memberikan THR penuh, sesuai aturan UU. Tidak boleh dicicil,” ucapnya menegaskan.