IHSG Tumbang, Investor Asing Tertarik Pelonggaran Kebijakan AS
Pada penutupan perdagangan Senin (26/4/2021), IHSG ditutup anjlok 52,04 poin atau 0,86 persen ke level 5.964,82. Investor asing mencatatkan penjualan bersih Rp 226,57 miliar di seluruh pasar.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sentimen eksternal, di antaranya kebijakan moneter Amerika Serikat, akan menjadi penggerak Indeks Harga Saham Gabungan di sepanjang pekan ini. Di awal pekan ini, investor asing telah berbondong keluar dari pasar modal dalam negeri sebagai respons atas dinamika kebijakan moneter global.
Pada penutupan perdagangan Senin (26/4/2021), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 52,04 poin atau 0,86 persen ke level 5.964,82. Investor asing mencatatkan penjualan bersih Rp 226,57 miliar di seluruh pasar.
Head of Research Henan Putihrai Robertus Hardy memperkirakan, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), masih akan membuat kebijakan yang relatif lunak untuk mendorong perekonomian AS. Stimulus tersebut akan membuat investor global memilih menarik dana investasi mereka dari negara berkembang ke negara maju yang menjanjikan likuiditas.
”Stimulus yang ada akan membuat AS kebanjiran likuiditas yang juga akan mengaliri pasar modal mereka. Hal ini juga membuat investor global atau asing melarikan investasinya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk kembali ke AS,” kata Robertus saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Bank sentral AS, The Fed, masih akan membuat kebijakan yang relatif lunak untuk mendorong perekonomian AS. Stimulus tersebut akan membuat investor global memilih menarik dana investasi mereka dari negara berkembang ke negara maju yang menjanjikan likuiditas.
Sepanjang perdagangan hari ini, penjualan bersih asing didominasi oleh saham-saham big cap atau emiten yang memiliki kapitalisasi pasar lebih dari Rp 100 triliun. Beberapa di antaranya adalah saham-saham emiten badan usaha milik negara (BUMN), seperti saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang dijual senilai total Rp 234,3 miliar, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Rp 155,6 miliar, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) Rp 100,3 miliar, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) Rp 100,1 miliar.
The Fed bakal kembali menggelar pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) pada 27-28 April 2021. Banyak pelaku pasar memprediksi The Fed akan menerapkan kebijakan suku bunga acuan 0,25 persen dan mengambil kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE)) untuk membeli aset senilai 120 miliar dollar AS per bulan.
Menurut Robertus, pelaku pasar sudah optimistis The Fed tidak akan memperketat kebijakan moneter karena indikator ketenagakerjaan di AS belum bertumbuh. Selain itu, dari dalam negeri sendiri, persepsi pelaku pasar, terutama investor asing, masih terganggu data pertumbuhan ekonomi dan kinerja keuangan emiten triwulan I-2021 yang belum melonjak.
”Saat ini, (di) pasar saham Indonesia tengah terjadi risiko sistemik di mana semua emiten terkena dampaknya sehingga tidak ada yang bisa disebut sebagai saham defensif,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, analis Binaartha Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama, menyebut pelemahan IHSG juga terjadi akibat minimnya data ekonomi makro global dan domestik yang mampu mendongkrak kinerja indeks. Selain itu, kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia ataupun secara global yang masih terus terjadi menjadi penekan indeks yang memunculkan ketidakpastian di mata para investor.
”Minimnya data ekonomi makro global ataupun domestik yang meningkatkan daya tarik investor masih akan membuat IHSG tertekan dalam beberapa waktu,” ujarnya.
Minimnya data ekonomi makro global ataupun domestik yang meningkatkan daya tarik investor masih akan membuat IHSG tertekan dalam beberapa waktu.
Rupiah menguat
Kurs nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) melonjak 59 poin atau 0,41 persen dari posisi Jumat Rp 14.548 per dollar AS menjadi Rp 14.489 per dollar AS pada awal pekan ini.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, penguatan nilai tukar rupiah didorong oleh dampak pelemahan indeks dollar AS pada perdagangan minggu sebelumnya. Pelemahan tersebut terjadi menyusul komentar dari Bank Sentral Eropa yang kemungkinan besar masih akan tetap melakukan pembelian obligasi.
”Perbaikan data ekonomi di Eropa ataupun Inggris yang diketahui menjadi salah satu pemicu melemahnya mata uang dollar AS,” ujarnya.
Di samping itu, lanjut Ibrahim, investor dan para pelaku pasar keuangan masih meyakini The Fed akan tetap melanjutkan kebijakan pelonggaran moneter sehingga akan mendorong penguatan aset-aset berisiko, termasuk rupiah hari ini. Sementara dari dalam negeri tidak ada sentimen khusus yang memengaruhi pergerakan rupiah.
”Vaksinasi yang masih terbatas membuat ekonomi Indonesia diperkirakan masih terjebak di zona resesi pada triwulan I-2021. Namun, pada triwulan II-2021, ekonomi Indonesia diperkirakan sudah bisa tumbuh positif,” katanya.
Ibrahim menambahkan, meski berada dalam tren penguatan, permintaan valuta asing untuk pembayaran dividen dan impor sejumlah perusahaan multinasional pada akhir bulan ini akan berpotensi membatasi penguatan nilai tukar rupiah secara signifikan dalam beberapa waktu ke depan.