Kemenhub Minta Masyarakat Bijak Bermobilitas demi Cegah Covid-19
Mobilitas warga sebelum hingga setelah larangan mudik sangat memengaruhi tingkat penularan Covid-19. Berkaca dari kejadian sebelumnya, pergerakan warga menambah jumlah kasus dan angka kematian akibat virus tersebut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan mobilitas di masa pandemi Covid-19 diperlukan untuk menekan penyebaran virus korona baru yang menular antarmanusia. Kesadaran masyarakat untuk bijak dalam bermobilitas sebelum, selama, dan setelah larangan mudik dibutuhkan demi mencegah penyebaran Covid-19. Semua pihak mesti belajar dari pengalaman lonjakan kasus Covid-19 pada beberapa libur panjang 2020-2021.
Data Bersatu Lawan Covid-19, 4 April 2021, yang diolah Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa pelaksanaan libur panjang menaikkan kasus Covid-19. Jeda antara libur panjang dan kenaikan kasus sekitar 10-14 hari dengan dampak yang terasa minimal tiga pekan.
Selepas libur Idul Fitri 22-25 Mei 2020 terjadi kenaikan kasus besar-besaran pada 26-28 Juni 2020, yakni kenaikan kasus harian 68-93 persen dan kenaikan kasus kematian mingguan 28-66 persen. Selepas libur Kemerdekaan RI pada 17 dan 22-23 Agustus 2020 terjadi kenaikan kasus pada pekan 1 hingga 3 September 2020, yakni 58-119 persen (kenaikan kasus harian) dan 10-57 persen (kenaikan kematian mingguan).
Selepas libur Maulid Nabi 28 Oktober-1 November 2020 terjadi kenaikan kasus pada 18 November 2020, yakni 37-95 persen (kenaikan kasus harian) dan 13-75 persen (kenaikan kematian mingguan). Berikutnya, terkait libur Natal dan Tahun Baru 24 Desember 2020-3 Januari 2021 terjadi kenaikan kasus pada pekan kedua Desember 2020 hingga akhir Januari 2021, yaitu 37-78 persen (kenaikan kasus harian) dan 6-46 persen (kenaikan kematian mingguan).
Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kehumasan Adita Irawati, Kamis (29/4/2021), menyampaikan, mobilitas masyarakat yang tinggi tersebut selalu berdampak pada terjadinya kasus Covid-19 secara besar-besaran. ”Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah pun kemudian melarang mudik Lebaran 2021,” katanya.
Adita menambahkan, belajar dari pengalaman, mudik untuk bertemu dengan orangtua atau kerabat—terutama yang berusia lanjut—di masa pandemi Covid-19 pun berpotensi membahayakan orang yang dikunjungi. Dia mengutip contoh kasus yang disampaikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahwa saat libur panjang beberapa waktu lalu ada orang Jakarta mudik untuk bertemu ibunya di Tasikmalaya.
”Sampai di sana ternyata dia (pemudik) OTG (orang tanpa gejala) yang menularkan dan kemudian ibunya, mohon maaf, meninggal dunia karena terpapar Covid-19. Di mana pun berada, mau di aglomerasi maupun antarkota, mudik tetap punya potensi membahayakan orang-orang yang kita kunjungi di daerah atau kampung halaman,” kata Adita.
Di mana pun berada, mau di aglomerasi maupun antarkota, mudik tetap punya potensi membahayakan orang-orang yang kita kunjungi di daerah atau kampung halaman.
Oleh karena itu, lanjut Adita, mudik lokal (istilah yang lazim dipakai untuk menyebut kegiatan mudik dalam kawasan aglomerasi) pun tetap tidak disarankan meskipun perjalanan di dalam aglomerasi atau perkotaan diperbolehkan di masa larangan mudik. Perjalanan di dalam aglomerasi terutama untuk memfasilitasi mereka yang tetap harus beraktivitas, semisal mencari nafkah, pada 6-17 Mei 2021. ”Namun, untuk mudik, kami minta dan harapkan tidak dilakukan oleh masyarakat demi menghindari dampak-dampak yang tidak diinginkan,” katanya.
Seperti diketahui, Kemenhub mendukung kebijakan pelarangan mudik pada 6-17 Mei 2021 dengan mengendalikan transportasi selama masa pelarangan mudik. Pengendalian transportasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 ini dilakukan dengan melarang penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi untuk keperluan mudik.
Transportasi masih dapat beroperasi untuk kepentingan di luar mudik, yakni melayani distribusi logistik dan angkutan barang. Selain itu, melayani pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, seperti bekerja atau perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, dan kunjungan duka anggota keluarga meninggal.
Berikutnya adalah transportasi untuk melayani ibu hamil dengan satu pendamping, kepentingan persalinan dengan maksimal dua pendamping, serta kepentingan nonmudik tertentu lainnya yang dilengkapi surat keterangan dari kepala desa atau lurah setempat. Transportasi juga masih bisa beroperasi untuk melayani aktivitas di kawasan aglomerasi/perkotaan.
Hal senada disampaikan Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kemenhub Polana P Pramesti. ”Intinya, virus (korona baru) itu ditularkan oleh manusia sehingga pergerakan (manusia) harus dibatasi supaya tidak terjadi penularan. BPTJ Kemenhub mengimbau agar masyarakat bijak dalam bermobilitas. Untuk sementara silaturahmi fisik, terutama waktu Lebaran, dibatasi dulu,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mengatakan, peningkatan kasus Covid-19 tidak semata-mata karena mobilitas antarzona. Peningkatan kasus juga dapat terjadi akibat transmisi lokal di dalam zona tujuan.
”Mobilitas antarzona berdampak pada pertumbuhan agen penyebar Covid-19. Transmisi lokal berdampak meningkatkan kasus penularan Covid-19,” katanya.