Kesejahteraan Petani dan Perubahan Iklim Bayangi Kejayaan Rempah Indonesia
Kesejahteraan petani hingga perubahan iklim mengancam pertanian dan perdagangan rempah yang masih potensial.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rempah asal Indonesia yang pernah menjadi komoditas primadona yang diperdagangkan secara global di masa lampau, saat ini dibayangi berbagai masalah. Kesejahteraan petani hingga perubahan iklim mengancam pertanian dan perdagangan rempah yang saat ini masih potensial.
Situasi ini ditemui Sustainable Spices Initiative (SSI) Indonesia, satu lembaga yang mewadahi pemangku kepentingan di sektor pertanian dan perdagangan rempah-rempah. Tanaman yang tergolong rempah-rempah, antara lain, cabai, lada, jahe, dan kayu manis. Tidak ketinggalan cengkeh dan pala, yang dipercaya sebagai tanaman asli Nusantara, khususnya Kepulauan Maluku.
Lembaga afiliasi SSI global ini pun hadir menginisiasi berbagai riset dan pemberdayaan sosial serta ekonomi untuk mendukung pertanian dan perdagangan rempah-rempah berkelanjutan.
Ketua SSI Indonesia Dippos Naloanro Simanjuntak, dalam acara peluncuran SSI Indonesia yang diadakan secara daring, Kamis (29/4/2021), memaparkan, permasalahan pada produktivitas rempah di dalam negeri di antaranya adalah kurangnya fasilitas dan alat untuk bertani yang lebih baik, adanya hama dan penyakit, dampak akibat perubahan iklim, serta pengetahuan petani yang minim tentang praktik budidaya rempah yang baik.
Ketua SSI Indonesia Dippos Naloanro Simanjuntak, dalam acara peluncuran SSI Indonesia yang diadakan secara daring, Kamis (29/4/2021), memaparkan, permasalahan pada produktivitas rempah di dalam negeri di antaranya kurangnya fasilitas dan alat untuk bertani yang lebih baik, adanya hama dan penyakit, dampak akibat perubahan iklim, serta pengetahuan petani yang minim tentang praktik budidaya rempah yang baik.
”Kemudian, tuntutan pasar global untuk rempah-rempah yang berkelanjutan, hingga berkurangnya jumlah petani karena profesi ini belum bisa menunjang kesejahteraan yang lebih baik,” tuturnya.
Fitrian Ardiansyah, Ketua Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, yang hadir pada kesempatan sama, menambahkan, tantangan yang dihadapi para petani rempah sama seperti yang dihadapi petani perkebunan lainnya, seperti kopi dan cokelat. Selain itu, produktivitas dari segi sumber daya alam dan manusia, akses modal, serta pasar yang terbatas juga membuat rempah produksi petani berdaya saing rendah.
”Beberapa hal harus diperkuat, misalnya kelembagaan petani untuk membuat bisnis model sendiri. Kalau tidak ada kelembagaan, sulit untuk mendorong produktivitas berskala besar, petani juga akan sulit mendapat akses permodalan dari perbankan dan akses pasar yang strategis,” kata Fitrian.
Oleh karena itu, ia mendukung fasilitator kerja sama antarpemangku kepentingan seperti SSI, yang fokus pada lima isu prioritas. Kelima fokus itu adalah peningkatan pendapatan petani, peningkatan praktik agrikultur yang baik, serta penciptaan model perdagangan yang adil dan menguntungkan petani. Kemudian, implementasi kebijakan pertanian berkelanjutan dengan dukungan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya serta peningkatan layanan laboratorium.
Sejauh ini, SSI Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman tentang ”Pengembangan Komoditas Rempah dan Tanaman Obat Secara Berkelanjutan dalam Mendukung Ekspor” dengan Kementerian Pertanian RI, yang telah dilakukan pada 23 Maret 2021.
”Saya berharap implementasi kerja sama yang mengacu pada nota kesepahaman ini dapat meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan akses pasar, meningkatkan volume serta nilai ekspor komoditas rempah dan tanaman obat di Indonesia di pasar internasional,” kata Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Data Kementerian Perdagangan Indonesia menunjukkan, rempah-rempah masih masuk dalam sepuluh komoditas potensial. Pada 2015, Indonesia menduduki peringkat ke-4 eksportir rempah dunia dengan pangsa pasar 8,8 persen, di bawah India, Vietnam, dan China. Secara keseluruhan, lada (62,8 persen), kayu manis (12,4 persen), dan pala (11,9 persen) berkontribusi utama pada ekspor rempah.
Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor rempah-rempah pada 2015 mencapai 516 juta dollar AS dengan volume 376.520,9 ton. Adapun pada 2019, nilai ekspor rempah-rempah 592 juta dollar AS dengan volume 318.140,3 ton.
Pada kesempatan sama, Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Brussels Merry Indriasari mengatakan, perdagangan rempah berkelanjutan penting untuk meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan negara-negara anggota Uni Eropa. Seperti diketahui, Belanda dan Jerman masuk dalam 10 teratas negara tujuan ekspor rempah-rempah dari Indonesia.
”Negara-negara Uni Eropa (UE) punya obyektif yang sama mengenai keberlanjutan. Sekitar 1,5 tahun lalu Presiden UE meluncurkan strategi untuk mencapai penurunan emisi karbon 0 persen yang diaplikasikan setiap negara anggota dan pihak eksternal. Ini juga memastikan bahwa setiap produk yang dipasarkan di UE harus berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan sosial,” tuturnya.
Di sektor pertanian dan pangan, strategi penurunan emisi karbon dan dampak perubahan iklim dikejar dengan mendorong pertanian yang, antara lain, memperhatikan ketahanan pangan, mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, menggunakan pupuk organik, dan memastikan petani sejahtera secara ekonomi dan terlindungi hak asasinya.
”Untuk itu, perlu ada kerja sama dari berbagai pihak agar perubahan iklim tidak signifikan dan kita dapat memastikan produktivitas dan ketahanan pangan, terlebih pascapandemi Covid-19. Kita juga harus melibatkan petani untuk bisa memanfaatkan digitalisasi untuk berpromosi dan menjamin transparansi,” ujarnya.