Partisipasi Masyarakat Tidak Mudik Dukung Penanganan Covid-19
Masyarakat berperan mencegah penularan Covid-19 dengan cara tidak mudik Lebaran tahun ini.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partisipasi masyarakat yang tidak memiliki keperluan mendesak untuk bepergian sebelum, selama, dan sesudah masa larangan mudik pada Lebaran 2021 diperlukan untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19. Semua pihak mesti mengambil pelajaran dari peningkatan mobilitas pada beberapa liburan panjang selama ini yang selalu diiringi peningkatan kasus Covid-19.
Satgas Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Idul Fitri dan Upaya Pengendalian Covid-19 Selama Bulan Ramadhan beserta adendumnya. Larangan mudik Lebaran berlaku pada 6-17 Mei 2021.
Pemerintah juga mengetatkan syarat pelaku perjalanan sebelum dan sesudah masa pelarangan mudik, yakni pada 22 April-5 Mei 2021 dan 18-24 Mei 2021, dengan mempersingkat masa berlaku tes Covid-19. Pelaku perjalanan udara, laut, dan kereta api wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif RT-PCR/tes cepat antigen maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan atau GeNose C19 di bandara, pelabuhan, dan stasiun sebelum keberangkatan.
”Saat ini tinggal sekitar 10 hari lagi menuju masa pelarangan mudik dan sekarang kami sudah mengetatkan syarat perjalanan sebelum masa pelarangan mudik itu diberlakukan,” kata Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati pada Dialog Publik Daring bertajuk ”Yuk Tidak Mudik”, Selasa (27/4/2021).
Saat ini tinggal sekitar 10 hari lagi menuju masa pelarangan mudik dan sekarang kami sudah melakukan pengetatan syarat perjalanan sebelum masa pelarangan mudik itu diberlakukan. (Adita Irawati)
Pada situasi normal, lanjut Adita, periode cuti bersama sekitar Lebaran dimanfaatkan masyarakat untuk bepergian mudik, berwisata, ataupun keperluan lain. Namun, saat ini situasi jauh berbeda. Dua Ramadhan terakhir, yakni pada 2020 dan 2021, berlangsung di tengah pandemi Covid-19 sehingga pemerintah melarang mudik.
Setahun pandemi Covid-19 memberikan banyak pelajaran bagi semua pihak. Pelajaran ini bisa menjadi bahan evaluasi untuk pembenahan di tataran kebijakan. ”Pembelajaran juga bagi masyarakat untuk terus berbenah dan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan,” kata Adita.
Adita mengatakan, pemerintah melihat langkah paling tepat saat ini adalah membatasi mobilitas orang. Apalagi ketika mobilitas akan dilakukan dalam jumlah masif, seperti di masa mudik. Pembatasan diperlukan untuk mengantisipasi risiko yang akan terjadi apabila mobilitas masyarakat dalam jumlah besar dibiarkan.
Secara terpisah, Kepala Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19 Sonny Harry B Harmadi mengatakan, adendum SE Nomor 13 Tahun 2021 dikeluarkan dengan mempertimbangkan pengalaman empat kali libur panjang pada 2020-2021 yang meningkatkan mobilitas. Kenaikan mobilitas diikuti penurunan kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang diikuti lonjakan kasus dan kematian.
Sonny mengatakan, kinerja penanganan Covid-19 sejak minggu ketiga Januari 2021 membaik. Pada periode itu, PPKM diterapkan, kasus aktif turun, angka kematian terkendali, dan tingkat kasus positif turun dari sekitar 27 persen menjadi 12 persen. ”Namun, kita belum sepenuhnya dapat mengendalikan Covid-19 karena kita menargetkan, sesuai rekomendasi WHO, positivity rate harus di bawah 5 persen,” kata Sonny pada dialog produktif bertajuk Mudik Ditiadakan, PPKM Dilanjutkan, Selasa.
Sonny menambahkan, pemerintah mengupayakan pembatasan mobilitas atau pergerakan masyarakat agar tidak terjadi penyebaran Covid-19 secara meluas. Pelarangan mudik pada 6-17 Mei 2021 didukung Kemenhub dengan mengendalikan transportasi selama masa pelarangan mudik yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021.
Pengendalian dilakukan dengan melarang penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi untuk keperluan mudik. Transportasi masih dapat beroperasi untuk kepentingan di luar mudik, yakni melayani distribusi logistik dan angkutan barang. Selain itu, melayani pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik seperti bekerja atau perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, dan kunjungan duka anggota keluarga meninggal.
Berikutnya adalah transportasi untuk melayani ibu hamil dengan satu pendamping, kepentingan persalinan dengan maksimal dua pendamping, serta kepentingan nonmudik tertentu lainnya yang dilengkapi surat keterangan dari kepala desa atau lurah setempat. Transportasi juga masih bisa beroperasi untuk melayani aktivitas di kawasan aglomerasi/perkotaan.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono mengatakan, peningkatan kasus Covid-19 tidak semata-mata karena mobilitas antarzona, tetapi juga akibat transmisi lokal di dalam zona tujuan. ”Program Kemenhub dan pihak terkait baru bicara bagaimana mengendalikan mobilitas antarzona. Tetapi hal yang lebih penting adalah mengendalikan transmisi lokal di dalam zona tujuan,” katanya.
Peningkatan kasus Covid-19 tidak semata-mata karena mobilitas antarzona, tetapi juga akibat transmisi lokal di dalam zona tujuan.
Agus menuturkan, mobilitas antarzona berdampak pada pertumbuhan agen penyebar Covid-19. Transmisi lokal berdampak meningkatkan kasus penularan Covid-19. Pengendalian transmisi lokal membutuhkan peran aktif pemerintah daerah dan semua perangkatnya hingga tingkat RW/RT.
Saat ini kapasitas sumber daya yang ada seperti SDM kesehatan, peralatan bantu atau pertolongan, daya tampung rumah sakit dan karantina, serta biaya perawatan pasien Covid-19 di daerah sangat terbatas. ”Terkait hal itu, MTI berpendapat bahwa solusi yang tepat bagi masyarakat saat ini adalah tidak mudik, tidak panik, dan tidak piknik,” katanya.