Turun ke Sawah, Presiden Pastikan Produksi Gabah untuk Keputusan Impor atau Swasembada
Presiden Jokowi meninjau panen raya di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pantauan lapangan ini menjadi salah satu langkah Presiden mengecek produksi beras secara nasional untuk saatnya diputuskan impor atau swasembada.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meninjau panen raya di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (29/4/2021). Pantauan lapangan ini menjadi salah satu langkah Presiden untuk mengecek produksi beras secara nasional sehingga pada saatnya bisa memutuskan dengan solid apakah swasembada atau impor beras pada tahun ini.
”Saya bersama dengan Ketua DPR, para menteri, gubernur, dan bupati untuk memastikan bahwa produksi padi yang ada, panen yang ada, betul-betul bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kalau itu betul-betul ada barangnya, ada padinya yang dipanen, kemudian nanti muncul produksi menjadi beras, kepastian mengenai jumlah itu betul-betul bisa dihitung,” kata Presiden dalam keterangan pers di sela-sela peninjauan.
Jika perhitungan produksi bisa benar-benar dipastikan mencukupi atau lebih besar ketimbang kebutuhan nasional, menurut Presiden, pemerintah tidak akan mengimpor beras. ”Tapi, hitung-hitungannya memang harus pasti karena ini menyangkut masalah perut, masalah makan rakyat,” kata Presiden.
Mendampingi Presiden dalam kesempatan itu, antara lain, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan Bupati Malang M Sanusi. Dalam peninjauan tersebut, Presiden dilaporkan juga berbincang-bicang dengan petani.
Sejak awal Maret 2021, polemik impor beras menghangat. Hal ini dipicu pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3/2021), yang menyebutkan rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras pada tahun ini. Sontak masyarakat pertanian Indonesia bereaksi kontra karena proyeksi tahun ini mengarah pada surplus beras domestik.
”Saya bersama dengan Ketua DPR, para menteri, gubernur, dan bupati untuk memastikan bahwa produksi padi yang ada, panen yang ada, betul-betul bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kalau itu betul-betul ada barangnya, ada padinya yang dipanen, kemudian nanti muncul produksi menjadi beras, kepastian mengenai jumlah itu betul-betul bisa dihitung.”
Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santoso optimistis bahwa neraca beras dalam negeri tahun ini surplus. Hal ini didasarkan atas data areal sawah di awal tahun 2021 serta proyeksi areal sawah pada sisa bulan berikutnya yang didukung prakiraan cuaca.
Berdasarkan luas areal sawah pada awal 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras Januari-April 14,54 juta ton. Luas areal meningkat 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020 yang sebanyak 11,46 juta ton.
Sementara luas areal sawah pada musim kemarau di pertengahan tahun ini, menurut Dwi, lebih luas ketimbang tahun lalu. Hal ini disebabkan masih turunnya hujan akibat La Nina. Selanjutnya, panen raya akan terjadi lagi sebelum akhir tahun yang produksinya diperkirakan juga akan lebih besar ketimbang periode yang sama pada tahun lalu.
Dengan demikian, Indonesia berpotensi mencatatkan surplus beras lagi pada tahun ini. Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) yang berjejaring di 90 kabupaten dan kota di 19 provinsi di Indonesia memperkirakan produksi beras nasional tahun ini meningkat 5 persen ketimbang tahun lalu.
”Luas tanam untuk musim kering meningkat, berarti produksi meningkat. Nanti akan tertolong La Lina sekalipun lemah. Artinya, cukup air. Dan, bukti empiris selama 20 tahun terakhir, setiap ada La Nina, produksi beras naik karena curah hujan bertambah. Hanya memang yang harus diwaspadai, sepanjang La Nina, organisme pengganggu tanaman, bisa penyakit bisa hama, trennya juga meningkat. Ini yang perlu diwaspadai,” kata Dwi.
Terkait kesejahteraan petani, Dwi menjelaskan, harga gabah kering panen (GKP) konsisten rendah sejak Januari. Saat ini, rata-rata harga GKP adalah Rp 3.400 hingga Rp 3.800 per kg. Padahal, biaya produksinya, merujuk survei AB2TI di Jawa Timur, rata-rata Rp 4.523 per kg. Akibatnya, petani rugi Rp 2,7 juta per hektar.
”Jadi, kalau Presiden ingin membantu saudara-saudara petani sekaligus mengamankan cadangan beras pemerintah, dorong Bulog untuk menyerap gabah petani dalam negeri. Bukan malah impor beras,” kata Dwi.
Dengan tren serapan Bulog yang berlangsung saat ini, Dwi memperkirakan stok cadangan beras pemerintah pada akhir Mei akan mencapai 1,5 juta ton. Ini adalah stok yang terhitung aman.
Namun, mengingat harga gabah di tingkat petani masih rendah, Dwi menyarankan agar Presiden menginstruksikan Bulog untuk menambah serapan beras dari target 1,4 juta ton menjadi 2,5 juta ton. Hal ini sekaligus untuk memperkuat cadangan beras pemerintah.
”Kalau ini bisa dilakukan, Presiden minimal mengamankan dua hal sekaligus. Cadangan beras pemerintah aman. Petani juga aman. Dengan ini, pemerintah bisa dengan yakin menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu impor beras untuk tahun 2021,” kata Dwi.