Larangan mudik membuat aliran uang ke desa yang terjadi pada periode Lebaran berkurang. Dana desa bisa menjadi penyelamat perekonomian di desa dan berkelanjutan di masa mendatang.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Mudik Lebaran di Indonesia adalah peristiwa luar biasa. Tanpa komando, jutaan orang bergerak dari kota besar ke desa-desa tempat kelahiran atau orangtua tinggal. Pergerakan orang sebanyak itu memicu perputaran uang triliunan rupiah dan berdampak luar biasa bagi perekonomian. Pada 2019, sebanyak 18 juta orang diperkirakan mudik menjelang Lebaran.
Selain menciptakan distribusi uang dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat, mudik juga meningkatkan konsumsi atau belanja masyarakat. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, kendati sementara. Pergerakan jutaan orang dalam waktu hampir bersamaan juga berdampak pada perbaikan infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara.
Bagaimana jika tak ada pergerakan pemudik di masa pandemi Covid-19? Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar memberikan solusi sederhana, yakni uang perantau ditransfer saja ke keluarga di kampung halaman.
Bagaimana jika tak ada pergerakan pemudik di masa pandemi Covid-19?
Adapun desa yang sudah menerima transferan dana desa dari pemerintah pusat diminta segera menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa. Menurut data per 21 April 2021, dari pagu dana desa 2021 yang sebesar Rp 72 triliun, sekitar 21 persen di antaranya atau Rp 14,77 triliun sudah dicairkan. Baru 40.523 desa atau 54 persen dari total jumlah desa di Indonesia yang menerima dana desa.
Lebih rinci, dari dana desa yang sudah dicairkan sejauh ini, sebanyak Rp 1,39 triliun disalurkan sebagai BLT dana desa dan Rp 3,03 triliun dibelanjakan untuk program desa aman Covid-19. Adapun belanja untuk program padat karya tunai desa (PKTD) mencapai Rp 284,45 miliar.
Ketika arus mudik menurun drastis dan distribusi uang ke daerah berkurang, dana desa bisa menjadi bantalan di masa sulit akibat pandemi Covid-19. Selain menolong warga miskin dengan penyaluran BLT dana desa, program PKTD juga bisa jadi sumber pendapatan baru bagi warga desa. Program ini juga menyerap jutaan tenaga kerja.
Ketika arus mudik menurun drastis dan distribusi uang ke daerah berkurang, dana desa bisa menjadi bantalan di masa sulit akibat pandemi Covid-19.
Pada 2020, dari pagu dana desa Rp 71,1 triliun, sebanyak Rp 16,57 triliun di antaranya untuk program PKTD. Sebanyak 3,36 juta orang terlibat dalam program ini, yakni anggota keluarga miskin, penganggur, setengah penganggur, dan kelompok marjinal lain. BLT dana desa dan PKTD pada 2020 menahan kenaikan kemiskinan akibat pandemi Covid-19. Mengutip data Badan Pusat Statistik, kemiskinan di perkotaan tumbuh 0,5 persen atau 880.000 jiwa pada Maret-September 2020, sedangkan kemiskinan di perdesaan naik 0,38 persen atau setara 250.000 jiwa.
BLT dana desa hanya sementara. Apabila desa hendak membuat perputaran uang lebih permanen, salah satu caranya melalui pengelolaan badan usaha milik sesa (BUMDes). Sudah bermunculan BUMDes, yang modalnya juga bisa dari dana desa, yang berhasil menjadi lini usaha desa yang andal dengan omzet lebih dari Rp 1 miliar per tahun.
Desa, bagi sebagian atau banyak orang, masih jadi tujuan untuk hidup lebih baik. Belanja dana desa yang secara akumulasi pada 2015-2020 sebesar Rp 323,32 triliun, harus membuktikan bisa membuat desa terbebas dari kemiskinan. Bahkan, desa menjadi sehat dan sejahtera, seperti yang menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan.