Ekonomi kreatif dinilai memiliki daya lenting yang tinggi. Sektor yang menyerap jutaan tenaga kerja ini pun dipakai sebagai kendaraan pemulihan ekonomi global.
Oleh
Budi Suwarna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi kreatif dinilai memiliki daya lenting yang tinggi. Oleh karena itu, sektor ekonomi yang menyerap jutaan tenaga kerja ini pun diharapkan bisa dipakai sebagai kendaraan untuk pemulihan ekonomi global.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah mengesahkan Resolusi yang menetapkan tahun 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif pada Sidang Majelis Umum PPB, November 2019 di New York. Resolusi ini diprakarsai Indonesia dan didukung oleh 81 negara.
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) pada Januari 2021 menegaskan pentingnya ekonomi kreatif (ekraf), terutama dalam pemulihan ekonomi global yang setahun terakhir babak belur dihajar pandemi Covid-19.
”Kita membutuhkan pemikiran kreatif, inovasi, dan pemecahan masalah untuk mengatasi tantangan ketimpangan dan kerentanan yang kita hadapi sehari-hari. Industri kreatif, ekraf, bisa membantu itu,” ujar Marisa Henderson, Kepala Program Ekonomi Kreatif UNCTAD, dikutip dari situs UNCTAD pada 13 Januari 2021.
Tidak berlebihan jika PBB menjadikan ekraf sebagai kendaraan bagi negara-negara yang dilanda pandemi untuk keluar dari krisis ekonomi. Secara historis, ekraf sendiri lahir dari krisis ekonomi pada periode 1990-1991 yang dialami Australia dan Inggris. Pengembangan sektor ekraf tidak hanya menyelamatkan Australia dan Inggris dari jurang resesi, tetapi juga memperkuat perekonomian mereka hingga saat ini.
Belajar dari situ, banyak negara di dunia secara serius mengembangkan ekraf. Sebelum pandemi, UNESCO menyebutkan, ekraf secara global menghasilkan sekitar 2.250 miliar dollar AS atau setara 3 persen dari PDB dunia dan menyerap sekitar 30 juta pekerja.
Di Indonesia, sektor ekraf yang dikembangkan sejak 15 tahun lalu berkontribusi pada PDB sebesar Rp 1.211 triliun pada 2019 dan menyerap 19 juta lebih pekerja. Pertumbuhan ekraf sebesar 5,1 persen pada 2019 atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,02 persen.
Nilai tambah ekonomi sektor ekraf awalnya diproyeksikan terus tumbuh pada tahun-tahun berikutnya. Alih-alih tumbuh, sektor ekraf, seperti sektor-sektor lainnya, terpuruk oleh hantaman pandemi. Hasil riset Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2020 menyebutkan, 98 persen pelaku industri kreatif terimbas pandemi.
Kabar baik
Meski begitu, di lapangan kita tidak melulu mendapat kabar buruk. Ada juga kabar baik tentang pelaku ekraf yang mampu bertahan, bahkan mencetak sukses di tengah pandemi. Di Jakarta dan Yogyakarta, para pengamen yang tidak bisa mengamen secara fisik selama pandemi bersiasat dengan memanfaatkan ruang virtual.
Mereka ngamen dari rumah dan menerima pembayaran sawer secara nontunai melalui Gopay dan sekarang kode QRIS. Dengan cara itu, mereka tidak hanya bisa mempertahankan penghasilan, tapi juga bisa bergabung dalam ekosistem pembayaran digital yang makin diterima dan menjadi bagian penopang gaya hidup masyarakat sekarang.
Di Desa Kesegaran, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa, sekitar 30 anak muda tetap fokus menggarap konten-konten Youtube seperti tutorial perbengkelan hingga cerita misteri hanya dengan ponsel sederhana selama pandemi. Kegiatan yang diinisiasi oleh Siboen, montir sepeda motor, sejak 2016 itu, kini membuat anak-anak muda Desa Kesegaran memiliki penghasilan jutaan hingga puluhan juta rupiah per bulan.
Berkat mereka pula, Desa Kesegaran dikenal sebagai Kampung Youtuber yang menarik banyak orang dari daerah lain untuk belajar cara membuat konten Youtube. ”Sekarang tidak ada lagi anak-anak muda yang nongkrong di pos kamling. Mereka sibuk ikutan bikin konten sama mas Siboen,” ujar Kepala Desa Kesegeran Saiffudin, Jumat (23/4/2019).
Di Bandung, desainer mode muslim Irmasari Joeda sempat panik karena stok busana yang awalnya diproduksi untuk Lebaran 2020 tak terjual selama pandemi. Ia terpaksa menutup seluruh gerai busananya pada awal pandemi dan memaksimalkan pasar daring. Hasilnya, roda bisnisnya bergerak lagi bahkan angka penjualan produk terdongkrak hingga 400 persen jelang Lebaran 2021. ”Pulih sekitar Juni 2020. Jadi, hanya dua bulan kaget karena pandemi,” ujarnya.
Ilustrasi di atas menunjukkan, beberapa sektor ekraf seperti mode, kuliner, dan konten kreatif memiliki daya lenting terhadap krisis. Selain itu, menurut peneliti Indef Nailul Huda, sektor ekraf menimbulkan multiplier effect (efek berganda) pada berbagai bidang. Ia mencontohkan, sektor kuliner membawa efek yang besar ke sektor lain, mulai dari pertanian, perkebunan, hingga pariwisata.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika sektor ekraf diharapkan bisa menjadi kendaraan untuk pemulihan ekonomi dan mencapai tujuan-tujuan SDGs, antara lain mengurangi kemiskinan dan kesenjangan, meningkatkan kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi.
Syaratnya, ekosistem sektor kreatif mesti terus diperkuat, mulai sistem pembayaran digital, jaring rantai produk, akses permodalan, perluasan pasar, peningkatan kualitas sumber daya manusia, hingga perlidungan atas karya.
Pencanganan 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif bisa dijadikan momen bagi semua pemangku kepentingan untuk berjalan bersama mengembangkan ekraf dan memulihkan ekonomi dari hantaman pandemi.