Kementerian Perhubungan menengarai, ada yang perlu dilakukan di negeri ini menimbang tren kenaikan tingkat fatalitas kecelakaan lalu lintas yang terjadi ketika pada kurun yang sama di negara lain angkanya justru turun.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
Perhatian terhadap aspek keselamatan bertransportasi selayaknya terus didengungkan. Apalagi, tingkat fatalitas kecelakaan lalu lintas di Indonesia terbilang tinggi. Dalam seminar daring ”Mewujudkan Angkutan yang Berkeselamatan”, medio April 2021, terungkap, dalam 1 jam ada 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Angka ini merujuk data Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Korps Lalu Lintas Kepolisian RI. Disebutkan, dari 109.244 kejadian kecelakaan pada 2019, terdapat 29.478 kecelakaan fatal yang mengakibatkan korban meninggal. Pada 2020, terdata ada 100.028 kecelakaan dengan jumlah korban meninggal sebanyak 23.529 orang.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menengarai ada hal yang perlu dilakukan di negeri ini menimbang tren kenaikan tingkat fatalitas kecelakaan lalu lintas yang terjadi ketika pada kurun yang sama di negara atau kawasan lain angkanya justru cenderung turun. Pada 2001, fatalitas kecelakaan di Indonesia di bawah 10.000 kasus, sedangkan di Eropa di atas 50.000 kasus dan di Amerika Serikat (AS) di atas 40.000 kasus.
Ada hal yang perlu dilakukan di negeri ini menimbang tren kenaikan tingkat fatalitas kecelakaan lalu lintas yang terjadi ketika pada kurun yang sama di negara atau kawasan lain angkanya justru cenderung turun.
Kemudian, pada 2018, fatalitas kecelakaan di Eropa turun menjadi 25.000 kasus dan di AS turun di bawah 40.000 kasus. Di Indonesia, pada 2018, fatalitas kecelakaan justru naik hingga hampir menyentuh 30.000 kasus. Satu nyawa itu berharga sehingga kenaikan tingkat fatalitas itu jelas sesuatu yang serius untuk diantisipasi.
IRSMS memerinci, sebanyak 72,4 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Disusul kemudian kecelakaan mobil 15 persen, truk 8 persen, bus 2 persen, sepeda 1 persen, dan yang lain 6,5 persen. Apabila digabung, kecelakaan truk dan bus adalah terbesar ketiga setelah sepeda motor dan mobil.
Pada 2019, sebanyak 72 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Berikutnya adalah truk 12 persen, mobil 11 persen, sepeda 2 persen, bus 1 persen, dan yang lain 1 persen. Kecelakaan truk dan bus berada pada urutan kedua setelah sepeda motor.
Tanpa menafikan kecelakaan di sarana transportasi lain, kecelakaan yang melibatkan truk dan bus patut diperhatikan menimbang potensi jumlah korban. Menimbang kapasitas angkut per unitnya, satu bus yang mengalami kecelakaan jumlah korbannya bisa banyak. Kecelakaan yang melibatkan truk pun perlu dicermati menimbang tren kenaikan kasusnya.
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub mendata, 61 persen penyebab kecelakaan lalu lintas adalah faktor manusia, yakni terkait kemampuan dan karakter pengemudi. Selanjutnya adalah faktor sarana dan lingkungan sebanyak 30 persen dan pemenuhan persyaratan teknis laik jalan 9 persen.
Faktor perilaku pengemudi penyebab kecelakaan dapat dirinci lagi. Mari kita lihat. Sebagian besar, yakni 31 persen, akibat tidak menguasai kendaraan semisal menyangkut pengereman. Berikutnya adalah tidak menjaga jarak aman 24 persen, ceroboh saat mau belok 20 persen, ceroboh mendahului kendaraan lain 15 persen, dan melebihi batas kecepatan 10 persen.
Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan, ada tiga faktor penyebab kecelakaan yang masing-masing tidak berdiri sendiri. Ketiga faktor itu adalah manusia, kendaraan, dan jalan. Ada beberapa jenis kecelakaan, seperti rem blong, tabrak depan belakang, hilang kendali, pecah ban, dan kendaraan terbakar.
KNKT juga mencatat, 90 persen kasus kecelakaan rem blong pada bus dan truk terjadi di jalan menurun, 80 persen disebabkan kampas yang mengalami kenaikan suhu di atas normal, dan 20 persen akibat malfungsi kendaraan.
Adapun faktor penyebab kecelakaan jenis tabrak depan belakang adalah kesenjangan kecepatan yang terlalu lebar antara kendaraan cepat dan lambat. Standar keselamatan terkait kesenjangan kecepatan maksimal 30 kilometer (km) per jam. Setiap peningkatan kesenjangan 10 km per jam akan meningkatkan risiko tabrak depan belakang.
Berbagai mitigasi telah ditawarkan, seperti mengurangi kecepatan kendaraan yang dapat diefektifkan dengan memasang kamera pengawas di jalan. Kendaraan yang berlebih muatan dan dimensi pun semestinya dilarang beroperasi, apalagi di jalan tol, karena tidak mungkin melaju di atas 40 km/jam sehingga membahayakan keselamatan gara-gara aspek kesenjangan kecepatan yang terlalu lebar dengan kendaraan lain. Dimensi dan bobot yang berlebih juga menyebabkan pengguna jalan lainnya berada dalam risiko.
Pada 2011, pemerintah membuat Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan 2011-2035. Rencana ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2013 tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan. Ada lima pilar aksi keselamatan jalan yang ditargetkan, yakni manajemen keselamatan jalan, jalan yang berkeselamatan, kendaraan yang berkeselamatan, perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan, serta penanganan pra dan pascakecelakaan.
Selamat sampai tujuan adalah harapan semua orang yang melakukan perjalanan. Harapan tersebut akan sirna ketika terjadi kecelakaan. Penyiapan segenap faktor, terlebih yang berada dalam kendali manusia, menjadi hal penting untuk meminimalkan potensi terjadinya kecelakaan.
Faktor penyebab kecelakaan telah diketahui. Regulasi atau aturan terkait upaya mencegah kecelakaan juga ada. Terbuka peluang untuk menyempurnakan regulasi-regulasi tersebut. Namun, hal penting yang jangan sampai dilupakan adalah komitmen dan konsistensi untuk menjalankan regulasi demi keselamatan warga dalam bertransportasi.